Kamis, 03 Juli 2014

Temukan Mutiara Bakatnya, Asahlah hingga Berkilau Cahayanya

“Mulai sekarang, aku ga minta uang sama umi dan abi lagi…. Insya Allah aku bisa biayai kebutuhanku sendiri….” Ucapan itu keluar dari bibir anakku, remaja berusia 18 thn yang baru lulus smk th 2010.
Yah bagi orang lain mungkin kalimat itu terdengar biasa, tetapi bagi aku, ibu yang mengandung dan melahirkannya, mengasuh dan membesarkannya, kalimat itu menjadi sangat bermakna dan sangat istimewa.

Kurang Percaya Diri

Teringat aku akan masa kecilnya yang kesepian karena kami tinggal di sebuah rumah yang terletak di tengah kebun kosong di ujung tanah yang menanjak. Tak punya tetangga, hingga anak ku hanya bermain dengan belalang, kadal dan kucing. Tak ada teman seusia yang bisa mengajaknya bermain setiap hari. Hanya saat-saat tertentu saja jika kami berkunjung ke rumah sanak family barulah dia bisa bertemu dengan saudara saudaranya. Maka sampai saat ini anakku agak sulit menjalin hubungan social dengan orang baru, apalagi di lingkungan baru.

Masa kecilnya juga sering sakit-sakitan. Pencernaannya kekurangan enzim hingga tidak bisa menyerap lemak dan gula. Sudah berbagai terapi dan pengobatan kami coba, sampai ke dokter super spesialis gastro entrologi Prof. Dr Suharyono. Sekali konsultasi bisa memakan sepertiga gaji ayahnya. Tak heran anak ini bertubuh kurus tinggi. Dengan segala kekurangan itu anakku tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah.
Sebagai orang tua, tentu semua menginginkan anaknya tumbuh sehat cerdas dan berprestasi. Segala obsesi orang tua yang tak kesampaian kita sandangkan kepundak anak. Siapa sih orang tua yang tak ingin anaknya cerdas, matematikanya hebat, bahasa Inggrisnya mantap, tahfizh Qur’annya canggih. Tapi tolong… lihat lagi dengan cermat, apakah anak kita mampu mengemban segala obsesi dan harapan orang tuanya yang seabreg itu…? Tanpa kita pernah bertanya dan mengamati, apa bakat dan hobinya?

Aku juga mengalami hal ini. Aku sedih melihat nilai matematika anakku yang jeblok, nilai bahasa Inggrisnya merah, nilai IPA nya ambrol. Tiap hari aku menemani dan mengajarkan anakku pelajaran sekolah. Buku-buku pelajarannya aku baca, aku ringkas, aku buat menjadi catatan-catatan kecil. Ku bacakan di depan anakku sambil mengajaknya bermain. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan.

Tidak naik kelas

Kelas lima SD anakku terancam tidak naik ke kelas enam karena nilai raportnya yang berangka merah lebih dari tiga mata pelajaran. Dalam rapat guru untuk menentukan kenaikan kelas tiap siswa, yang dihadiri oleh semua guru termasuk aku karena aku mengajar di sekolah tersebut, aku lihat wali kelasnya tidak berusaha membelanya sedikitpun, tidak adakah sisi positif dari anakku hingga bisa memberinya nilai lebih untuk memberinya kesempatan merasakan duduk di kelas enam? Satu-satunya guru yang membela anakku hanyalah guru agama. Dia mengatakan anakku berakhlak baik, tidak ada catatan kenakalan sama-sekali. Namun pembelaan ini tidak membawa hasil karena sang walikelas sudah tertutup hatinya untuk anakku. Sang Wali kelas memutuskan anakku tidak naik kelas.

Yah… itu yang ku alami sendiri di depan mataku, aku berusaha obyektif aku tak hendak membela anakku, aku tak bersuara dalam rapat itu, namun hatiku bergemuruh .
Harus ada alternative lain untuk anakku, tinggal kelas bukan satu-satunya jalan. Aku aku khawatir kepercayaan dirinya makin runtuh jika anakku tak naik kelas. Apalagi prestasi adiknya berbanding terbalik dengan dirinya.

Di sekolah yang sama adiknya jadi juara di kelasnya. Ku akui memang beberapa mata pelajaran dia lemah, tetapi bukan berarti anakku tak punya kelebihan, bukan berarti ia tak punya masa depan.
Akhirnya setelah berkonsultasi dengan keluarga aku menghadap kepala sekolah, aku ceritakan kondisi anakku dengan sedetilnya, sikap mindernya, tentang latar belakang masa kecilnya, tentang beberapa potensinya.Alhamdulillah kepala sekolah memenuhi harapanku. Jika dipaksakan anakku naik ke kelas enam, memang akan sangat memberatkannya, karena harus banyak mengejar ketertinggalan, padahal di SDIT dengan kurikulum yang padat dan waktu belajar full day, anakku akan kelelahan. Tak sanggup lagi dia ikut les remedial, karena setiap hari berangkat sebelum jam tujuh pagi dan pulang menjelang maghrib. Anak usia SD menghabiskan waktu untuk sekolah lebih dari 10jam termasuk jarak tempuh dari dan ke sekolah, melebihi orang dewasa bekerja yang hanya 8 jam.
Harus ku akui, tidak semua anak cocok bersekolah di SDIT. Dari peristiwa ini aku mengambil pelajaran, anakku harus dikurangi bebannya. Jika dia sekolah di SD negeri, dia akan punya banyak waktu untuk les remedial karena waktu belajarnya hanya setengah hari, maka sore dia bisa les untuk mengejar pelajaran yang tertinggal. Kepala sekolah merekomendasikan anakku bisa naik ke kelas enam dengan syarat pindah ke sekolah Negeri.



Lulus tes masuk SMP Negeri

Di SD Negeri Alhamdulillah anakku bisa lulus dengan nilai cukup baik, aku memintanya mencoba ikut tes masuk SMP Negeri sekedar untuk mengetahui prestasi belajarnya jika dibanding anak lain dari berbagai sekolah. Ternyata hasilnya baik. Dia diterima di SMP 17, namun tidak kami ambil karena kami sudah memutuskan anakku masuk pesantren untuk membekalinya dengan agama yang memadai. Kami telah memilih pesantren yang tidak terlalu banyak muridnya agar tiap santri dapat terpantau prestasi akademiknya dan mendapat perhatian secara individual dan maksimal oleh guru-gurunya.

Di pesanten menjelang kelas tiga pada umumnya anak-anak mengalami stress,karena UN benar-benar menjadi momok yang menakutkan. Demikian pula dengan anakku, dia ingin pindah sekolah seperti dulu waktu kelas lima di SDIT pindah ke SD Negeri pada waktu kelas enam. Aku berkonsultasi dengan para guru, wali kelas, wali asrama, dan kepala sekolah. Wali kelas nya menyerahkan dua buku tulis penuh dengan gambar goresan tangan anakku yang mirip komik. Ni bu… siap terbit…” seloroh wali kelasnya. Rupanya disela-sela aktifitas pesantren dia menuangkan kreatifitasnya di atas buku tulis itu.

Sebenarnya aku sudah melihat bakat ini sejak di SD, namun karena aku sibuk mengajarkan mata pelajaran yang tertinggal, maka bakat gambar ini kurang tergali ditambah lagi rasa percaya diri anakku sangat rendah, jadilah bakat itu hanya berkembang seadanya.

Aku melihat dan menemukan kecerdasan anakku. Dia harus dimasukkan ke sekolah yang mengutamakan pengembangan skill menggambar, bukan saint , bukan hafalan. Ku bisikkan ke telinga anakku:
”Sayang… Ummi akan carikan sekolah yang tepat sesuai bakatmu, walaupun harus di luar kota Balajarlah dengan tekun dan tenang untuk persiapan UN, sesudah lulus SMP kamu akan bersekolah sesuai dengan bakatmu, tidak ada lagi momok matematika yang menyeramkan, IPA yang menyebalkan.”
Setelah pencarian selama enam bulan, akhirnya aku menemukan sekolah yang pas untuk anakku SMK ANIMASI di DEPOK.

Alhamdulillah dia sangat bersemangat. Perlahan lahan rasa kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Terlebih saat kelas tiga dia terpilih mewakili sekolah umtuk ikut lomba uji kompetensi yang diadakan oleh Diknas se Kota Depok . Karyanya mengangkat tema tentang kesenjangan social antara si miskin dan si kaya di negeri ini, dalam bentuk gambar animasi. Hasil karyanya mendapat juara pertama. Alhamdulillah… kami sangat bersyukur dan bangga. Anakku yang saat kelas lima SD divonis tidak naik kelas oleh wali kelasnya, kini tampil mengharumkan nama sekolah, membanggakan wali kelas, para guru, kepala sekolah dan tentu saja aku… ibu kandungnya.

Wajahnya terpampang di Koran MONITOR DEPOK, wartawan sengaja datang ke sekolahnya untuk mengapresiasi hasil karya dan prestasinya.
Atas prestasi tersebut dia mewakili kota Depok untuk lomba yang sama di tingkat propinsi Jawa Barat. Di sini dia menggondol juara tiga.
Alhamdulillah dari prestasi ini dan fortofolio selama dia mengenyam pendidikan di SMK Animasi, anakku bisa diterima magang bekerja di sebuah perusahaan iklan. Bersamaan dengan itu, dia kuliah di BSI jurusan ADVERTISING.

Selama magang dia sering merasa frustasi karena hasil karyanya /gambarnya selalu dikritik oleh atasannya. Aku terus memberinya semangat, ku katakan: “Bos mu itu sangat baik,… Beliau sedang memberimu pelajaran berharga, mendidik mentalmu agar tidak cepat puas dengan hasil karyamu, Beliau sedang menggali potensimu dan mendulang mutiara yang terkubur di dalam dirimu. Seraplah semua ilmu yang ada pada diri atasanmu, karena di sanalah kampusmu yang sebenarnya. Kampus yang akan mencetakmu menjadi apa yang kamu inginkan, yaitu menjadi seorang ANIMATOR handal.

Bekerja di Production Hause

Setelah tujuh bulan magang anakku diangkat menjadi pegawai dan mendapatkan honor, namun itu ada imbal baliknya, dia harus membayarnya dengan menghabiskan waktunya di kantor bekerja lebih giat dan tekun bahkan sering harus begadang dan menginap di kantor.

Yah… anakku yang kutilang (kurus tinggi langsing) yang terseok- seok masa SD-nya kini tampil percaya diri. Dia mulai menyusun mozaiknya sendiri, menyempurnakan mozaik yang telah kususun bersama nya.
Dia berobsesi akan memiliki perusahaan periklanan yang dapat memproduksi iklan berkarakter dan dapat membuka lapangan kerja bagi teman-temannya.
Sekarang hampir tak ada waktu baginya untuk bermain dan berenang-senang seperti remaja seusianya.Kesibukan antara kerja dan kuliah menyebabkannya  jarang pulang. Kadang aku baru bertemu dengannya setelah tiga hari.

Sambil berseloroh saya katakan kepadanya “Rumah pertamamu di kantor, karena tiap hari kamu kerja dan tidur di sana, rumah kedua di kampus karena 4-7 jam kamu belajar di sana dan rumah ketigamu di sini bersama umi, abi dan adik-adikmu karena hanya tiga hari sekali kamu singgahi.
“Dalam usia 18 tahun kamu sudah punya mimpi jadi pengusaha. Ummi bangga padamu”.
Aku terus belajar untuk menjadi orang tua, dari seminar, buku, bertanya kepada siapa saja terutama menggali dari orang yang lebih berpengalaman menjadi orang tua. Karena tidak pernah ada sekolah /pendidikan dengan jurusan yang menelurkan lulusannya dengan gelar “menjadi orang tua teladan” .
Setiap penggalan kehidupan anak adalah bagian dari kepingan mozaik, yang jika disusun dengan cermat akan menjadi lukisan yang indah. Setiap orang tua berperan besar menentukan desain kepingan mozaik itu, demikian juga lingkungan tempat dia dibesarkan. Maka kenalilah karakter dan bakat anak –anak kita supaya kita bisa mengarahkan dan membimbingnya menjadi mutiara –mutiara indah yang memancarkan kilau cahayanya.

Setiap anak adalah unik, biarkan dia menjadi dirinya sendiri. Allah menganugerahkan berbagai kecerdasan dan bakat yang berbeda pada setiap anak.
Menurut pakar pendidikan ada Sembilan kecerdasan, setiap anak memiliki
minimal lebih dari dua kecerdasan bahkan lebih . Tugas orang tualah untuk menemukan aneka bakat dan kecerdasan itu untuk di asah , diarahkan dan dibimbing supaya muncul dan berkembang memancarkan kilaunya.

Sebagian besar anak seusianya masih bingung .. kemana arah cita-citanya? Akan jadi apa kelak? Bahkan dengan nilai UN yang tinggi sekalipun, banyak anak yang gamang. Namun Hari ini aku menyaksikan kemantapan anakku menyusun langkah masa depannya. Kariernya membentang di depan mata. Dalam usia remaja dia sudah bisa mandiri. Kuliah dengan biaya sendiri. Punya sepeda motor hasil keringat sendiri, punya laptop untuk menunjang kreatifitasnya seharga Rp 11juta, hasil jerih payahnya. Bahkan dia masih bisa bantu biaya sekolah adik-adiknya, bantu belanja dapur ibunya.

Sekarang kepercayaan dirinya makin kuat, makin banyak relasi yang bisa dibangun, makin banyak job yang dia dapat. Ada desain cover buku, Lay out buku, Video Bumper untuk bahan presentasi perusahan, Profil perusahaan dan lain-lain.

Padahal usia SD dia terancam tak naik kelas, penyakitan, minder, pemalu. Hari ini dia jadi kebanggaan orang tuanya, kesayangan adik-adiknya.

Ya Allah… sujud ku takkan cukup untuk mengungkap rasa syukurku.

Pelajaran/ Hikmah yang dapat dipetik:

1.Jangan Bunuh Mimpi Anak- Anak Kita
Sering kali anak berceloteh tentang mimpi/imajinasinya, lalu kita orang dewasa di lingkungan anak tersebut ( bisa orang tua/guru/teman)meremehkan cita-citanya.
Misalnya seorang anak bermimpi akan menjadi seorang direktur utama sebuah hotel berbintang terkenal. Dia ceritakan mimpinya itu kepada semua orang yang ditemuinya. Sayang tidak ada yang menanggapi dengan positif ceritanya itu.

”Khayalanmu terlalu tinggi tidak berkaca pada diri sendiri” begitu biasanya orang berkomentar. Anak itu jadi putus asa karena orang-orang di sekitarnya telah membunuh mimpinya.
“Bersikaplah realistis! siapa dirimu? Dari mana asalmu?” ejek teman-teman nya. Anak itupun frustasi dan mengubur mimpinya.

(lepas SMA, kembali anak itu bertekad menyusun mimpinya, dari Mesir dia merantau ke Canada mengambil kuliah perhotelan sambil bekerja di restoran sebagai pencuci piring, setelah beberapa tahun melewati ujian dan cobaan, dia berhasil meraih mimpinya jadi direktur hotel bintang lima. Setelah sukses dia menuliskan pengalamannya dan menerbitkan bukunya yang juga sukses hingga diterjemahkan ke 5 bahasa. Dia pun sukses menjadi seorang motifator dunia. Dialah Ibrahim EL Fiki)

Tanpa sadar kita telah membunuh imajinasi anak, seharusnya kita menanggapinya dengan positif, kita hargai mimpinya dengan membuka wawasannya tentang hal-hal yang terkait dengan mimpinya itu. Karena itu adalah bagian dari mozaik indah yang sedang disusunnya. Kita bantu carikan sekolah/ pelatihan yang menunjang kearah tercapainya mimpi tersebut, kita kawal dan dampingi saat dia menghadapi berbagai kendala dan kesulitan, karena di situ kita sedang bersama-sama menyusun mozaiknya. Sampai suatu jalan kesuksesan terbentang di hadapannya, saat itulah dia menyempurnakan mozaiknya dan menunjukkan keindahannya kepada dunia.

2. Setiap anak adalah Unik, kenali dan asah bakatnya
Jangan sama ratakan perlakuan kepada setiap anak. Karena mereka punya kecenderungan dan bakat yang berbeda. Kadang bagi kita orang tua sering merasa paling tahu tentang anak kita. Atau kita mengambil keputusan untuk menyekolahkannya dengan sudut pandang orang tua. Bahkan mengenyampingkan suara hati anak.

Anak juga jangan terlalu dibebani dengan segala obsesi dan cita-cita orang tua yang belum kesampaian. Jangan terlalu dibebani dengan aneka les tambahan, sehingga merengut waktu bermain anak.
Ada kisah nyata seorang ustazd memasukkan anaknya di pesantren tempat dia dulu mengenyam pendidikan. Anak tersebut tidak mampu dan tidak mau bersekolah di tempat tersebut. Namun suara anak ini tidak pernah didengar sang ayah. Akhirnya anak tersebut protes dengan caranya sendiri. Dia sering bolos sekolah , berusaha kabur dari pesantren dan sebagainya. Akhirnya anak itu tidak menjadi seperti yang diharapkan orang tuanya, juga tidak menjadi dirinya sendiri. Waktu terbuang demikian lama, biaya terbuang demikian besar, anak itu jadi kuli panggul di pasar.

3. Tidak semua anak cocok untuk bersekolah Full Day
Hanya anak yang punya kesehatan fisik dan kecerdasan akademis yang mampu untuk masuk sekolah Full Day. Untuk anak tertentu yang sering sakit-sakitan, prestasi akademiknya kurang memadai sebaiknya dimasukkan ke sekolah yang tidak terlalu berat beban kurikulumnya.
Jangan karena alas an sekalian dengan kakak adiknya, biar mudah antar jemputnya menyebabkan orang tua memasukkan semua anak ke sekolah yang sama.

4. Kenali bakat dan kecenderungan anak
Ini sangat penting, karena akan menjadi titik awal perjalanan karier dan kesuksesan mereka di masa depan. Jika anak memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Sering jadi juara kelas, itu sih harapan semua orang tua dan seolah menjalani masa depan seperti jalan tol.
(Untuk para orang tua, mari kenali bakat anak kita dan susunlah mozaik bersamanya, anak adalah mutiara yang terpendam gali dan asahlah lah, agar mutiara itu memancarkan kilaunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine