Rabu, 01 Juni 2011

ATTITUDE *IF YOU THINK YOU CAN OR YOU CAN’T, YOU ARE RIGHT!

Modal utama sebagai headhunter alias pemburu eksekutif adalah kegemaran mendengarkan cerita. Seringkali saya memulai wawancara dengan pertanyaan simple yang butuh jawaban seabreg, “Tell me your story...”. Diantara sekian banyak cerita ada beberapa yang masih nyantol dalam ingatan. Model seperti ini jadi semakin nyata karena “aktor” dan “aktris”nya masih aktif memerankan cerita-cerita tersebut setiap hari, hingga sekarang.


“Cerita” dalam konteks ini adalah karir. Ada cerita yang dipenuhi kesuksesan, ada juga yang sebaliknya. Sebagian karir hingar bingar, sebagian lain sunyi senyap. Terdapat karir yang dipenuhi pencapaian, keyakinan, kepuasan dan kegembiraan. Terdapat pula karir yang mandeg, penuh keraguan, stressful dan jauh dari rasa senang. Penyebabnya tentu banyak dan beragam. Tapi kalau cuma boleh menyebut satu faktor penentu agar suatu cerita berawal baik, berjalan baik dan berakhir baik, maka jawabannya pasti attitude.

We are within the prison walls of our mind...

Susah juga mencari padanan kata attitude dalam bahasa Indonesia. Walau seringkali diterjemahkan sebagai “perilaku”, attitude lebih dari sekadar apa yang kita perbuat. Termasuk dalam attitude adalah segala hal yang kita pikirkan, decision making process atas pandangan atau respon kita atas segala hal dan ketetapan hati untuk melaksanakan pilihan yang sudah diambil.

Kelewat rumit ya? Begini saja, attitude kita sekarang menentukan model hidup yang akan kita jalani sekarang dan selanjutnya. Kalau berpikir akan hidup luar biasa, maka kehidupan luar biasa juga yang akan kita jalani. You are what you think you are and you will become what you think you will become.

Siapa yang punya kendali atas attitude kita? Ya, kita sendiri dong! Seringkali kendali itu, dengan alasan apapun, tidak kita rasakan. Memang terlalu mudah untuk menyerah, complain atau menyalahkan orang lain. Memang lebih gampang untuk lepas tanggung jawab, nggak peduli, negatif, egois dan apatis.

Salah siapa gaji nggak naik? Si boss. Kenapa Jakarta macet? Kebanyakan motor. Siapa harus didakwa atas kenaikan harga BBM? SBY. Kenapa banyak sampah? Orang lain yang buang sampah sembarangan. Salah siapa badan sakit-sakitan? Cuaca pancaroba yang nggak jelas. Apa penyebab global
warming? Nggak tahu, EGP. Sudah tahu passion loe? Boro2 passion, cari duit saja susah. Dan seterusnya, dan sebagainya. Sounds familiar?

APTITUDE is what you COULD become and ATTITUDE is what you DO become. Character is your attitudes throughout your life!

Attitude yang menentukan apakah kita bisa berbahagia dimana saja, mengerjakan apa saja, dengan siapapun dan kapanpun. Dalam banyak hal kita selalu dihadapkan pada 2 pilihan saja: happy atau unhappy – kenapa selalu saja tergoda untuk memilih menjadi unhappy?

Pernah dengar istilah kalau kita menyukai pekerjaan tertentu maka pekerjaan itu tidak lagi terasa seperti pekerjaan? Sebaliknya, kalau sudah nggak suka dengan pekerjaannya, mau dibayar berapapun terasa seperti perbudakan. Bedanya cuma pada attitude kita.

Dalam hal pekerjaan (dan karir) sering kali kita dihadapkan pada situasi yang nggak enak. Pilihan cuma 3: coba perbaiki suasana, cabut atau ganti attitude kita! Bagaimana kalau kita harus berhadapan dengan individu yang nyebelin? Terus ramah, terus sopan dan jalan terus! Itu problem dia.

Success..? (baca judul diatas)

Kazuo Inamori pendiri Kyocera (Kyoto Ceramics) pernah bilang kalau sukses punya tiga komponen: Ability (kebisaan, pendidikan, kompetensi) x Effort (usaha, kerja keras, daya tahan) x Attitude. Salah satunya negatif maka hasil akhir akan juga negatif. Bila demikian, percuma saja sekolah tinggi, kerja keras dan network.

Kalau attitude kita atas segala hal dalam hidup dan karir bisa dirangkaikan, itulah karakter. Nggak perlu terlalu berpikir panjang soal karakter, jaga saja attitude kita.. sekarang, setiap saat dan seterusnya.



An Article for CLEAR Magazine by Rene Suhardono

CAREER REFLECTION: WHAT YOU SEE IS WHAT YOU GET & WHAT YOU FEEL IS WHO YOU ARE!

Kalimat ini credo yang tidak pernah bosan saya teriakan: “Your CAREER is NOT your job.” Masih ingat dong? Karir, tidak seperti pekerjaan atau job – yang notabene milik perusahaan – adalah milik kita sendiri. We are the boss of our own career! Tidak ada yang pernah bisa memecat kita dari karir kita sendiri. Job lebih banyak bicara soal obyektif perusahaan, job description, lingkungan kerja dan kompensasi. Sebaliknya, karir mengungkap urusan passion, tujuan hidup individu, kepuasan dan happiness.


Mirror, mirror on the wall...

Cara pandang atas karir dan segala pilihan karir yang kita tempuh adalah refleksi atas karir yang dijalani. Bagi yang menggunakan ukuran karir berupa rupiah yang masuk ke rekening setiap akhir bulan, maka refleksi karirnya adalah... UANG. Sejalan dengan itu, apabila uang yang masuk jumlahnya “kurang” (dalam tanda petik yang tegas) atau tidak sesuai dengan ekspektasi, maka kelompok ini akan berpendapat karir mereka stagnan alias mandeg. Kepindahan kerja, bagi kelompok ini, ditentukan oleh prosentase kenaikan gaji yang diterima. Pindah kerja untuk gaji yang lebih rendah adalah haram hukumnya.

Money talk is never easy, banyak orang sulit terbuka membahasnya. Dalam kapasitas sebagai pemburu eksekutif, saya banyak berjumpa rekan professional yang mengutarakan ingin pindah kerja untuk mencari challenge. “Saya mencari tantangan lebih besar, atau tantangan baru”, demikian kata mereka. Ujungnya kata “tantangan” hampir sinonim dengan “more money.” Akan lebih baik apabila mereka bilang apa adanya ☺

Ada juga yang melihat ukuran karir dari atribut yang dipakai. Atribut disini bisa berupa jabatan, pangkat, gelar akademis, keanggotaan suatu asosiasi dan seterusnya. Kelompok ini lazimnya akan sangat sadar atas jenjang kepangkatan yang mereka sandang. Dalam banyak kesempatan saya bertemu rekan-rekan yang berkata dengan lantang, “Saya sekarang manager, dan tahun depan harus jadi AVP, untuk kemudian jadi VP dalam waktu 5 – 7 tahun.” Refleksi karir: jenjang kepangkatan. Kalau title yang ditawarkan tidak sesuai dengan strata yang diharapkan maka orang jenis ini akan cenderung melihatnya sebagai penurunan karir dan sebaliknya. Sounds familiar?

Life is meant for living.

Apakah ada salah dengan uang dan jabatan? Sama sekali tidak. Refleksi atas karir adalah pilihan anda. Sebagaimana sebuah pilihan tentunya punya konsekuensi masing-masing. Pilihan atas uang sebagai refleksi karir akan menjadikan uang sebagai sentral kehidupan. “Kenikmatan” melihat tumbuhnya angka di tabungan, bertambahnya properti dan asset memang lazim. Namun apakah uang sama dengan kebahagiaan? Seringkali hal-hal yang paling menyenangkan hanya perlu sedikit uang. How much do you have to pay to fall in love with someone? Kapan terakhir kali melihat matahari terbit? Berapa sering anda do nothing and just enjoy for being alive?

Opsi atas atribut akan mendudukan pangkat/jabatan pada tempat yang paling sacred dalam hidup kita. Sayangnya, atribut, apapun itu, bukan milik kita dan bersifat sementara. Jabatan publik sangat tergantung pada pilihan para konstituen. Posisi eksekutif puncak pada perusahaan besar seringkali berganti orang setiap 2 – 3 tahun. Gelar akademis hanya akan terasa sejalan dengan manfaat yang kita berikan pada lingkungan. Do you see my point?

You don’t know what you have got until you lose it...

Saya sendiri paling senang (dan bangga) kepada mereka yang merefleksikan karir berdasarkan level of happiness dan fulfillment. Pertanyaan paling relevan buat kelompok ini dalam bekerja adalah, am I happy here? Will I be able to fulfill my dreams? What have I contributed to my surroundings, the society and the universe?

Happiness (alias kebahagiaan) dan kepuasan (atau fulfillment) memang bukan denominasi karir yang paling mudah. Terlebih kalau harus dibandingkan dengan uang - yang sangat terukur. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba. Ya kan? Lupakan sejenak ego, ownership, status, atribut dan lambang-lambang kemegahan lain yang terasa penting apabila ada orang lain. Apakah hal-hal tersebut akan tetap sepenting itu apabila anda sendiri?

If you take the attitude that you have you need to make you happy, you will be happy! Happy is here and now.

Saat membaca artikel ini coba tanya pada diri sendiri apakah saya happy? Do you feel happy? When was the last time I felt happy? Sekalian juga tanyakan apakah anda puas dengan apa yang telah dicapai? Puas dengan apa yang telah di kontribusikan? Puas dengan pemanfaatan talent, waktu dan energy yang kita miliki?

Simpan sendiri jawaban yang paling jujur dan coba bergerak dari sana. Semakin jujur jawaban anda, semakin jelas refleksi karir yang akan diperoleh. Semakin dekat juga jarak antara anda dengan passion dan purpose of life.

An Article for CLEAR Magazine by Rene Suhardono

FEAR!

“The only thing we have to fear is fear itself ” – FDR*

*FDR / Franklin Delano Roosevelt adalah Presiden ke 32nd Amerika Serikat. FDR adalah satu-satunya
Presiden dalam sejarah Amerika Serikat yang dipilih 4 masa kepresidenan (lainnya tidak pernah lebih dari 2 kali). Inisiator the NEW DEAL, inisiatif nasional untuk memerangi resesi global yang melanda dunia kala itu. “New Deal” menyelenggarakan pekerjaan-pekerjaan publil besar sekaligus membuka lapangan kerja, memperbaiki ekonomi dan perbankan dengan mendirikan FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) dan SEC (Securities & Exchange Commission).

Franklin Delano Roosevelt (FDR) menyampaikan pidato dihadapan publik dengan judul diatas saat pengukuhannya sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 1933. Tahun saat resesi perekonomian global memasuki tahun ke 4. Hampir tidak ada optimisme kala itu. Resesi global mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, ketiadaan barang konsumsi (bahkan pangan sekalipun) yang berdampak pada kelaparan. Terkesan tidak ada pilihan selain membiarkan ketakutan mendominasi kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Ketakutan atas pengangguran, ketakutan atas kelaparan dan segala jenis kesusahan hidup.

Indonesia pernah menghadapi situasi yang hampir serupa paling tidak dua kali sejak kita merdeka. Kisruh politik dan kepemimpinan tahun 1965 - 1968 dan krisis ekonomi 1998 saat kejatuhan rezim Orde Baru. Saya yakin banyak diantara pembaca masih ingat kekacauan ’98. Puluhan bank tutup, ratusan perusahaan gulung tikar, jutaan karyawan harus menganggur.

Tiga bulan terakhir kita mengamati kemerosotan drastis indikator-indikator ekonomi. Episentrum gempa ekonomi kali ini ada di Amerika Serikat dan negara-negara maju. Indonesia sedikit banyak juga akan terkena dampaknya. Dunia mungkin (sudah) menghadapi resesi global sekarang. Takut?

I live, I die, all with a purpose...

Kalau ketakutan sudah mendominasi pikiran, reasoning macam apapun tidak akan bermanfaat. Takut nganggur, takut miskin, takut sakit, takut lapar, takut tidak diakui, takut mati dan seterusnya.

Bicara soal karir, ketakutan seringkali mendasari keputusan karir kita. Anda tahu apa yang akan terjadi kalau sudah begini? Resiko menjadi tabu dan harus dihindari at all cost. Status quo adalah comfort zone. Changes become unacceptable. Fokus mutlak hanya pada job / pekerjaan daripada karir. No joy of working. No passion. No life.

Rasa takut adalah wajar. Stop sampai disitu. Jangan pernah membiarkan kita dikendalikan olehnya. Apabila perusahaan global sebesar Lehman Brothers yang sudah beroparasi lebih dari 150 tahun bisa tutup, pola ABS (asal bapak senang) tidak akan membantu banyak. Sejalan dengan itu, kalaupun perusahaan tempat kerja harus bubar (amit-amit), amukan kita sebagai “karyawan teraniaya” dan ancaman demonstrasi besar2an pada pimpinan perusahaan juga tidak akan membawa perubahan. Hal-hal semacam ini hanya akan mengalihkan depresi ekonomi jadi depresi jiwa.

So what can we do? What choices do we have? What to do? How to do? And a million other questions.

I say, firstly, we must believe in GOD

Saya yakin sebagian besar pembaca menjawab “ya!” Percayalah bahwa Pemberi-hidup berjanji memenuhi seluruh kebutuhan kita. Bedakan antara kebutuhan dengan keinginan.

Apalagi? Take full responsibility of your own life. Terima resiko dan tantangan dengan WAJAR dan berani. Berhenti menyalahkan orang lain, lingkungan, pemerintah atau negara lain. Ambil pilihan sesuai dengan pilihan sendiri. Miliki dan terima tanggung jawab atas konsekuensi pilihan itu.

Live by your passion. Semakin cepat anda menyadari dan menjalani hidup sesuai passion, semakin baik. Do you know why? Orang yang tahu dan peduli akan passion-nya akan selalu berpikiran POSITIF dan ANTUSIAS atas segala hal yang terjadi. Tidak tunduk pada situasi, tidak menyerah pada keadaan dan tidak menyalahkan orang lain.

What else? ACTION! Do something. Do anything to contribute and make your life better. Kalau gagal, coba lagi dan terus coba. Sebagainama yang pernah terjadi dan akan terus terjadi, badai ini akan kita lewati.

Fortuna favi fortus

Keberuntungan memihak mereka yang berani.

An Article for CLEAR Magazine by Rene Suhardono

The World Its Mine