Kamis, 27 Juni 2013

Mengapa Syiah (Kini) Pakai Istilah Takfiri-Wahabi untuk Ahlussunnah?


Konflik Sunni-Syiah saat ini sedang menjadi trending topic di ranah pergerakan hari ini. Bisa jadi ini merupakan efek dari Jihad Suriah yang sedang menggelora. Di Indonesia sendiri, kasus pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, merupakan konflik fisik yang cukup menggentarkan komunitas Syiah.
Dalam perang opini antara kubu Sunni dan Syiah, ada satu fenomena yang unik, yaitu penyebutan istilah Sunni oleh kubu Syiah, sering diganti dengan kata Wahabi atau Takfiri. Sementara, kubu Sunni masih tetap menggunakan kata Syiah sebagai sebutan bagi Syiah baik Nushairiyah, Imamiyah, dan sebagainya.
Pada siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, Selasa 25 Juni 2013, salah satu narasumber, Haidar Bagir, CEO Mizan, menyebut kelompok Takfiri sebagai biang dari permasalahan Sunni-Syiah. Berlanjut kemudian, terjadi perang opini di dunia maya lewat jejaring sosial Twitter. Pihak Sunni yang malam itu melakukan aksi twitstorm dengan hastag #SyiahBukanIslam, mendapat perlawanan dari pihak Syiah dengan hastag #IndonesiaTanpaTakfiri
Sedikit melakukan perbandingan, labelisasi Takfiri juga digunakan oleh kalangan warga NU dalam perang opini melawan kelompok Fundamentalis, jauh sebelum konflik Sunni-Syiah ter-blow up dan menjadiheadline media massa di Indonesia. Sudah mafhum bahwa labelisasi Wahabi, Takfiri, Fundamentalis dan lain sebagainya adalah sematan serupa yang dialamatkan kepada Ahlussunnah yang bermanhaj Salaf.
Pada 2003, RAND Corporation, sebuah lembaga think-tank bentukan Barat untuk analisis dunia Islam dan Timur tengah, melalui sebuah rekomendasi berjudul “Civil Democratic Islam: Parnters, Resources, and Strategies”. Rekomendasi berisi pemetaan kawan dan lawan, serta arahan-arahan bagi pemerintah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim untuk mengatasi terorisme. Rekomendasi ini diawali dengan klasifikasi  umat Islam menjadi empat kelompok, yaitu Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Sekuler. Pembagian kelompok ini berdasarkan fleksibilitas masing-masing kelompok terhadap ajaran Islam dan sikap terhadap demokrasi.
Kelompok Fundamentalis adalah kelompok Islam yang memegang teguh ajaran Islam, bercita-cita menegakkan Syariah, dan paling getol menentang demokrasi. Dalam masyarakat kita, kelompok Fundamentalis ini lebih akrab dengan julukan Wahabi atau Takfiri. Sedangkan kelompok Tradisional adalah kelompok Islam yang masih berpegang pada budaya lokal dan seringnya menganggap kelompok Fundamentalis adalah musuh utama.
Pada poin kedua rekomendasi RAND Corporation disebutkan, “Support the traditionalists against the fundamentalists“. Adu domba antara kelompok Tradisionalis dan kelompok Fundamentalis, dijadikan strategi sebagai upaya untuk menghancurkan kelompok Fundamentalis. Dengan dibantu oleh kelompok Moderat dan kelompok Sekuler, diharapkan koalisi Tradisionalis-Moderat-Sekuler dapat mematikan pergerakan dan ideologi kaum fundamentalis.  Strategi adu domba inilah yang saat ini mungkin sedang diterapkan di Indonesia.
Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU mewakili identitas sebagai kelompok tradisionalis di Indonesia. Sementara itu, Jaringan Islam Liberal mewakili kelompok modernis, walau kini sudah kembang kempis karena dana dari donatur hampir habis. Tokoh-tokoh JIL, seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli, dan lain-lain, sering mengklaim diri sebagai “Cendekiawan Muda NU”.  Ya, duet Tradisionalis-Modernis seolah telah menjadi pasangan yang serasi, walau kadang muncul penentangan dari internal kalangan Tradisionalis sendiri terhadap pemikiran ala JIL.
Nah, kembali ke masalah Syiah. Di manakah posisi kelompok Syiah dalam grand strategy adu domba buatan RAND Corporation ini? Mari kita cermati kembali penggunaan istilah dan labelisasi oleh pihak Syiah kepada Sunni. Penggunaan istilah Takfiri dan Wahabi oleh Syiah sebenarnya mendompleng tren yang sedang menjamur, sebagaimana kebiasaan kaum Tradisionalis yang sering menyematkan label Wahabi atau Takfiri kepada kelompok Fundamentalis. Ini menunjukkan kebingungan mereka untuk mengidentifikasi lawan mereka sesungguhnya. Syiah sadar, lawan mereka, secara istilah, adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Namun menggunakan istilah itu sebagai sansak pukul berarti bunuh diri, karena akan berhadapan dengan jutaan warga NU. Jadilah ia terjebak dan membebek garis-garis arahan RAND Corporation di atas.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan jargon Syiah yang selama ini mengusung anti-amerika. Namun ternyata Syiah malah latah mengikuti skenario adu domba buatan lembaga riset Amerika, RAND Corporation. Lalu, masih relevankah slogan anti-amerika bila mereka sendiri demen dengan istilah-istilah bikinan amerika?
Multazim Jamil 

Pengantar Ilmu Hisab


Islam sebagai agama Allah SWT sangat menekankan akan pentingnya ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibaca dari ayat pertama yang turun kepada Rasulullah SAW yang berbunyi “Iqra’”, banyaknya ayat yang mengisyaratkan tentang ilmu pengetahuan di alam semesta, pujian dari Allah SWT kepada orang-orang yang berilmu, hingga banyaknya ilmuwan muslim di setiap generasi yang turut andil menyumbang peradaban bagi umat manusia.
Salah satu ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi ummat Islam adalah ilmu hisab atau ilmu falak. Ilmu hisab ini sangat berkaitan dengan ibadah penting yaitu shalat, puasa dan haji. Dengan ilmu hisab, waktu shalat fardhu dapat ditentukan dengan memahami pergerakan matahari. Sementara pergerakan matahari itu sendiri telah ditentukan posisinya. Allah SWT berfirman
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 103)
Penentuan masuknya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah sebagai patokan untuk ibadah puasa dan haji dapat diprediksi dengan memahami pergerakan matahari dan bulan. Selain itu, dengan sedikit memahami ilmu matematika bola, arah Ka’bah yang menjadi qiblat shalat dapat pula diketahui dari segala posisi di bumi. Mengingat pentingnya ilmu hisab, maka ilmu ini sangat perlu dipelajari oleh ummat Islam.
Secara bahasa, kata “hisab” berasal dari haasaba – yuhaasibu – muhaasabatan – hisaaban. Kata hisab berarti perhitungan. Ilmu hisab memang bermakna ilmu untuk menghitung posisi benda langit (matahari, bulan, planet-planet dan lain-lain). Yang memiliki akar kata yang sama dengan kata “hisab” adalah kata “husban” yang berarti perhitungan. Kata “husban” disebutkan dalam Al Qur’an untuk menyatakan bahwa pergerakan matahari dan bulan itu dapat dihitung dengan ketelitian sangat tinggi.
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (Ar-Rahman:5)
Sementara itu kata “falak” berarti garis edar, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yaasin:40).
Dalam Al Quran, banyak dijumpai ayat-ayat yang berhubungan dengan fenomena alam. Setiap hari, matahari terbit di horizon timur, kemudian perlahan mulai meninggi hingga transit saat Zhuhur dan akhirnya terbenam di horizon barat. Akibat perubahan ketinggian matahari, panjang bayangan benda juga berubah-ubah. Fenomena ini diungkap dalam Surat Al Furqan:45.
Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.”
Ilmu ini memiliki kaitan erat dengan astronomi. Namun secara umum ilmu hisab hanya mengambil bagian kecil dari astronomi yaitu mempelajari pergerakan matahari, bulan, bumi serta planet-planet lain di tata surya (solar system). Dengan mempelajari ilmu hisab, kita akan dapat menentukan arah qiblat, waktu sholat, serta posisi matahari dan bulan setiap saat. Selain itu, kalender Islam dapat pula dihitung, sehingga masuknya bulan-bulan penting dalam Islam seperti Muharram, Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dapat diperkirakan. Dengan ilmu hisab, berbagai peristiwa alam yang menakjubkan seperti gerhana matahari, gerhana bulan, transit Merkurius dan Venus di matahari dapat pula dihitung dengan akurasi tinggi. Dan masih banyak lagi fenomena yang dapat ditelusuri melalui ilmu hisab.
Dengan mempelajari ilmu hisab, kita akan menemui sejumlah pertanyaan, diantaranya:
  1. Kemanakah arah kiblat shalat jika kita berada di tempat seperti rumah kita sendiri, atau bahkan di kutub utara?
  2. Bagaimanakah cara menentukan selisih hari antara 2 tanggal dengan cepat, misalnya antara tanggal 16 Juli 622 M (yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1 H) dengan tanggal 17 Agustus 1945?
  3. Bagaimana menentukan konversi antara penanggalan Masehi dan Hijriah?
  4. Bagaimana cara menentukan waktu shalat di suatu tempat pada hari tertentu, misalnya di tempat berkoordinat 20 LU (Lintang Utara) dan 12 BT (Bujur Timur) pada tanggal 20-12-2012?
  5. Berapakah ketinggian bulan tepat saat matahari terbenam pada tanggal 27 Januari 2008 dilihat dari atas Monas dengan ketinggian sekitar 100 m dari permukaan laut?
  6. Benarkah pada tanggal 21 Desember 2008 saat matahari ada di atas horison, di wilayah yang terletak di sebelah utara 22 derajat lintang utara (seperti Jepang, Eropa, Rusia dll), bayangan benda selalu lebih panjang daripada tinggi benda?
  7. Bagaimana cara menentukan lintasan di permukaan bumi yang mengalami gerhana matahari total (total solar eclipse) pada tanggal 22 Juli 2009? Kapankah gerhana tersebut mulai dan berakhir? Berapakah lama waktu, dan lebar daerah yang terkena gerhana?
  8. Berapakah lama waktu gerhana bulan total (total lunar eclipse) pada tanggal 21 Desember 2010?
  9. Kapankah tepat terjadi bulan baru, seperempat pertama, bulan purnama dan seperempat akhir bulan pada Maret 2009?
  10. Sebagai tambahan, dimanakah posisi seluruh planet di tata surya dilihat dari Jakarta pada tepat tengah malam setelah masuk tanggal 1 Ramadhan 1430 H?
Beberapa pertanyaan di atas barangkali dapat dijawab dengan menggunakan software-software yang bertebaran atau merujuk pada data di website astronomi. Namun ada beberapa catatan:
  • Software-software itu tentu disusun dengan rumus-rumus matematika/astronomi. Rumus-rumus itu tentu saja “tersembunyi” di balik software tersebut. Kita sebagai pengguna, hanya dapat memberikan input (masukan) dan kemudian keluar outputnya. Bagaimana prosesnya, dan bagaimana rumus itu sendiri, kita seringkali tidak mengetahui. Mungkin saja sebagian kita sudah cukup puas dengan hasil keluarannya. Namun khususnya bagi penulis, adalah penting untuk mengetahui prosesnya. Bagaimanapun juga, mengetahui rumus dasarnya adalah penting untuk memahami ilmu hisab ini secara utuh.
  • Rumus-rumus matematika/astronomi yang terdapat dalam ilmu hisab ini, menurut hemat penulis, bukanlah rumus yang sulit. Hanya dibutuhkan pengetahuan dasar matematika seperti aljabar biasa (tambah, kurang, kali, bagi, pangkat, akar), trigonometri (seperti sinus, cosinus, tangen serta inversinya). Memang beberapa rumus agak panjang. Bahkan jika kita ingin menentukan penghitungan dengan akurasi sangat tinggi, terkadang dibutuhkan penjumlahan (serta perkalian) yang melibatkan ribuan suku. Namun, jangan khawatir, ribuan suku atau misalnya hanya sepuluh suku, sama saja jika kita mengerti.
  • Penulis berharap agar pembaca dapat memahami ilmu hisab secara lebih utuh, tidak hanya mengerti secara populer saja. Karena itu dalam tulisan berseri berikut ini, tidak hanya pengetahuan populer sajaa, namun detail rumus-rumus dan angka-angkanya juga diberikan. Untuk memudahkan pembaca, rumus-rumus dan angka-angka perhitungan disusun dalam bentuk file Microsoft Excel. Format ini sengaja dipilih, karena mayoritas dianggap sudah familiar. Dalam file excel tersebut, pembaca tinggal mengisikan tanggal/koordinat atau data penting lainnya, dan seketika hasilnya dapat diperoleh. Keuntungannya, rumus-rumus dan angka-angka perhitungan dapat dilihat langsung, dipelajari dan diverifikasi. Rumus juga dapat dimodifikasi, atau mengabaikan angka-angka kecil yang tak terlalu signifikan. Tak tertutup kemungkinan, ada diantara pembaca yang ingin membuat software hisab dengan memanfaatkan data-data dalam file excel tersebut.
Penulis bermaksud membuat tulisan berseri tentang ilmu hisab. Harapan kami, tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagi ummat, sehingga mampu berfikir cerdas dalam memahami persoalan seputar falak. Sebab hingga saat ini, ummat Islam masih disibukkan dengan perbedaan dalam menentukan kalender Islam. Tak jarang, perbedaan ini membuahkan kesalahpahaman dan perpecahan. Kita turut prihatin, jika sebagian ummat Islam belum dewasa berfikir dalam memahami perbedaan, termasuk dalam soal awal bulan. Menurut hemat kami, hingga saat ini perbedaan pendapat itu nampaknya masih menjadi sebuah keniscayaan, sehingga dibutuhkan landasan keilmuan yang mamadai untuk memahaminya. Disinilah ruang yang disediakan oleh penulis untuk mengisinya. Jika ummat sama-sama memiliki landasan keilmuan yang kokoh, perbedaan sudut pandang dan metode itu bukan tidak mungkin untuk didialogkan sehingga mencapai titik temu. Dengan demikian, energi ummat dapat disalurkan untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat.
***
Dr. RINTO ANUGRAHA
Bekerja sebagai Dosen Fisika UGM Yogyakarta. Menamatkan program doktoral di Kyushu University, Fukuoka, Jepang pada bulan September 2008. Saat ini tinggal di Fukuoka melanjutkan program pascadoktoral di Kyushu University selama 2 tahun sampai dengan bulan September 2010 dengan sponsor dari JSPS.

Warisan Astronom Muslim Abad Pertengahan


Tak dapat dipungkiri, bahwa ilmu hisab sangat terkait dengan ibadah utama, seperti shalat, puasa dan haji. Karena itu sejak Islam datang, tegak dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, ilmu astronomi juga turut berkembang. Sumbangan yang diberikan ilmuwan muslim di bidang astronomi pada abad pertengahan atau di masa-masa kejayaan Islam sangat besar.
Saat penulis menyimak sejumlah literatur tentang warisan astronomi Islam di abad pertengahan, penulis menemukan warisan yang kaya. Agak sedikit mengejutkan saat penulis menemukan bahwa sejumlah ilmuwan Barat banyak menelaah warisan astronomi Islam dalam literatur ilmiah modern (jurnal dan buku) seperti David King (Profesor Sejarah di Frankfurt University, Jerman), Edward Stewart Kennedy, Jan P. Hogendijk (Utrecht) dan lain-lain. Sebagai contoh, Prof. David King menulis buku “IN SYNCHRONY WITH THE HEAVENS: Studies in Astronomical Timekeeping and Instrumentation in Medieval Islamic Civilization”. Volume I berjudul “The Call of the Muezzin” [1], sedangkan Volume II berjudul “Instruments of Mass Calculation” [2].
Volume I tersebut yang tebalnya sekitar 1000 halaman banyak mengupas tentang tabel waktu-waktu Islam (sholat), tabel ketinggian (altitude) dan bujur ekliptika (longitude) matahari untuk lintang geografik (latitude) tertentu, tabel ketinggian bintang (stellar), tabel azimuth matahari, tabel deklinasi (declination) matahari, tabel ketinggian pusat bola matahari, tabel untuk menghitung lama waktu di siang hari, tabel menentukan waktu twilight untuk empat musim, karya-karya astronom muslim dari berbagai belahan negeri seperti negeri Hijaz, Yaman, Andalusia, Maghribi, Iraq, Syria, Mesir, bahkan karya sundial dari tanah Jawa. Disajikan pula peran muazzin dan muwaqqit (astronom profesional pada institusi keagamaan) dalam masyarakat Islam di masa itu, sumbangan Syria dan Mesir pada berupa solusi astronomi secara universal, orientasi seni arsitektur bangunan Islam dan kota-kota abad pertengahan, peta dunia yang berpusat di Mekkah, praktek astronomi di masjid dan lain-lain. Sementara itu, volume dua yang tak kalah tebalnya, banyak menyajikan informasi tentang macam ragam alat astronomi yang digunakan astronom Islam seperti astrolabe, quadrant, sundial, equatoria, kompas magnetik, pendulum dan lain-lain.
Semuanya menunjukkan betapa kemajuan dan sumbangan Islam pada masa itu bagi peradaban dunia. Sejauh kajian penulis terhadap buku tersebut, tidak dijumpai hal-hal yang menyudutkan atau menyimpan motivasi perang pemikiran kepada Islam. Buku tersebut banyak mengungkap warisan astronom muslim dengan pendekatan saintifik matematik dan tingkat obyektifitas juga cukup terjaga. Menurut hemat penulis, ada baiknya dan tiada salahnya untuk meresume hasil riset dari buku tersebut untuk dipaparkan disini, mengingat hal ini termasuk bagian dari hikmah, barang yang hilang dari kaum muslimin. Jika kita menemukannya, mengutip sebuah ungkapan bijak, maka kitalah yang paling berhak untuk memilikinya.
Gambar 1. Ilustrasi kegiatan astronom muslim di Obseravatorium Istambul pada abad ke 16 Masehi. Dikutip dari [1] dan [2].
Di abad pertengahan, banyak sekali nama-nama ilmuwan astronom Islam dan karya mereka dalam menyumbang peradaban pada masa itu. Salah satu astronom muslim yang banyak melahirkan karya adalah Abu’l Hasan ‘ali ibn ‘Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Yunus. Ibn Yunus adalah seorang astronom muslim abad 10 M yang berasal dari Kairo. Beliau banyak mewarisi tabel-tabel astronomis, seperti pada Gambar 2, 3 dan 4. Gambar-gambar tersebut banyak bersumber dari sejumlah museum di negara muslim, seperti Egyptian National Museum.
Gambar 2. Sebagian tabel nilai sinus untuk setiap menit busur (1 menit busur = 1/60 derajat) yang disusun oleh Ibn Yunus. Tabel di atas menunjukkan sudut 22 dan 23 derajat. Dikutip dari [1]
Gambar 3. Tabel bintang oleh Ibn Yunus, menampilkan bujur (longitude) dan lintang (latitude) untuk 59 bintang (al-kawakib) dengan waktu acuan (epoch) tahun 1032 M. Dikutip dari [1].
Gambar 4. Tabel Ibn Yunus tentang azimuth sebagai fungsi ketinggian (altitude) matahari saat equinox dan soltice. Dikutip dari [1].
Ibn Yunus juga menyusun rumus waktu = a(h, ) yaitu sebagai fungsi ketinggian (altitude) matahari h dan bujur (longitude) matahari  untuk kota Kairo (lintang/latitude sebesar 30 N). Ibn Yunus menggunakan nilai kemiringan sudut rotasi bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel fungsi waktu tersebut disusun untuk h = 1, 2, 3, …, 83 derajat, dan  = 1, 2, …, 90 dan 181, 182, …, 270 derajat. Tabel tersebut cukup akurat, walaupun terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibn Yunus juga menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain itu, disusun pula tabel a(h) saat equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat.
Tabel untuk menghitung lama siang hari (length of daylight) juga disusun oleh Ibn Yunus. Beliau juga menyusun tabel untuk menentukan azimuth matahari untuk kota Kairo (latitude 30 derajat) dan Baghdad (latitude 33:25), tabel sinus untuk amplitude terbitnya matahari di Kairo dan Baghdad. Ibn Yunus juga disebut sebagai kontributor utama untuk penyusunan jadual waktu di Kairo.
Secara ringkas, sejumlah astronom muslim lainnya adalah sebagai berikut. Al-Mizzi (Damaskus), Al-Khalili (Damaskus), Ahmad Efendi (Istanbul), al-Kutubi (Kairo), Al-Karaki (Jerusalem), Shalih Efendi (Istanbul), Husain Husni (Mekkah) serta Al-Tanthawi (Damaskus) menyusun tabel waktu sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk latitude tertentu. Tabel waktu sebagai fungsi altitude meridian untuk latitude tertentu dibuat oleh ‘Ali ibn Amajur (Baghdad), Al-Tusi (Maroko), dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel waktu untuk terbit matahari atau bintang tetap untuk seluruh latitude disusun oleh Najmuddin al-Mishri (Kairo). Tabel waktu malam sebagai fungsi right ascension bintang untuk latitude tertentu disusun oleh Syihabuddin al-Halabi (Damaskus) dan Muhammad ibn Katib Sinan (Istanbul).
Tabel-tabel penting lainnya yang menyingkap pergerakan dan altitude matahari dan bintang juga disusun oleh Abul ‘Uqul (Taiz), Ibn Dair (Yaman), al-Battani (Raqqa), Sa’id ibn Khafif (Samarkand), Ibn al-‘Adami (Baghdad), Al-Marrakushi (Kairo), Muhyiddin al-Maghribi (Maroko), Husain Qus’a (Tunisia), Najmuddin al-Mishri (Kairo), al-Salihi (Syria), al-Khalili (Syria), Abu al-Wafa (Baghdad) dan lain-lain.
Jenis tabel-tabel lain yang juga disusun adalah tabel sinus deklinasi matahari oleh al-Khalili (Syria), Ridwan Efendi (Kairo) dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel cosinus deklinasi matahari oleh Habash (Baghdad), ‘Abdallah al-Halabi (Aleppo) dan sejumlah penyusun anonim dari Tunisia, Kairo dan Baghdad.
Gambar 5. Tabel Abul ‘Uqul (Taiz) yang menyajikan waktu sejak terbit matahari dan sudut waktu (hour angle) untuk altitude 35 derajat. Dikutip dari [1].
Gambar 6. Sebagian tabel Husayn Husni (Mekkah) untuk Mekkah yang menunjukkan waktu untuk altitude matahari 35 sd 65 derajat di timur dan barat. Dikutip dari [1].
Sementara itu sejumlah alat-alat astronomi yang digunakan ilmuwan muslim abad pertengahan diantaranya adalah astrolabe. Astrolabe adalah instrumen astronomi untuk menentukan waktu dan posisi matahari, bintang, bulan dan planet. Meski astrolabe sudah dibuat orang sekitar abad ke 4, namun pengembangannya lebih maju terjadi di dunia Islam. Astrolabe tertua yang pernah dikenal orang berasal dari Baghdad pada sekitar akhir abad 9 atau 10 M, seperti disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Astrolabe Baghdad pada abad 9 atau 10 M yang termasuk tertua di dunia.
Dikutip dari [2].
Instrumen lainnya yang banyak digunakan astronom muslim adalah quadrant, seperti disajikan pada Gambar 8. Quadrant adalah alat yang digunakan untuk mengukur sudut sampai dengan 90 derajat. Menurut King, ada empat jenis quadrant dalam astronomi Islam, yaitu quadrant sinus untuk menyelesaikan problem trigonometri, quadrant universal untuk menyelesaikan problem astronomi pada sembarang lintang, horary quadrant yang berkaitan dengan waktu dan matahari, serta astrolabe quadrant yang bersumber dari astrolabe.
Gambar 8. Quadrant yang dibuat di Kairo atau Damaskus oleh Taqi al-Din pada tahun 741 H (1340 M). Dikutip dari [2].
Rasanya, melimpahnya warisan ilmuwan astronom muslim khususnya pada abad keemasan Islam tidak cukup disajikan hanya dalam beberapa halaman ini. Insya Allah pada kesempatan lain, penulis akan lebih banyak lagi mengupas profil astronom muslim berikut karya mereka. Yang penting bagi kita adalah bagaimana kita mampu mewarisi semangat mereka dalam mempelajari ilmu pengetahuan di alam semesta dengan dorongan dan semangat Islam serta menjadikan segala aktivitas keilmuan tersebut sebagai ibadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, ummat Islam sebagai rahmatan lil’alamin dapat turut serta menyumbangkan karyanya bagi kemajuan peradaban dunia.
Dr. Rinto Anugraha, Dosen Fisika FMIPA UGM Yogyakarta. Saat ini tinggal di Fukuoka, sebagai peneliti postdoktoral JSPS di Kyushu University, Japan sampai dengan September 2010.
Email rinto74 (at) yahoo (dot) com
Referensi:
[1] David A. King, In Synchrony with the Heavens, Studies in Astronomical Timekeeping and Instrumentation in Medieval Islamic Civilization. Volume One: The Call of the Muezzin, Brill, Leiden, 2004.
[2] David A. King, In Synchrony with the Heavens, Studies in Astronomical Timekeeping and Instrumentation in Medieval Islamic Civilization. Volume Two: Instruments of Mass Calculations, Brill, Leiden, 2005.

Kalender Julian, Kalender Gregorian dan Julian Day


Bagi kita ummat Islam, kalender yang penting untuk kita ketahui adalah kalender Islam, Julian dan Gregorian. Kalender Islam tentu saja sangat penting untuk kita ketahui, karena hal itu menjadi dasar dan patokan kita dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan sunnah, zakat fitrah, shalat ied dan haji. Sementara itu kalender Gregorian (kalender Masehi) adalah kalender yang digunakan sehari-hari saat ini. Kalender Julian, meskipun sudah 500 tahun lebih tidak digunakan lagi, tetap penting untuk diketahui, setidaknya sebagai penghubung dengan kalender Islam di masa lampau. Misalnya, hubungan antara kalender Islam dengan Julian terhadap peristiwa-peristiwa di masa kenabian Muhammad SAW.
Kali ini penulis akan membahas kalender Julian dan Gregorian, serta Julian Day. Insya Allah pada lain kesempatan, penulis akan mengupas soal kalender Islam serta konversi antara kalender Islam dengan kalender Julian dan Gregorian.
Pada kalender Julian, satu tahun secara rata-rata didefinisikan sebagai 365,25 hari. Angka 365,25 dapat dinyatakan dalam bentuk (3 X 365 + 1 X 366)/4. Karena itu dalam kalender Julian, terdapat tahun kabisat setiap 4 tahun. Kalender Julian berlaku sampai dengan hari Kamis 4 Oktober 1582 M. Paus Gregorius mengubah kalender Julian dengan menetapkan bahwa tanggal setelah Kamis 4 Oktober 1582 M adalah Jumat 15 Oktober 1582 M. Jadi, tidak ada hari dan tanggal 5 sampai dengan 14 Oktober 1582. Sejak 15 Oktober 1582 M itulah berlaku kalender Gregorian.
Banyaknya hari dalam tahun kabisat (leap year) adalah 366 hari, sedangkan dalam tahun biasa (common year) adalah 365 hari. Pada kalender Julian, tahun kabisat dimana bulan Februari terdiri dari 29 hari dirumuskan sebagai tahun yang habis dibagi 4. Contoh tahun kabisat pada kalender Julian adalah tahun 4, 100, 400. Untuk tahun negatif, ada perbedaan antara sejarawan dan astronom dalam penomoran tahun. Bagi sejarawan, hitungan mundur tahun sebelum tahun 1 adalah tahun 1 SM, 2 SM, 3 SM dan seterusnya. Sementara menurut astronom hitungan mundur tahun sebelum tahun 1 adalah tahun 0, -1, -2 dan seterusnya. Sebagai contoh, tahun -45 sama dengan tahun 46 SM. Adapun tahun kabisat (leap year) yang habis dibagi 4 untuk tahun negatif dirumuskan secara astronomis. Jadi yang termasuk tahun kabisat adalah tahun 8, 4, 0, -4, -8, -12 dan seterusnya.
Dalam kalendar Gregorian, definisi tahun kabisat yang habis dibagi 4 sedikit mengalami perubahan. Jika suatu tahun habis dibagi 4 tetapi tidak habis dibagi 100, termasuk tahun kabisat. Contohnya, tahun 1972, 2468 termasuk tahun kabisat. Jika suatu tahun habis 100, tetapi tidak habis dibagi 400, maka tahun tersebut bukan tahun kabisat. Jika habis dibagi 400, termasuk tahun kabisat. Jadi, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 1600, 2000, 2400 termasuk tahun kabisat.
Terjadinya perubahan kalender Julian menjadi kalender Gregorian disebabkan adanya selisih antara panjang satu tahun dalam kalender Julian dengan panjang rata-rata tahun tropis (tropical year). Satu tahun kalender Julian adalah 365,2500 hari. Sementara panjang rata-rata tahun tropis adalah 365,2422 [2]. Berarti dalam satu tahun terdapat selisih 0,0078 hari atau hanya sekitar 11 menit. Namun, selisih ini akan menjadi satu hari dalam jangka 128 tahun. Jadii dalam ratusan atau ribuan tahun, selisih ini menjadi signifikan hingga beberapa hari. Jika dihitung dari tahun 325 M (saat Konsili Nicaea menetapkan musim semi atau vernal ekuinoks jatuh pada 21 Maret) sampai dengan tahun 1582, terdapat selisih sebanyak (1582 – 325) X 0,0078 hari = 9,8 hari atau hampir 10 hari. Dan ini dibuktikan dengan musim semi pada tahun 1582 M, dimana vernal ekuinoks jatuh pada tanggal 11 Maret, bukan sekitar tanggal 21 Maret seperti biasanya. Karena itulah, saat kalender Gregorian ditetapkan, tanggal melompat sebanyak 10 hari. Tanggal setelah 4 Oktober 1582 bukan 5 Oktober tetapi 15 Oktober 1582.
Dalam kalender Gregorian, panjang rata-rata satu tahun adalah 365,2425 hari yang mana cukup dekat dengan rata-rata tahun tropis sebesar 365,2422 hari. Selisihnya dalam setahun adalah 0,0003 hari, yang berarti akan terjadi perbedaan satu hari setelah sekitar 3300 tahun. Sebagai perbandingan, dalam kalender Islam yang menggunakan peredaran bulan, rata-rata satu bulan sinodik adalah 29,530589 hari [3]. Dalam kalender Islam secara aritmetik (bukan hasil observasi/rukyat), dalam 30 tahun (360 bulan) terdapat 11 tahun kabisat (355 hari) dan 19 tahun biasa (354 hari). Rata-rata hari dalam satu bulan adalah (11 X 355 + 19 X 354)/360 = 29,530556 hari. Dengan demikian dalam satu bulan, selisih antara satu bulan sinodik dengan satu bulan aritmetik adalah 0,000033 hari. Selisih ini akan menjadi satu hari setelah kira-kira 30000 bulan atau 2500 tahun. Pembahasan lebih mendalam soal kalender Islam serta konversinya dengan kalender Gregorian Insya Allah akan dibahas pada kesempatan berikutnya.
Adanya perubahan dari kalender Julian menjadi Gregorian membuat kesulitan tersendiri untuk membandingkan peristiwa astronomis yang terpisah dalam jangka waktu cukup lama. Untuk mengatasi masalah ini, diperkenalkan Julian Day. Julian Day (JD) didefinisikan sebagai banyaknya hari yang telah dilalui sejak hari Senin tanggal 1 Januari tahun 4713 SM (sebelum Masehi) pada pertengahan hari atau pukul 12:00:00 UT (Universal Time) atau GMT. Perlu diingat, tahun 4713 SM tersebut sama dengan tahun -4712.
JD 0 = 1 Januari -4712 12:00:00 UT = 1,5 Januari -4712 (karena pukul 12 menunjukkan 0,5 hari)
JD 0,5 = 2 Januari -4712 00:00:00 UT
JD 1 = 2,5 Januari -4712. Dan seterusnya
4 Oktober 1582 M = JD 2299159,5
15 Oktober 1582 M = JD 2299160,5
Jika JD berkaitan dengan waktu yang dihitung menurut Dynamical Time (TD, bukan DT) atau Ephemeris Time, biasanya digunakan istilah Julian Ephemeris Day (JDE, bukan JED). Sebagai contoh
17 Agustus 1945 UT = JD 2431684,5
27 September 1974 TD = JDE 2442317,5
Dalam ilmu hisab astronomis kontemporer, pemahaman terhadap Julian Day sangat penting. Julian Day menjadi syarat kita dapat menghitung posisi benda bulan, matahari dan planet-planet yang selanjutnya dipakai untuk menentukan bulan baru, waktu shalat dan lain-lain. Julian Day juga menjadi dasar untuk menentukan fenomena alam seperti menentukan kemiringan orbit rotasi bumi, menghitung kapan terjadinya ekuinoks dan solstice, dan sebagainya.
Metode untuk menghitung Julian Day untuk tanggal tertentu disajikan berikut ini, merujuk pada [3].
Misalnya tahun adalah Y (Y dapat pula negatif, asalkan tidak lebih kecil dari -4712).
Nomor bulan adalah M, dimana M = 1 untuk Januari, M = 2 untuk Februari dan seterusnya, hingga M = 12 untuk Desember.
Nomor hari/tanggal adalah D. D dapat pula berbentuk pecahan. Namun perlu diperhatikan bahwa nilai maksimal D harus menyesuaikan dengan bulan M. Sebagai contoh, jika M = 4 (April), maka D tidak mungkin sama dengan 31.
Jika M > 2, M dan Y tidak berubah. Jika M = 1 atau 2, ganti M menjadi M + 12 dan Y menjadi Y – 1. Dengan kata lain, bulan Januari dan Februari dapat dianggap sebagai bulan ke 13 dan ke 14 dari tahun sebelumnya.
Untuk kalendar Gregorian, hitung A = INT(Y/100) dan B = 2 + INT(A/4) – A.
Untuk kalendar Julian, A tidak perlu dihitung, sedangkan B = 0.
Julian Day dirumuskan sebagai JD = 1720994,5 + INT(365,25*Y) + INT(30,6001(M + 1)) + B + D.
Disini, INT adalah lambang di Excel untuk menyatakan integer (bilangan bulat dari suatu bilangan). Contoh INT(12) = 12. INT(3,57) = 3. Untuk bilangan negatif, INT(-4,7) = -5, bukan -4. INT(-25,79) = -26. Sementara itu tanda * menyatakan perkalian.
Metode menentukan JD di atas dapat digunakan untuk tahun negatif, tetapi tidak untuk Julian Day negatif. Karena itu nilai Y tidak boleh lebih kecil daripada -4712.
Soal : Hitunglah Julian Day untuk hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Jawab : D = 17. M = 8. Y = 1945.
A = INT(1945/100) = INT(19,45) = 19.
B = 2 + INT(19/4) – 19 = 2 + 4 – 19 = -13.
JD = 1720994,5 + INT(365,25 X 1945) + INT(30,6001 X 9) + (-13) + 17 = 2431684,5.
17 Agustus 1945 = JD 2431684,5.
Soal : Hitunglah Julian Day saat terjadi Nabi Muhammad SAW melakukan puasa pertama pada tanggal 26 Februari 624 M.
Jawab : Karena M = 2, maka M diubah menjadi 14 dan Y menjadi 623.
Karena termasuk kalendar Julian, B = 0.
Jadi JD = 1720994,5 + INT(365,25 X 623) + INT(30,6001 X 15) + 0 + 26 = 1949029,5.
26 Februari 624 M = JD 1949029,5.
Waktu dalam jam, menit dan detik dapat pula dimasukkan ke dalam pecahan hari. Karena 1 hari = 24 jam, 1 jam = 60 menit dan 1 menit = 60 detik, maka Pecahan hari = (jam X 3600 + menit X 60 + detik)/86400.
Soal : Bulan baru (newmoon) terjadi pada hari Sabtu, 1 Januari 2962 SM pukul 19:47:04 TD. Carilah JDE.
Jawab : Dari data asal diketahui M = 1 dan Y = -2961.
Karena itu M berubah menjadi 13 dan Y = -2962.
D = 1 + (19 X 3600 + 47 X 60 + 4)/86400 = 1,82435. B = 0.
Jadi JDE = 1720994,5 + INT(365,25 X -2962) + INT(30,6001 X 14) + 0 + 1,82435 = 1720994,5 – 1081871 + 428 + 1,82435 = 639553,32435.
1 Januari 2962 SM pukul 19:47:04 TD = JDE 639553,32435.
Nama hari dapat ditentukan dengan mudah dengan menggunakan JD. Perlu diketahui, pergantian hari terjadi pada pukul 00:00:00 dimana JD mengandung angka xxxxxxx,5. Tambahkan JD dengan 1,5, lalu dibagi 7. Sisanya ditambah 1 menunjukkan nomor hari, dimana nomor hari = 1 adalah hari Ahad, nomor hari 2 hari Senin, dan seterusnya hingga nomor hari 7 menunjukkan hari Sabtu.
Soal : Tentukan hari apakah tanggal 17 Agustus 1945.
Jawab : JD untuk tanggal 17 Agustus 1945 adalah 2431684,5.
JD + 1,5 = 2431686, yang selanjutnya jika dibagi 7 akan bersisa 5.
Nomor hari = 5 + 1 = 6.
17 Agustus 1945 adalah hari Jumat.
JD dapat pula digunakan untuk menentukan selang waktu antara dua tanggal.
Soal : Tentukan selang waktu antara dua gerhana matahari total yang terjadi pada tanggal 11 Juli 2010 dan 13 Nopember 2012.
Jawab : JD untuk kedua tanggal tersebut masing-masing adalah 2455388,5 dan 2456244,5.
Selisih antara tanggal 11 Juli 2010 dan 13 Nopember 2012 adalah 856 hari.
Jika paparan di atas adalah mengubah tanggal menjadi JD, maka kini akan disajikan sebaliknya. Metode untuk mengubah JD menjadi tanggal adalah sebagai berikut.
JD1 = JD + 0,5.
Z = INT(JD1).
F = JD1 – Z.
Jika Z < 2299161, maka A = Z.
Adapun jika Z >= 2299161, hitunglah AA = INT((Z – 1867216,25)/36524,25) dan A = Z + 1 + AA – INT(AA/4).
Selanjutnya
B = A + 1524.
C = INT((B – 122.1)/365,25).
D = INT(365,25*C).
E = INT((B – D)/30,6001).
Tanggal (termasuk juga dalam bentuk desimal) dapat dihitung dari B – D – INT(30,6001*E) + F.
Bulan M dapat dihitung sebagai berikut.
Jika E = 14 atau 15, maka M = E – 13.
Jika E < 14, maka M = E – 1.
Tahun Y dapat dihitung sebagai berikut.
Jika M = 1 atau 2, maka Y = C – 4715.
Jika M > 2, maka Y = C – 4716.
Soal : Tentukan tanggal bulan dan tahun untuk JD = 2457447,9505.
Jawab : JD1 = 2457448,4505. Z = 2457448 dan F = 0,4505.
Karena Z > 2299161 maka AA = INT((2457448 – 1867216,25)/36524,25) = 16.
A = 2457448 + 1 + 16 – INT(16/4) = 2457461.
B = 2458985.
C = INT((2458985 – 122.1)/365,25) = 6731.
D = INT(365,25 X 6731) = 2458497.
E = INT((2458985 – 2458497)/30,6001) = 15.
Tanggal = 2458985 – 2458497 – INT(30,6001 X 15) + 0,4505 = 29,4505.
Angka desimal pada tanggal tersebut adalah 0,4505 hari yang jika dikonversikan ke dalam waktu menjadi pukul 10:48:43,2.
Karena E = 15, maka Bulan M = 15 – 13 = 2 atau Februari.
Karena M = 2, maka Tahun Y = 6731 – 4715 = 2016.
Jadi JD 2457447,9505 = 29 Februari 2016 pukul 10:48:43,2.
Jika pembaca merasa agak kesulitan mengikuti perhitungan-perhitungan di atas, silakan mendownload file Microsoft Excel tentang konversi tanggal ke Julian Day maupun sebaliknya dengan mengklik link berikut.
Silakan digunakan, semoga bermanfaat.
===============================
Dr. Rinto Anugraha
Dosen Fisika FMIPA UGM.
Email: rinto74 (at) yahoo (dot) com
Referensi:
[1] Nachum Dershowitz dan Edward M. Reingold: Calendrical Calculation, Third Edition, Cambridge University Press, 2008.
[2] Archie E. Roy dan David Clarke: Astronomy Principles and Practices, Fourth Edition, Institute of Physics Publishing.
[3] Jean Meeus: Astronomical Algorithm, Willmann-Bell, Virginia, 1991.

Kalender Islam Aritmetika


Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menjelaskan kalender Julian, kalender Gregorian serta Julian Day (JD). Sebagai review singkat, kalender Julian digunakan sampai dengan hari Kamis 4 Oktober 1582 M. Satu hari sesudahnya adalah Jumat 15 Oktober 1582 M dimana yang berlaku adalah kalender Gregorian. Tidak ada tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 [1]. Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan tentang kalender Islam, serta metode konversi antara kalender Islam dengan kalender Masehi (Julian dan Gregorian).
Perlu dicatat bahwa kalender Islam yang disajikan disini adalah menurut perhitungan matematika/aritmetika, bukan berdasarkan observasi/rukyat. Karena itu, mungkin saja terjadi perbedaan satu hari, antara kalender Islam secara aritmetika, dengan kalender Islam yang disusun berdasarkan observasi hilal. Penjelasannya akan diberikan di bawah ini.
Kalender Islam adalah kalender yang disusun berdasarkan pergerakan bulan. Kalender Islam sering disebut kalender Qamariyah (lunar calendar). Gerakan bulan sekurangnya dibagi menjadi tiga [2]:
1. Rotasi bulan terhadap sumbunya. Satu kali putaran memakan waktu 27,321582 hari.
2. Gerak bulan mengitari bumi. Satu kali putaran mengitari bumi dengan kerangka acuan (pengamat) bintang yang jauh yang disebut satu bulan sideris (sidereal month) memakan waktu 27,321582 hari atau 27 hari 7 jam 43 menit 4,7 detik.
Lama satu bulan sideris ini tepat sama dengan satu kali rotasi bulan terhadap sumbunya, sehingga kita selalu melihat wajah bulan yang sama. (Namun demikian terdapat fenomena libration, yaitu fenomena penampakan sebagian permukaan bulan yang lain yang Insya Allah pada kesempatan lain). Ketika bulan bergerak mengitari bumi, bumi juga bergerak mengitari matahari. Akibatnya dibutuhkan tambahan waktu, agar bulan tepat satu kali putaran mengitari bumi dengan kerangka acuan (pengamat) matahari. Satu kali putaran mengitari bumi dengan kerangka acuan (pengamat) matahari yang disebut satu bulan sinodik memakan waktu 29,530589 hari. Lihat Gambar 1.
3. Gerak bulan mengitari matahari. Bumi mengitari matahari dalam lintasan elips, demikian juga lintasan bulan mengitari bumi berbentuk elips. Jarak bumi – matahari jauh lebih besar daripada jarak bulan – bumi. Dengan menggabungkan keduanya, bulan mengitari matahari dalam lintasan yang berbentuk elips yang bermodulasi/berpresisi. Lihat Gambar 2.
Karena gaya gravitasi antara bulan-matahari jauh lebih besar daripada gravitasi antara bulan-bumi, dengan kata lain, sebenarnya bulan bergerak mengitari matahari karena gravitasi antara bulan-matahari, sedangkan lintasan bulan yang bermodulasi disebabkan oleh gravitasi bulan-bumi.
Gambar 1. Ilustrasi satu bulan sideris dan satu bulan sinodik.
Gambar 2. Orbit bulan dan bumi mengelilingi matahari S. Dikutip dari [2].
Kalender Islam disusun berdasarkan lama rata-rata satu bulan sinodik, yaitu 29,530589 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,9 detik. Rata-rata ini sedikit lebih besar daripada 29,5 hari. Angka 29,5 hari adalah nilai tengah dari 29 dan 30.
Jadi kalender Islam secara aritmetik disusun dengan cara menetapkan jumlah hari dalam satu bulan Islam sebesar 30 dan 29 hari secara bergantian [1].
Bulan 1: Muharram 30 hari Bulan 2: Shafar 29 hari Bulan 3: Rabi’ul Awwal 30 hari Bulan 4: Rabi’ul Akhir 29 hari Bulan 5: Jumadil Awwal 30 hari Bulan 6: Jumadil Akhir 29 hari Bulan 7: Rajab 30 hari Bulan 8: Sya’ban 29 hari Bulan 9: Ramadhan 30 hari Bulan 10: Syawwal 29 hari Bulan 11: Dzulqa’dah 30 hari Bulan 12: Dzulhijjah 29 (30) hari
Khusus untuk bulan Dzulhijjah, jumlah hari bisa berjumlah 29 atau 30, sebagai kompensasi rata-rata lama satu bulan sinodik yang sedikit lebih besar dari 29,5 hari. Jika Dzulhijjah 29 hari, maka tahun itu bukan tahun kabisat, mengandung 354 hari.
Jika bulan Dzulhijjah berisi 30 hari, maka tahun itu disebut tahun kabisat yang mengandung 355 hari. Dalam rentang 30 tahun Islam, terdapat 11 tahun kabisat yaitu pada tahun 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Berarti dalam rentang 30 tahun (atau 360 bulan), banyaknya hari adalah 30 X 354 + 11 = 10631 hari. Rata-rata satu bulan adalah sama dengan 10631/360 = 29,530556 hari.
Angka ini sangat dekat dengan rata-rata bulan sinodik yaitu 29,530589 hari. Selisih dalam satu bulan adalah 0,000033 hari, atau menjadi sama dengan 1 hari dalam sekitar 30.000 bulan (2500 tahun). Selisih ini sangat kecil. Hingga saat ini, tahun Islam masih sekitar 1400-an, sehingga belum perlu untuk dilakukan koreksi.
Untuk menentukan apakah suatu tahun Islam termasuk tahun kabisat Islam tidaklah sulit. Bagilah suatu tahun Islam dengan 30, lalu ambil sisanya. Jika sisanya sama dengan angka 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 atau 29, maka termasuk tahun kabisat Islam. Contohnya tahun 1431 H. Angka 1431 dibagi 30 adalah 47 bersisa 21. Karena bersisa 21, berarti 1431 H tahun kabisat. Contoh lain, tahun 914 H bukan tahun kabisat.
Ada beberapa catatan mengenai kalender Islam secara aritmetik ini.
1. Kalender ini hanyalah disusun berdasarkan perhitungan aritmetika, bukan berdasarkan observasi/rukyat atau hisab berkriteria syarat minimal penampakan hilal. Kalender ini digunakan untuk keperluan sipil sehari-hari atau administrasi, seperti halnya kalender Ummul Qura yang berlaku di Arab Saudi. Adapun untuk keperluan ibadah (puasa Ramadhan, Iedul Fitri, haji), maka harus dilakukan observasi hilal.
2. Terjadinya perbedaan tanggal antara sistem kalender ini dengan hasil observasi hilal, sangatlah mungkin. Mungkin saja terdapat perbedaan satu hari. Sebagai perbandingan, metode konversi Islam – Masehi pada software Accurate Times buatan Muhammad Odeh (Yordania) juga menyatakan “Date Corversion is NOT based on Crescent Visibility. One-day difference is possible.” [3]
3. Alasan lain yang memungkinkan terjadinya perbedaan adalah sistem ini ditetapkan sama untuk seluruh dunia. Padahal, boleh jadi di 2 tempat yang sangat berjauhan, menurut observasi hilal tanggal Masehi yang sama menghasilkan tanggal Hijriyah yang berbeda. Misalnya, tanggal 17 Februari 1980 adalah 1 Rabi’uts Tsani 1400 H di Los Angeles tetapi di Jakarta masih 30 Rabi’ul Awwal. Ini disebabkan, pada tanggal 16 Februari 1980 saat matahari terbenam, hilal memungkinkan untuk dilihat di Los Angeles, tetapi tidak mungkin dilihat di Jakarta.
(Disini, sejumlah faktor eksternal seperti status negeri Islam atau bukan, mengikuti pendapat Arab Saudi atau negeri Islam terdekat atau lokal, madzhab otoritas setempat dalam menetapkan bulan baru, tidak ikut diperhitungkan)
4. Dalam susunan kalender Islam aritmetik ini, bulan ganjil selalu 30 hari, dan bulan genap selalu 29 hari (kecuali bulan 12 untuk tahun kabisat). Sudah tentu dalam realitasnya berdasarkan observasi hilal, bulan ganjil bisa pula 29 hari sedangkan bulan ganjil bisa pula 30 hari. Tetapi tidak mungkin 28 atau 31 hari.
5. Disini penulis menyebut urutan tahun kabisat adalah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Urutan ini adalah urutan yang paling sering digunakan orang. Sebagai tambahan, ada pula variasi urutan tahun kabisat lainnya, seperti tahun 15 menggantikan 16 (Kuwait algorithm) dan lain-lain.
Sebagai patokan awal, tanggal Islam 1 Muharram 1 H secara umum disepakati sama dengan hari Jumat 16 Juli 622 M, baik menurut metode aritmetika maupun menurut observasi. Namun demikian ada catatan, ada pula yang menetapkan 1 Muharram 1 H adalah Kamis 15 Juli 622 M [4].
Sedikit penjelasan mengenai soal ini, di Makkah pada Rabu 14 Juli 622 M saat matahari terbenam (sunset), konjungsi sudah terjadi dan bulan terbenam (moonset) terjadi setelah sunset. Saat sunset, altitude bulan bernilai positif. Namun, kecilnya altitude hilal dan selisih azimuth matahari-bulan yang juga kecil saat sunset mengakibatkan kecilnya sudut elongasi antara matahari-bulan saat sunset sehingga hilal belum memungkinkan untuk diamati. Barulah pada Kamis 15 Juli maghrib, hilal cukup mudah untuk dilihat dengan mata sehingga 1 Muharram 1 H ditetapkan pada Jumat 16 Juli 622 M. Soal ini Insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.
Setelah memahami catatan di atas, selanjutnya akan dibahas metode konversi Islam – Masehi atau sebaliknya. Pemahaman terhadap Julian Day akan sangat membantu. Metode konversi dari tanggal Islam ke tanggal Masehi adalah sebagai berikut. Tanggal pertama (1 Muharram 1 H) adalah 16 Juli 622 M, dimana JD = 1948439,5 sehingga “tanggal nol” (patokan atau epoch) bersesuaian dengan JD = 1948438,5. Karena itu tanggal Islam tertentu menunjukkan selisih hari dengan JD 1948438,5.
Soal: Tentukan tanggal Masehi untuk 17 Ramadhan 615 H (17-9-615). Jawab: Karena tahun 615 masih dijalani, jumlah tahun yang telah utuh dilalui sejak epoch adalah 614 tahun.
614 tahun/30 tahun = 20, sisa 14 tahun. Karena 30 tahun = 10631 hari, maka 20 kali 30 tahun = 20 X 10631 = 212620 hari. Selama sisa 14 tahun, terjadi 5 kali tahun kabisat (yaitu tahun 2, 5, 7, 10, 13). Jadi 14 tahun = 14 X 354 + 5 = 4961 hari.
Karena bulan 9 masih dijalani, maka jumlah bulan yang telah utuh dilalui di tahun 615 H adalah 8 bulan. Dengan mengingat selang seling 30, 29, 30, 29 dan seterusnya, 8 bulan = 236 hari. Dengan ditambah tanggal 17, maka total hari = 212620 + 4961 + 236 + 17 = 217834 hari. Jadi JD 17 Ramadhan 615 H = 1948438,5 + 217834 = 2166272,5. Dikonversi ke tanggal Masehi, diperoleh Jumat, 7 Desember 1218 M.
Disini ada beberapa catatan kecil. Konversi harus menyesuaikan dengan lama hari maksimum untuk setiap bulan. Contoh, untuk bulan Shafar maksimal tanggal 29. Tanggal setelah 29 Shafar adalah 1 Rabi’ul Awwal. Jika tanggal yang dimasukkan adalah 30 Shafar, hasilnya sama jika tanggal yang dikonversi adalah 1 Rabi’ul Awwal. Demikian juga tanggal 30 Dzulhijjah hanya bisa digunakan pada tahun kabisat Islam.
Tanggal dan bulan hendaknya sesuai dengan batasan angka maksimal (misalnya angka bulan maksimal 12). Bisa saja kita memperoleh jawaban untuk konversi tanggal yang aneh, seperti tanggal 123 bulan 456 tahun 789 H, meskipun hasilnya tidak memiliki makna.
Selanjutnya akan dibahas konversi dari tanggal Masehi (Julian dan Gregorian) ke tanggal Islam. Julian Day juga akan digunakan.
Soal: Tentukan tanggal Islam untuk 29 Desember 2008 M. Jawab: 29 Desember 2008 M = JD 2454829,5.
Selisih hari dengan “tanggal nol” adalah 2454829,5 – 1948438,5 = 506391. Karena 30 tahun Islam = 10631 hari, maka 506391/10631 = 47 kali, sisa 6734 hari. 47 kali 30 hari = 1410 tahun.
Sisa 6734 hari = 6733 hari + 1 hari = 19 tahun + 1 hari. Disini 6733 = 19 tahun, karena 6733 = 19 X 354 + 7 (Selama sisa 19 tahun utuh, ada 7 tahun kabisat Islam yaitu tahun 2, 5, 7, 10, 13, 16 dan 19). Sisa 1 hari ini menunjukkan hari pertama, bulan pertama dalam tahun tersebut, dan tahun yang sedang dijalani itu tentunya ikut dihitung.
Tahun yang utuh dilalui = 1410 + 19 = 1429. Ditambah dengan tahun yang dijalani, menjadi 1430. Bulan yang dijalani = 1. Tanggal yang dijalani = 1. Kesimpulannya 29 Desember 2008 M = 1 Muharram 1430 H.
Detil algoritma konversi tanggal diberikan dalam file Excel. Silakan download di
http://ifile.it/y1otm04
Dalam file tersebut, diberikan penjelasan lebih lengkap, rumus dan pembaca dapat dengan mudah memperoleh hasilnya. Berikut ini hasil konversi beberapa tanggal, sebagai bahan latihan Selasa 1 Muharram -1000 H = 14 Mei -349 M Sabtu 1 Januari 1 M = 16 Jumadil Awwal -640 H Rabu 1 Syawal 100 H = 26 April 719 M Jumat 15 Oktober 1582 M = 17 Ramadhan 990 H Kamis 30 Dzulhijjah 1502 H = 26 Oktober 2079 M 1-30 bulan 5 tahun 20874 M = 1-30 bulan 5 tahun 20874 H (dengan beberapa catatan)
Semoga bermanfaat..
Dr. Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM)
Referensi: [1] Nachum Dershowitz dan Edward M. Reingold: Calendrical Calculation, Third Edition, Cambridge University Press, 2008. [2] P.D. Smith: Practical Astronomy with Your Calculator, Third Edition, Cambridge University Press, 1995. [3] M. Odeh: Accurate Times v. 5.1.13. [4] K.H. Nur Ahmad SS: Risalatul Falak Nurul Anwar, Kudus, 1986.

The World Its Mine