Jumat, 31 Desember 2010

Last day in 2010 ..

Sesungguhnya hitungan nafas telah ditetapkan, hitungan detik telah diperhitungkan.
Sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi modal tapi tidak digunakannya,
Sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi nafas tapi disia siakannya,
sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi waktu tapi disia siakannya,

Saudaraku,
Janganlah sia siakan nafas kita, jangan sia siakan waktu kita,
Perjalanan hidup manusia, menempuh alam dunia
menghabiskan waktu, yang tiada lama.

Usia bertambah makin senja, tiada terasa tak tersadar
Sadarilah, jalani hidup ini penuh makna.

Tak terasa Kita sudah dipenghujung Tahun 2010, hanya tinggal hitungan jam ..


" .. au revoir à l'année 2010 , bienvenue à l'année 2011 .. bonne année .. "


Semoga di tahun yang baru Allah SWT memberi Kita semua : kesehatan lahir maupun batin, kemudahan serta kebarokahan rezeki dan urusan, keluarga yang bahagia, terlaksana semua cita-cita yang ada dalam diri dan selamanya selalu berada dalam Ridho dan Lindungan-Nya. each day get better .. Amiin.


abi omtez, winda dewiriantie, daviq razaq dan fadya azkya serta keluarga besar di Cirebon dan Bandung.

Kang Soleh, Abang Becak ..

Pada hari penghisaban (penghitunngan atas amal perbuatan manusia) sedang mengantre empat orang manusia dengan berlainan profesi sewaktu masih hidup di dunia.

Manusia pertama bernama Alim, yang konon sewaktu masih hidup di dunia adalah seorang kyai yang sangat terkenal keluasan ilmunya dan kesalehan ibadahnya serta mempunyai ribuan santri.

Manusia kedua bernama Somad, yang mana sewaktu masih hidup di dunia berprofesi sebagai Kepala Desa yang sangat disayangi oleh warganya karena kejujuran dan keadilannya.

Manusia ketiga bernama Badri, dimana sewaktu hidupnya merupaka seorang juragan yang sangat kaya raya serta terkenal pula kedermawanannya dan kemurahan hatinya dalam menolong dan membantu orang-orang yang kesusahan.

Manusia keempat bernama Soleh, yaitu ketika hidupnya adalah merupakan seorang tukang becak yang biasa mangkal di terminal.

Keempatnya sewaktu didunia tinggal di desa yang sama, meskipun bukan tetangga yang saling berdekatan rumahnya.

Dan kebetulan pula kematian merekapun hampir bersamaan waktunya, meskipun dari sebab yang berbeda-beda.

Kyai Alim, meninggal dunia karena sakit sepuh (tua) karena beliau memang ditakdirkan Allah SWT berusia lanjut, hingga kira-kira 95 tahun.

Lurah Somad, meninggal karena terbunuh oleh seorang pesaing politiknya yang iri dengki melihat pengaruh Lurah Somad yang demikian kuat pada semua warganya. Pesaingnya ini merasa dendam akibat dikalahkan sewaktu PILKADES, padahal dia sudah mengelurakan uang demikian banyak untuk menyuap dan membayar penduduk supaya memilihnya.

Haji Badri (demikian biasanya orang menyebutnya), meninggal akibat sakit komplikasi yang membuatnya harus menginap selama sebulan di sebuah rumah sakit ternama di sebuah kota besar ibukota provinsi.

Kang Soleh, meninggal dunia disebabkan karena kecelakaan di jalan raya, dimana sewaktu kang Soleh pulang dari mangkalnya di terminal, ditengah perjalanan sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi menabraknya dari belakang yang mengakibatkan dia tewas seketika di jalan itu.

……………………………….

Ketika itu yang mengantri paling depan adalah Kyai Alim.

Maka berkatalah Malaikat penghitung kepadanya:

“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” demikian Malaikat berkata sambil membentak.

“ Perkenalkan, nama saya Alim, selama hidup saya adalah seorang kyai yang wara’, zuhud dan ‘alim serta selalu mengamalkan dan mengajarkan ilmu saya kepada banyak sekali murid di pesantren saya, seumur hidup saya selalu membaktikan diri saya untuk agama dan umat, kenapa saya mesti masuk neraka ?“ Kyai Alim berupaya memprotes.

“ Iya betul, tetapi dalam setiap amaliyahmu selalu terselip perasaan ujub, kau selalu merasa paling alim, paling wara’, paling zuhud, paling khusyuk, maka kau tak pantas masuk syurga, karena sifat ujub adalah bagian dari kesombongan, tempatmu adalah neraka, maka pergilah kau kesana!”, Malaikat membentak, lalu melemparkannya ke neraka.

Pengantri yang kedua adalah Lurah Somad, yang kemudian dipanggil pula untuk menghadap.

“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” Malaikat berkata kepada Lurah Somad.

“ Lho kok bisa begitu Malaikat ? “ protes Lurah Somad.
“ Padahal selama hidup saya tidak pernah maksiyat kepada Allah, saya selalu menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh, dan juga sewaktu menjadi Kepala Desa saya selalu bersikap adil, jujur, amanah, mengayomi seluruh rakyat saya, mensejahterakan kehidupan mereka serta menjadikan desa saya adil, makmur dan sejahtera”, jelas Lurah Somad membela diri.

“ Benar Lurah Somad, tetapi perlu kau ketahui bahwa dibalik sikap adilmu dan pengayomanmu kepada rakyatmu karena engkau kepingin terkenal, kepingin masyhur, dan kepingin dipuja-puja oleh rakyatmu, agar melanggengkan kekuasaanmu, sifat seperti ini adalah bagian dari kesombongan, dan kau harus masuk neraka !”, dengan bengis Malaikat berkata, kemudian menyeretnya menuju neraka.

Berikutnya yang datang menghadap adalah Haji Badri.

“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” bentak Malaikat kepada Haji Badri.

“ Mohon maaf Malaikat yang terhormat, mengapa saya harus masuk neraka, dahulu sewaktu masih hidup didunia, saya seorang yang dermawan, hampir seluruh harta saya belanjakan di jalan Allah, untuk berzakat, infaq dan sedekah, pendeknya setiap orang yang membutuhkan uluran tangan saya selalu saya bantu, hutang piutang mereka saya lunaskan, kesulitan mereka saya mudahkan”, Haji Badri mencoba menerangkan.

“ Ketahuilah wahai Haji Badri, semua kedermawananmu itu sia-sia belaka, karena kau menyembunyikan perasaan riya’, pamer dan mengharapkan pujian dari manusia lain, dengan demikian kau telah berbuat kesombongan, maka dari itu tempatmu adalah neraka !”, sambil berkata demikian Malaikat membuang Haji Badri kedalam neraka.

Kemudian datanglah kang Soleh dengan mengendarai becaknya mengantri dihadapan Malaikat.

“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu pantas masuk syurga !” Malaikat berkata dengan lembut kepada kang Soleh.

“ Karena dibalik kemiskinannmu kamu tidak berputus asa dari rahmat Allah, kamu selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh, serta semua ibadah yang kamu lakukan dilandasi rasa ikhlas semata-mata kepada Allah, maka dari itu Allah mengganjarmu dengan syurga-Nya “, Malaikat melanjutkan penjelasannya.

“ Terima kasih wahai Malaikat, tetapi saya tidak mau masuk syurga kalau Kyai Alim juga tidak masuk syurga !”, kata kang Sholeh.

“ Lho kenapa ?”, tanya Malaikat.

“ Sebab, saya bisa tahu cara beribadah, saya belajar teori keikhlasan adalah karena saya berguru dan mengaji kepada Kyai Alim, maka saya tidak mau masuk syurga jika guru saya Kyai Alim tidak dimasukkkan ke syurga !”, harap kang Sholeh.

“ Baik, baik, atas kemurahanmu, Kyai Alim boleh masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.

“ Iya tetapi saya tetap tidak mau masuk syurga, jika Lurah Somad tidak masuk syurga “, kang Sholeh menyanggah lagi.

“ Lho ada apa ini ?”, heran Malaikat.

“ Karena berkat keadilan Lurah Somad serta perlindungannya kepada kaum miskin seperti saya, maka saya merasa hidup tentram dan nyaman di desa itu, maka saya mohon agar Lurah Somad bisa masuk syurga bersama saya “, kang Soleh memohon.

“ Boleh, boleh, berkat kemurahanmu pula, Lurah Somad bisa masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.

“ Malaikat boleh tidak aku minta satu permintaan lagi ?”, tanya kang Soleh.

“ Apa permintaanmu selanjutnya ?”, balik tanya Malaikat.

“ Aku minta Haji Badri, dimasukkan syurga pula bersamaku ,” jawab kang Soleh.

“ Apa alasan yang kamu ajukan, mengajak Haji Badri ke syurga bersamamu ?”, kembali Malaikat bertanya.

“ Karena Haji Badri sering kali membantuku jika aku kesulitan, dan harap diketahui wahai Malaikat, bahwa becak yang merupakan saranaku mencari rejeki dengan halal di jalan Allah ini merupakan pemberian dari Haji Badri, demikian harap kiranya Haji Badri dimasukkan syurga bersama saya ,” harap kang Soleh.

“ Baik, baik, sebab kemurahanmu kalian berempat boleh masuk syurga bersama-sama “, demikian Malaikat menutup persidangan empat orang tersebut.

Lalu mereka berempatpun bersama-sama naik syurga dengan membonceng becak kang Soleh, yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. (Wallaahu A’lam Bishowab)


Cerpen Rudi Setiawan
seorang TKI yang saat ini sedang bekerja di Doha, Qatar.

Selasa, 28 Desember 2010

Memuliakan Keluarga

Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada Rasulullah saw.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin.

Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu‘amalah insaniyah).

Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Memuliakan Keluarga

1. Hubungan suami-istri

Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami istri di dalam rumah tangganya. Dan ini memerlukan suatu upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami istri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadits:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 187)

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisaa:19)

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka…” (Q.S. An-Nisaa: 34)

“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita shalihah: jika dilihat (suami) menyenangkan dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (HR. Muslim)

“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”


“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA)

2. Memuliakan anak

Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni:

a. Menerima kelahiran

Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari orang itu. dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian (HR. Ad Darami).

b. Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia

Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah RA. (HR. al Hakim)

c. Tahnik

Yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di saat-saat pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu)
d. Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun).

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah:233)

e. Memberi nama yang baik.

Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung doa dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna.

f. Aqiqah

Menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)

g. Cukur rambut

Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (HR. Al-Hakim)

h. Khitan

Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.
Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika sedang mendidik anaknya:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat.

Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam.

3. Memuliakan orang tua

Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orang tuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia .Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 23-24)


Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….” (QS. An Nisa: 36)

Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada:

Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-shalatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiat)nya, serta menghubungkan ikatan yang tidak dapat dihubungkan melainkan karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (HR. Abu Dawud)

Ibuku Selalu Memberiku

“Dan Kami telah perintahkan kepada manusia (berbuat baik ) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, dankepadakulah kembalimu.” (Luqman: 14)

Ibu adalah satu kata yang paling berkesan dalam hidup manusia. “Mama”, “Bunda”, “Enyak”, “Emak”, “Ummi” atau apa pun sebutannya, maksudnya tetap merujuk kepada seorang wanita yang melahirkan Kita puluhan tahun yang lalu. Adalah fitrah jika seorang manusia menghormati dan menghormati orang yang berjasa pada dirinya, apalagi mencintai dan menyayangi ibunya karena ibu telah begitu banyak berkorban, memberi dan memberi kepada anak-anaknya… Karena itu, tulisan ini didedikasikan agar setiap pembaca menghayati pengorbanan ibunya dan dapat bersyukur kepada Allah dan kemudian kepada ibu bapaknya. Karena setiap manusia di muka Bumi pasti terlahir dari seorang ibu. Setiap kita pasti pernah mengalami kehidupan dalam sebuah alam yang terhormat dalam perut seorang perempuan selama lebih kurang 9 bulan 10 hari. Alam kandungan merupakan tempat persinggahan yang kokoh sebelum lahir ke muka Bumi… Dia bernama “rahim”, nama yang sama dengan salah satu nama Allah yaitu “Ar-Rahim” (Yang Maha Penyayang).

Kenanglah Pemberian Ibu

Ibu teramat sangat besar jasanya bagi hidup seseorang. Tidak dapat dibandingkan dengan manusia mana pun. Sungguh keliru jika orang menganggap ada orang lain yang lebih berjasa bagi dirinya selain Ibunya sendiri. Sebelum orang lain melihat Anda lahir sebagai penduduk Dunia, ibulah yang pertama kali merasakan keberadaan Anda dalam tubuhnya. Dialah yang mensuplai Anda makanan, merawat dan memelihara Anda selama dalam kandungan… Saat itu, dalam tubuh ibumu terdapat dua jiwa yang salahsatunya harus dipersiapkan untuk menjadi seorang manusia… Dalam alam rahim inilah seluruh perasaan cinta dan kasih ibu dicurahkan terhadap anaknya, dengan perkenan dan idzin Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…

Mengandung seorang bayi bukanlah menggendong barang yang bisa istirahat di saat yang diinginkan. Sang jabang bayi melekat dengan tubuhnya dan menjadi parasit yang menggerogoti kekuatan Sang Ibu. Dari waktu ke waktu bertambah berat dan menyulitkan.. Sungguh jarang ibu mengeluh, meskipun ada sedikit keluhannya namun dia tetap dalam keadaan bangga dan penerimaan yang tulus terhadap keberadaan Anda di dalam tubuhnya… Untuk mengapresiasi para ibu, peristiwa ini digambarkan Allah di dalam Al qur-an,

Dan Kami telah perintahkan kepada manusia (berbuat baik ) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, dankepadakulah kembalimu. (Luqman: 14)

Anda tidak akan dapat membayangkan betapa sakitnya ketika seorang ibu ketika melahirkan seorang bayi.. Apalagi membayangkan ibu Anda sendiri sewaktu melahirkan Anda puluhan tahun yang lalu… Dia bergulat dengan maut, dia mempertaruhkan selembar nyawanya untuk kehadiran Anda sebagai penduduk Dunia… Tidak jarang Ibunda mengalah, dia harus wafat meninggalkan anaknya yang lahir sebagai bayi.. Kebahagiaan seorang ibu terjadi ketika anak tersebut lahir dengan selamat…, mendengar tangis bayinya untuk pertama kali. Mungkin dia bukan orang pertama yang melihat wujudnya dengan kedua biji mata, namun dapat dipastikan dialah yang paling bahagia saat itu… Dengan wajah penuh peluh, perasaan harap dan cemas dalam keadaan tubuh yang teramat letih dan lelah seolah-olah dia bertanya, “Bagaimana dia suster..?”… Itulah luapan cinta yang tak terhingga..

Tidak sampai disitu saja, Ibunda telah menyediakan seluruh perhatian dan kasih sayangnya kepada bayi yang baru lahir tersebut. dia menggendongnya, menyusukannya, merawat dan memeliharanya, memberi makanan dan membersihkannya… Di malam hari ibu harus bangun karena anaknya bangun dan minta disusui… Tidak ada waktu tersisa selain untuk merawat dan menjaga sang bayi… Menyusukan ini adalah berbagi makanan dengan anak yang disusukannya.. Menurut Ilmu Kedokteran susu ibu tidak tergantikan nilai kandungan gizinya dengan susu mana pun di muka bumi. ASI (Air susu ibu) yang diberikan secara cukup kepada seorang anak akan menentukan kesehatan dan ketahanan fisik anak tersebut di masa yang akan datang.

Bagaimana dengan ayah (bapak)? Pada saat anak dalam kandungan; sudah bagus jika ayah mau memberi kasih sayang kepada isteri yang mengandung anaknya.. Pada saat persalinan, sang Ayah biasanya hanya diam saja menunggu di luar tempat persalinan dengan harapan agar kerja keras isterinya berhasil. Alangkah bagusnya jika dia hadir di samping pembaringan isterinya, memberi semangat dan dorongan kepada calon ibu tersebut… Realitanya, kebanyakan kaum Bapak merasa tidak kuat menyaksikan persalinan atau karena alasan lain sehingga tidak di tempat… Pada waktu Anda bayi ayah sedikit menggendong anaknya dibandingkan ibu.. Apalagi untuk membersihkan kotoran atau kencing sang bayi…

Bukan untuk membanding-bandingkan, Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang “Siapakah orang yang paling pantas untuk mendapatkan pelayanan terbaikku” menjawab dengan “Ibumu!!!”. Pertanyaan ini diulang sampai tiga kali dan masih dijawab dengan “ibumu”. Setelah keempat kali barulah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Kemudian ayahmu”. Ini menggambarkan kedudukan ibu yang begitu tinggi. Hadits yang membicarakan keutamaan ayah dan ibu cukup banyak. Seperti, “Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain” (Ridho Allah terletak pada ridho kedua orangtua kemurkaan Allah terletak pada kamarahan kedua orangtua)

Ayah adalah orang bertanggung jawab kepada keluarga, perannya juga sangat penting dalam hidup Kita. Kerjasama yang baik kedua orangtua dalam melahirkan memelihara, dan mendidik anak ; itulah yang membuat Kita hadir di muka bumi sampai saat ini . Allah Subhanahu wa Ta’ala menekankan peranan ayah ibu dalam berbagai ayatnya. Kemudian mewajibkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain).

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil.” (Al Isra: 22)


Mampukah Kita Membalas?

Lantas dengan apakah Kita membalas semua kebaikan orangtua? Dapatkah Kita memberikan kasih sayang yang serupa kepada keduanya sebagaimana mereka menyayangi Kita diwaktu Kita kecil?

Hanya orang-orang berpekerti luhur dan mulia akan bersikap baik kepada kedua orang tua. Mereka tahu kedudukan serta kemuliaan ayah bundanya… dia dapat merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapak-nya seolah-olah dia bersujud dengan Ruh dan perasaan-nya laksana bersujud kepada Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu rahasia dalam kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan penghormatan kepada kedua oang tua. Dalam ajaran Islam, saking pentingnya berbuat baik kepada kedua orangtua seorang anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara kedua orangtuanya… walaupun keduanya musyrik atau berlainan agama. Keduanya berhak untuk diberi kebaikan dan pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kemusyrikan atau agamanya. Allah Azza wa jalla berfirman,

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan. (Al Ankabuut: )


Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ” Apakah dengan ini saya sudah menunaikan haknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Belum! Walaupun secuil”. Di zaman sekarang sering Kita temukan anak-anak yang memperlakukan Ibu atau ayahnya bagaikan pembantu atau pelayan. Kata-kata dan nasihat orangtuanya tidak didengar dan dipelajari secara seksama. Sering membentak dan menyakiti hati salah satu atau keduanya…

Bagaimanakah cara sebaiknya agar seseorang berbakti kepada orangtua ?? “Kasih ibu sepanjang hayat kasih anak sepanjang jalan”, itulah ungkapan yang sering muncul dalam mengungkapkan hubungan seseorang dengan ibunya. Sekarang ini, pernahkah Anda renungkan bagaimana sebenarnya sikap Anda terhadap ibu Anda. Coba renungkan sejenak apa saja jasa yang Anda berikan kepadanya…

Mungkin di antara Anda ada yang mengatakan, “Aku memberinya tempat tinggal”, “Aku membiayainya sewaktu dirawat di rumah sakit”.. Sebenarnya bukan itu yang diharapkan orangtua dari Anda… Yang diinginkannya adalah “kasih sayang”. Setidaknya ada lima kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya:

Pertama, Jangan ada penilaian yang tidak mengenakkan keduanya dikarenakan terlihat atau tercium dari kedua orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan beharap pahala kepada Allah dengan hal tersebut.

Kedua, jangan menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.

Ketiga, berbicara dengan suara dan kata-kata yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya.

Keempat, berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang keduanya terhadap kita, “robigh lii wa li-waa lidayya war ham humaa kamaa robbayaanii soghiroo” (ya Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan ampunilah sayangilah keduanya sebagaiman ameeka menyayangi daku sewaktu kecil)

Kelima, selalu bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya,

dengan menaati keduanya selama tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya. Agar menjadi anak berbakti perhatikan syarat-syarat berikut,

• Lebih mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri, isteri, anak, dan seluruh manusia.

• Selalu menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak.

• Berupaya memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu.

Jumat, 10 Desember 2010

"Pohon"

Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.


“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.


“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.


“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.


“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.


“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.


“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.**


Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.


Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.


“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”




Sahabat, Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” Siapapun Anda, bagaimanapun Anda, dan Dimanapun anda... tatap dan ikutilah cahaya lurus kebenaran...

karena bila tidak anda akan tersesat dalam kegelapan. Dan Bila terperangkap dalam gelap, jangan mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lah cayaha walaupun dengan Lilin...

"Buku Polos"

Lembaran kertas putih merasa tak nyaman ketika baru saja keluar dari pabrik. Ia merasa bingung dengan kenyataan dirinya. Tidak ada garis, tulisan, atau warna apa pun kecuali putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain.


“Kok aku beda?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain. “Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur. Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya lagi bahkan ada yang tertulis dengan huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat. “Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang hinggap!” tambah si buku polos menggugat.


“Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan.


Semua terdiam. Semua jenis buku tulis mulai ambil jarak dengan buku polos. Mereka khawatir kalau ketidakpuasan bukan sekadar gugatan, tapi berubah jadi tindakan. Hingga...


Seorang anak manusia mengambil buku polos dengan tangan kecilnya. Lembaran buku tak bergaris dan berwarna itu pun dipandangi sang anak begitu tajam. Entah apa yang dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia sudah berubah menjadi halaman penuh warna. Ada goresan merah, hijau, biru, kuning, dan berbagai perpaduan warna lain.


Ketika buku itu ditinggalkan sang anak, beberapa buku lain datang menghampiri. Semua terperanjat. Karena lembaran yang semula polos, kini berubah menjadi bentuk lukisan penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum.


Saat itulah, sang buku polos sadar. Selama ini, ia salah. Kepolosannya tanpa garis bukan bentuk penghinaan terhadap dirinya. Bukan juga ketidakadilan. Tapi, karena ia akan menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya.

...


Sahabat, Hidup ini penuh warna. Hampir tak ada yang sama pada ciptaan Allah SWT. Walaupun, masih sama-sama manusia. Ada yang kaya, cukup, dan kurang. Ada yang cantik, tampan; ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang merasa gagal.


Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan. Bahwa, belum tampaknya peluang-peluang berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang merupakan sebuah hukuman.


Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi, di balik kegagalan ada rahasia kesuksesan. Di balik sempitnya peluang, ada ujian kemampuan. Di balik lajang yang berkepanjangan, ada pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni keindahan goresan kehidupan.

"Nasi Bungkus"

Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran , penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.

Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di sebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.

”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.

“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.

“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.

“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.

”Oh... tidak! Kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”

Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”

“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”

”Yang ibu ku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”

”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”

Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.



Janganlah ragu , mulailah dari sekarang membiasakan diri berbagi dan memberi walaupun itu untuk perkara-perkara kecil ....MALULAH kita kepada TUHAN , berapa besar rizki yang DIA berikan untuk kita dan BERAPA BANYAK yang kita berikan untuk NYA ....?


Semoga kisah ini dapat menjadi renungan yang bermanfaat bagi kita bersama,

The World Its Mine