Selasa, 24 Agustus 2010

I am making a promise ..

I am making a promise, to only you..
I promise the love I have will be forever & true..
I Will take care of you and treat you like a queen..
I will lay beside you through ever night..
I will support you in every way and keep you warm..
I will hug, kiss and shelter you during a storm..
I will help you and guide you and clear a path..
I will protect you and shield you from an angry man’s wrath..
I will listen to your problems help you solve them too..
I will make you a rainbow and let the sun shine through..
I will take your side even if you are wrong..
Just to prove our love is strong..
I will plant you flowers and let them grow..
They will be a symbol of love that only we have..
I will whisper your name when no one is near me..
So low that only you can hear my voice..
You will sense my love for you every second..
You will know that you are the only one in my heart..

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un ..

Kasaha deui cimata ieu ngeclak..
Kasaha deui katineung ati ngarasa..
Aya anu leungit,lain anu kaimpenan..
Aya anu datang,lain anu deukeut dipiharep..
Mung Gusti Alloh anu kawasa..
Gusti Alloh nu gaduh sagalana..
Mung kaanjeunNa urang malulih..
Mugia anu kacandak sanes mung saukur layon bodas,tapi oge amal ibadah..
Wilujeng Mulih Ka Jati Mulang Ka Asal..
Mugia ditampi amal Islamna..
Dibray caangkeun alam kuburna..
Diringankeun timbangan dosa perdosana..
Dibeuratkeun timbangan amal solehna..
Amiin.

Dedicated to Alm. Kang Ibing nu ngantunkeun, sadaya urang Sunda dinten Kamis kaping 19 Agustus 2010 tabuh 08:30 PM

Kisah mengharukan .. Mandikan Aku Bunda.

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya..

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

– Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

– Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.

– Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.

– Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

MEREKA LUPA BAHWA ALLAH YANG MENENTUKAN SEMUANYA. HIDUP, MATI, RIZQI, JODOH HANYA ALLAH YANG MENENTUKAN.

– Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Sumber : dikutip dari milis cetifasi

Andai Ini Ramadhan Terakhir

Andai saja, Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir yang menyapa kita, apa yang akan kita lakukan? Andai saja memang demikian.

Sahabat,

Pertanyaan seperti di atas, sesekali perlu kita ajukan pada diri sendiri. Untuk apa? Tentu saja untuk memacu diri, agar memanfaatkan waktu yang kita jalani. Mengumpulkan detik demi detik, agar tak ada yang tersia. Memanfaatkan setiap saatnya agar bernilai ibadah dan berat timbangannya.

Pernahkah kita mendengar kisah tentang seorang ahli hikmah bernama Bahlul? Dalam bahasa Arab, kata bahlul berarti bodoh. Meski demikian, sang pemilik nama tidaklah bodoh sama sekali. Dengan perilakunya yang seringkali dianggap bodoh, Bahlul justru kerap memberi hikmah.

Suatu hari Bahlul dipanggil oleh raja. Sang Raja merasa heran, mengapa ada seorang manusia yang rela memakai nama Bahlul. Maka dengan penuh rasa penasaran, sang raja bertanya, “Apakah tidak ada orang lain yang pantas menyandang namamu?”

“Tidak ada, baginda. Menurut sepengetahuan saya, hamba saja yang paling bodoh dan paling pantas menyandangnya,” ujar Bahlul yakin.

“Kalau begitu, aku akan memberikan anugerah untukmu atas kejujuran itu,” kata sang raja. Lalu kepada Bahlul diberikan sebuah tongkat yang indah.

“Terimalah tongkah ini dengan satu syarat. Jika kelak kau menemui orang yang lebih bodoh darimu, maka kau harus rela menyerahkannya,” titah sang raja. Bahlul pun menyetujuinya.

Sahabat,

Kisah pun berlanjut. Suatu ketika, Bahlul mendengar kabar tentang raja yang sakit berat. Dari kabar yang menyebar, umur baginda raja sudah tak akan lama. Maka Bahlul pun menemuinya.

Setelah bertemu dan beruluk salam, Bahlul pun bertanya. “Wahai baginda, apa yang baginda rasakan sekarang?”

“Wahai Bahlul, jangan lagi kamu tanyakan. Rasanya aku akan pergi jauh. Jauh sekali.”

Bahlul yang tak mengerti bahasa isyarat, ingin mengetahui lebih dalam lagi. “Pergi kemana baginda? Sejauh apa?”

“Sejauh apa? Sangat jauh. Bahkan aku tak akan kembali dalam perjalanan ini,” kata sang raja.

“Ohoi, alangkah jauhnya, baginda. Sampai-sampai engkau tak memikirkan kembali. Apakah baginda sudah menyiapkan bekal untuk perjalanan jauh ini?” tanya Bahlul, masih tak mengerti.

“Tak ada, Bahlul, tak ada. Dalam perjalanan ini, engkau tak mungkin membawa bekal,” sang raja menerangkan.

Tiba-tiba Bahlul berdiri sambil menarik tongkatnya. Semua orang di ruangan terkejut melihatnya. Lalu Bahlul mengambil tongkatnya, dengan serta merta ia memberikan tingkat itu pada sang raja.

“Saya tidak percaya, ternyata baginda lebih bodoh dari saya. Sebodoh-bodohnya saya, saya masih mengerti semua perjalanan memerlukan bekal. Apalagi untuk perjalanan yang jauh dan tak mungkin kembali. Baginda, terimalah tongkat ini, karena baginda lebih berhak memegangnya,” tegas Bahlul mantap.

Sahabat,

Semua perjalanan memerlukan bekal. Benar, seperti yang dikatakan Bahlul. Dan jika Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir dalam umur kita, maka kita harus benar-benar memanfaatkannya untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya.

Suatu kali Rasulullah saw pernah menaiki mimbar untuk berkhutbah. Saat menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan, "Amin." Begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Lalu para sahabat, seusai shalat bertanya kepada Rasulllah. “Mengapa Rasulullah mengucapkan, amin?”

Beliau pun menjawab, bahwa Malaikat Jibril datang dan berkata, “Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu. Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga. Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya,” (HR Ahmad).

Sahabat,

Tak seperti bekal-bekal yang lain yang harus kita himpun. Bekal untuk menghadap Allah, justru harus kita tabur. Perbanyak sedekah, adalah mengumpulkan bekal. Perbanyak perbuatan baik, adalah mengumpulkan bekal.Perbanyak silaturahim, adalah mengumpulkan bekal.

Tidak seperti di bulan-bulan lain, di bulan yang mulia ini, Rasulullah saw mengajarkan kita untuk lebih memperbanyak infaq, sedekah dan perbuatan baik. Di bulan Ramadhan, kedermawanan Rasulullah jauh melebihi bulan-bulan yang lain. Di bulan ini beliau melipatgandakan semua perbuatan baik.

Rasulullah memerintahkan kita untuk tak berat tangan dalam bersedekah. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar tak pernah berpikir dua kali ketika hendak memberi. Karena apa yang kita sedekahkan akan menjadi penghalang dari azab Allah yang akan datang. “Jauhkan dirimu dari api neraka, meski dengan sedekah sebutir kurma,” (HR Muttafaq Alaih).

Sahabat,

Agama ini begitu ajaib. Di buka berbagai cara untuk melakukan kebaikan. Diajarkan bermacam keutamaan. Tak melulu soal harta. Tak selalu tentang materi. Kekuatan niat menjadi landasan utama dari berbagai peristiwa.

Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk ringan tangan memberi sedekah. Lalu para sahabat bertanya tentang caranya. “Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?”

“Bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersedekah,” sabda baginda Rasulullah.

Para sahabat bertanya lagi. “Bagaimana kalau dia tidak mampu?”

Lalu Rasulullah pun memberi cara yang lain, “Menolong orang yang membutuhkan dan sedang teraniaya.”

“Bagaimana kalau dia tidak bisa melakukannya?”

“Menyuruh berbuat ma’ruf adalah sedekah.”

“Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?”

“Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sedekah,” (HR Bukhari dan Muslim).

Sahabat,

Kita tak boleh kehilangan kesempatan untuk meraih kebaikan. Ramadhan ini kita harus menghisap kebaikannya dan kemuliaannya sampai pada tetes yang terakhir. Tak boleh ada yang tersisa dan harus menghasilkan keutamaan untuk diri kita.

Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang telah diberi peringatan oleh Rasulullah saw. Banyak di antara orang yang berpuasa, tapi tak mendapatkan kebaikan dan kemuliaan dari bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Mungkin hasil yang diraih seorang shaum hanya lapar dan haus saja. Mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam hanyalah berjaga,” (HR Ahmad dan Al Hakim).

Na’udzubillah. Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan dosa dan perilaku yang sia-sia. Amin.

Kamis, 12 Agustus 2010

Menelanjangi Kebusukan Yahudi Israel

Diplomasi Munafik ala Yahudi; Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel
Oleh: Paul Findley (mantan anggota Kongres AS)


PERANG 1948

Rencana Pembagian PBB tahun 1947 untuk Palestina merekomendasikan berdirinya negara-negara Yahudi dan Palestina. Pasukan Yahudi terjun ke lapangan hampir seketika itu juga, dengan cepat mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi dan kemudian meluaskannya ke bagian-bagian Palestina yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Perang itu berlangsung selama satu tahun, hingga 6 Januari 1949. Bagian pertama ditandai dengan pasukan regular Yahudi yang melawan pasukan Arab nonregular dan bagian kedua ditandai dengan peperangan antara unit-unit Yahudi dan lima angkatan bersenjata Arab yang memasuki Palestina sehari setelah berdirinya Israel pada 14 Mei 1948.[1]

OMONG KOSONG

"Kami, tentu saja, sama sekali tidak siap untuk perang." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 1975.[2]

FAKTA

Rencana-rencana Israel untuk berperang dimulai dengan bersungguh-sungguh pada hari dikeluarkannya Rencana Pembagian PBB pada 29 November 1947. Semua orang Yahudi yang berumur tujuh belas hingga dua puluh lima diperintahkan untuk mendaftar pada dinas militer.[3] Pada 5 Desember, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memerintahkan "aksi segera" untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang diserahkan oleh PBB kepada negara Arab Palestina.[4] Menjelang pertengahan Desember mereka mulai mengorganisasikan aksi militer melawan orang-orang Arab di Palestina dengan strategi yang diuraikan dalam Rencana Militer Gimmel. Tujuan Rencana Gimmel adalah mengulur-ulur waktu bagi mobilisasi kekuatan Yahudi dengan merebut titik-titik strategis yang dikosongkan oleh Inggris dan untuk meneror penduduk Arab agar menyerah.[5] Serangan besar Yahudi yang pertama berlangsung pada 18 Desember ketika pasukan Palmach ("assault companies"), pasukan penggempur dari angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, Haganah, menyerang desa Palestina Khissas di bagian utara Galilee dalam suatu serangan malam, dan membunuh lima orang dewasa dan lima anak-anak serta melukai lima lainnya.[6]

Christopher Sykes, seorang pengamat Inggris masa itu, mencatat bahwa serangan Khissas mewakili suatu tahap baru dalam perang, dengan ciri yang berubah dari "serangan acak dan serangan balasan menjadi serangan dan kekejaman yang lebih diperhitungkan."[7] Pada 9 Desember, Ben-Gurion memerintahkan agar pasukan Yahudi menyerang dengan agresif: "Dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan mematikan yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk."[8] Dengan demikian pada saat lima pasukan Arab memasuki Palestina pada 5 Mei 1948, kaum Zionis telah melaju dalam pelaksanaan rencana-rencana perang mereka.

OMONG KOSONG

"Perang total dipaksakan pada bangsa Yahudi." --Jacob Tzur, Zionism, 1977.[9]

FAKTA

Angkatan bersenjata Israel sudah bergerak dalam waktu beberapa minggu setelah Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Aksi militer yang diorganisasi oleh kaum Zionis dimulai pada pertengahan Desember dengan Rencana Gimmel.[10] Menjelang awal Maret 1948, orang-orang Yahudi berusaha melaksanakan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah diserahkan melalui Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada negara Palestina yang diimpikan.[11] Dengan demikian, menjelang 15 Mei ketika lima angkatan bersenjata Arab memasuki Palestina, Israel telah menaklukkan bagian-bagian penting dari wilayah Palestina di luar negaranya sendiri yang telah ditetapkan oleh PBB.[12]

Sebaliknya, baru pada 30 April 1948 untuk pertama kalinya para kepala staf angkatan bersenjata Arab bertemu untuk membuat rencana intervensi militer. Bahkan pada waktu yang telah terlambat ini, tambah ahli sejarah Israel Simha Flapan, "para pemimpin Arab masih berusaha keras untuk menemukan rumusan penyelamat muka yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan melancarkan aksi militer."[13] Pada 13 Mei, Duta Besar AS untuk Mesir melaporkan mengenai moral orang-orang Arab yang rendah, sambil menambahkan: "Kalangan yang tahu cenderung setuju bahwa orang-orang Arab kini akan menerima hampir semua alasan penyelamat muka apa saja jika itu dapat mencegah perang terbuka."[14]

Tujuan perang Yordania bukanlah melawan negara Yahudi atau rencana pembagian --yang diterima dengan syarat--melainkan melawan usaha-usaha Israel untuk mencaplok bagian-bagian Palestina yang tidak termasuk milik Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB. Akibatnya, seperti dicatat oleh ahli sejarah Israel Abraham Sela, "semua peperangan dengan Legiun Arab [Yordania] dilancarkan di daerah-daerah di luar wilayah negara Yahudi... termasuk yang dilancarkan di Jerusalem."[15]

Pada 1 Juni, delegasi PBB Israel mengeluarkan suatu pernyataan yang melaporkan bahwa dalam dua minggu pertempuran sejak kemerdekaan Israel, negara baru itu telah menguasai 400 mil persegi di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan untuknya melalui rencana pembagian dan bahwa tidak ada pertempuran yang berlangsung di dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan PBB untuk Israel. Komunike itu menyatakan: "Wilayah Negara Israel sepenuhnya terbebas dari penyerang."[16]

OMONG KOSONG

"[Bangsa Arab mempunyai] keunggulan mutlak dalam persenjataan, dan keunggulan yang luar biasa dalam potensi, sukarelawan, atau sumber daya manusia dari para wajib militer." --Yigal Allon, wakil perdana menteri Israel, 1970.[17]

FAKTA

Orang-orang Yahudi di Palestina selalu mempunyai senjata-senjata yang lebih baik dan lebih banyak dibanding orang-orang Palestina atau orang-orang Arab lainnya di negara-negara tetangga. Sementara baik Arab maupun Yahudi secara resmi menghadapi embargo pembelian senjata dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara Barat lainnya, orang-orang Yahudi secara sembunyi-sembunyi menerima pasokan-pasokan besar persenjataan dari Cekoslowakia sejak awal 1948. Satu kontrak saja bisa mencakup 24.500 pucuk senapan, 5.000 senjata mesin ringan, 200 senjata mesin medium, 54 juta rentetan amunisi, dan 25 pesawat perang Messerschmitt.[18] Menjelang dimulainya perang unit-unit terorganisasi pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel telah mampu menyediakan 800 kendaraan bersenjata melawan 113 milik gabungan negara-negara Arab, dan 787 mortir dan 4 senjata medan tempur melawan 40 mortir dan 102 senjata pihak Arab.[19]

Pada saat yang sama, pasokan senjata utama lainnya bagi orang-orang Yahudi datang dari para Zionis Amerika di Amerika Serikat yang melanggar embargo senjata AS. Pasokan-pasokan semacam itu termasuk dari Institut Sonneborn, sekelompok orang kaya Amerika-Yahudi yang diketuai oleh Rudolf G. Sonneborn, seorang industrialis-jutawan New York .[20] Dua lainnya adalah joint Distribution Committee and Service Airways, yang diketuai oleh orang Yahudi-Amerika Adolph ("Al") William Schwimmer, mantan ahli mesin penerbangan TWA.[21] Pemain utama lainnya adalah seorang kelahiran Austria, Teddy Kollek, yang mengetuai pembelian-pembelian senjata bawah tanah Israel di New York dan di kemudian hari menjadi walikota Jerusalem Barat yang masuk wilayah Yahudi.[22]

Schwimmer dan perusahaan penerbangannya adalah salah satu dari sedikit kelompok bawah tanah Yahudi yang benar-benar dituntut karena perdagangan gelap mereka; dia dinyatakan bersalah di pengadilan federal Los Angeles pada 1950 dan didenda $ 10.000 karena mengekspor pesawat-pesawat udara dan suku cadang untuk Israel dan negara-negara lain. Schwimmer lalu menjadi kepala perusahaan pesawat terbang Israel, Israel Aircraft Industries, dan tampil lagi pada 1985 sebagai seorang pemain utama dalam skandal terburuk pemerintahan Reagan, skandal Iran-Contra.[23]

OMONG KOSONG

"Musuh-musuh kami telah gagal mengalahkan kami melalui kekuatan bersenjata meskipun jumlah mereka jauh melebihi kami, dua puluh berbanding satu." --Chaim Weizmann, presiden sementara Israel, 1948.[24]

FAKTA

Jumlah pasukan bersenjata Yahudi yang telah terlatih jauh melebihi jumlah seluruh pasukan yang diterjunkan ke medan perang oleh lima negara Arab pada 15 Mei 1948, dan keadaan demikian terus berlanjut. Di garis depan, pasukan bersenjata Israel berjumlah 27.400 orang sedangkan dari negara-negara Arab 13.876 orang yang berasal dari Mesir 2.800 orang; Irak 4.000 orang; Lebanon 700 orang; Syria 1.876 orang; dan Transyordan 4.500 orang.[25] Pada waktu itu, 18 Mei, dinas intelijen angkatan bersenjata AS memperkirakan ada kekuatan 40.000 pasukan Yahudi dan 50.000 milisi melawan 20.000 pasukan Arab dan 13.000 gerilya.[26] Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyatakan: "Jumlah pasukan Israel tidak kalah besar. Meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan mereka, terutama menyangkut jumlah pasukan Yahudi, banyak pengamat sepakat tentang fakta ini."[27]

OMONG KOSONG

"[Orang-orang Arab demikian kuatnya pada 1948 sehingga] banyak ahli militer mengira bahwa Israel akan segera terkalahkan." --Terrence Prittie dan B. Dineen, The Double Exodus, 1976.[28]

FAKTA

Israel memiliki banyak kelebihan dalam hal pasukan dan persenjataan sehingga tidak pernah ada keraguan di kalangan para pengamat bahwa Israel akan memenangkan perang. Menteri Luar Negeri George Marshall memberitahu kedutaan-kedutaan besar AS sehari sebelum perang dimulai bahwa angkatan bersenjata Arab sangat lemah dan bukan tandingan bagi Israel. Kekhawatirannya yang terbesar adalah bahwa "jika orang-orang Yahudi menuruti nasihat kaum ekstremis mereka yang lebih menyukai kebijaksanaan yang menghinakan bangsa Arab, setiap Negara Yahudi yang akan didirikan hanya mampu bertahan dengan bantuan terus-menerus dari luar negeri."[29] Pada 13 Mei, dua hari sebelum perang, kedutaan besar AS di Mesir melaporkan bahwa pasukan Arab belum berhasil mendapatkan senjata dari luar negeri dan bahwa moral mereka sangat rendah, sambil menambahkan: "Angkatan bersenjata Arab dikhawatirkan akan dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Yahudi."[30]

Raja Yordania Abdullah telah berulangkali memperingatkan: "Pasukan Yahudi terlalu kuat --adalah keliru jika kita ikut berperang."[31] Pasha Glubb yang legendaris dari Inggris Raya, ketua Legiun Arab Yordania, di kemudian hari mengingatkan: "Saya tidak melewatkan kesempatan untuk memberi informasi [pada pemerintah Yordania] bahwa Transyordan tidak mempunyai cukup sumber untuk berperang melawan negara Yahudi."[32] Menurut laporan ahli sejarah Israel Simha Flapan: "Perkiraan Agen Yahudi tentang tujuan dan kapasitas Arab... melaporkan bahwa para kepala staf Arab telah memperingatkan pemerintah masing-masing mengenai serangan Palestina dan perang yang berkepanjangan."[33] Ahli sejarah militer Pakistan Syed Ali el-Edroos menyimpulkan: "Dalam pengertian militer profesional, sesungguhnya, tidak ada rencana sama sekali."[34]

Hampir empat puluh tahun kemudian, ahli sejarah Israel Benny Morris menyimpulkan: "Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina] secara militer maupun administratif jauh lebih unggul dibanding orang-orang Arab Palestina."[35]

OMONG KOSONG

"Kami pun mempunyai kelompok-kelompok teroris sendiri semasa Perang Kemerdekaan: Stern, Irgun... Namun tidak satu pun di antara mereka yang menyelubungi diri dengan kekejian sedemikian rupa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang Arab terhadap kami." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 1972.[36]

FAKTA

Dalam periode 1947-1948 yang mengakibatkan kelahiran Israel, terorisme marak di Palestina, dilancarkan terutama oleh kaum Zionis.

Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mencatat dalam sejarah pribadinya tentang Israel: "Dari 1946 hingga 1947 hampir tidak ada serangan Arab atas Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina]."[37] Ketika perang menjelang pecah pada 1948, aksi-aksi teror dilancarkan oleh kedua belah pihak, namun orang-orang Arab bukanlah tandingan bagi kampanye yang terorganisasi dan sistematis yang dijalankan oleh para teroris Zionis.[38] Sebagaimana dilaporkan seorang Mayor Inggris R.D. Wilson pada 1948, mereka melakukan "serangan-serangan biadab atas desa-desa Arab, di mana mereka tidak membedakan antara kaum wanita dan anak-anak yang mereka bunuh setiap ada kesempatan." [39]

Aksi-aksi teror Zionis, yang dilancarkan terutama oleh anggota-anggota dari dua kelompok utama, Irgun dan Lehi, atau Stern Gang, termasuk pemboman pada 1946 atas King David Hotel di Jerusalem, yang membunuh sembilan puluh satu orang empat puluh satu orang Arab, dua puluh delapan orang Inggris, dan tujuh belas orang Yahudi;[40] penggantungan dua prajurit Inggris pada 1947 dan penjeratan tubuh mereka,[41] pemboman pada 1948 atas Semiramis Hotel milik orang Arab di Jerusalem, yang membunuh dua puluh dua orang Arab, termasuk kaum wanita dan anak-anak,[42] pembantaian pada 1948 atas 254 kaum pria, wanita, dan anak-anak Arab di pedesaan Deir Yassin,[43] pembantaian atas banyak warga sipil di desa Dawayima pada 1948,[44] dan pembunuhan pada 1948 atas Wakil Khusus PBB Count Folke Bernadotte dari Swedia.[45] Menachem Begin memimpin Irgun, dan Yitzhak Shamir adalah salah seorang pemimpin Stern Gang. Kedua orang itu di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.

OMONG KOSONG

"Kami tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang Arab, mengambil tanah mereka, atau merampas warisan mereka." --David Ben-Gurion, sebagai seorang Zionis senior, pertengahan 1915.[46]

FAKTA

Setelah penaklukan tanah Arab pada perang 1948, terjadi perampasan, yang disusul penyitaan kekayaan Palestina oleh orang-orang Yahudi. "Penjarahan dan perampasan merajalela," tulis ahli sejarah Israel Tom Segev. Dia mengutip penulis Israel Moshe Smilansky, seorang saksi mata: "Dorongan untuk merampas menguasai setiap orang. Individu-individu, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas, kaum pria, kaum wanita dan anak-anak, semuanya jatuh di atas barang-barang rampasan." Menteri kabinet Aharon Cizling mengeluh: "Sungguh memalukan, mereka memasuki sebuah kota dan dengan paksa mencopot cincin dari jari dan perhiasan dari leher seseorang... Banyak yang melakukan kejahatan itu."[47]

Hampir dua pertiga dari jumlah semula 1,2 juta orang penduduk Palestina terusir, dan terpaksa menjadi pengungsi. [48] Kehilangan yang sangat besar inilah yang menjadi alasan mengapa perang itu dikenal oleh bangsa Arab sebagai Nakba, Bencana.[49]

Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan bahwa orang-orang Israel berlari "dengan kecepatan penuh" untuk menduduki tanah itu, sambil menambahkan: "Jika gelombang masuk itu terus berlangsung dengan jumlah kira-kira 200.000 orang per tahun maka tidak lama lagi jumlah para pendatang baru itu akan melebihi jumlah penduduk asli yang terusir."[50]

Ketika sarjana Israel, Israel Shahak, melakukan penelitian pada 1973, dia mendapati bahwa dari 475 desa asli Palestina yang dimasukkan ke dalam wilayah perbatasan yang dibuat sepihak oleh Israel pada 1949, hanya 90 yang masih ada; 385 sisanya telah dihancurkan.[51] Penelitian-penelitian yang dilakukan di kemudian hari menunjukkan bahwa jumlah seluruhnya lebih dari 400.[52]

Desa-desa itu, menurut laporan Shahak, "dihancurkan sama sekali, dengan rumah-rumah, tembok-tembok taman, dan bahkan kuburan-kuburan serta batu-batu nisannya, sehingga secara harfiah tidak ada sebuah batu pun yang masih tegak berdiri, dan para pengunjung... diberitahu bahwa 'itu semua adalah gurun pasir.'"[53]

OMONG KOSONG

"Bukti terbaik untuk menentang mitos [ekspansionisme Israel] ini adalah sejarah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya pada 1948, 1956, 1973 dan 1982." --AIPAC, 1992.[54]

FAKTA

Di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."[55] Israel tidak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga 5.893 mil persegi, sama dengan 56,47 persen dari seluruh Palestina, namun menjelang akhir perang 1948 Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi, 77,4 persen dari tanah itu.[56] Secara signifikan, Deklarasi Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.[57]

Israel menguasai daerah Palestina yang mencakup 475 kota kecil dan desa, yang sebagian besar di antaranya kosong atau segera dibuat demikian. (Ini sebanding dengan 279 pemukiman Yahudi di seluruh Palestina yang ada pada 29 November 1947, hari diberlakukannya Rencana Pembagian PBB.)[58]

Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."[59] Sesungguhnyalah, orang-orang Israel telah menyita 158.332 unit dari keseluruhan 179.316 unit perumahan, termasuk rumah-rumah dan apartemen-apartemen.[60] Orang-orang Yahudi sedikitnya telah mengambil alih 10.000 toko dan 1.000 gudang.[61] Kira-kira 90 persen kebun zaitun Israel direbut dari orang-orang Arab dan juga 50 persen kebun jeruknya,[62] suatu penyitaan yang begitu besar sehingga pemasukan dari kebun zaitun dan jeruk itu "sangat menolong untuk meringankan masalah serius dalam keseimbangan neraca pembayaran Israel dari 1948 hingga 1953," kata Ian Lustick.[63]

Setelah perang 1967, pasukan militer Israel menguasai seluruh Palestina, Tepi Barat dan jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Syria dan Semenanjung Sinai milik Mesir, suatu rentang wilayah yang luas seluruhnya adalah 20.870 mil persegi.[64]

Setelah serangan Operasi Litani oleh Israel atas Lebanon pada Maret 1978, perbatasan Israel lagi-lagi meluas sehingga mencakup "sabuk pengaman" yang diklaimnya secara sepihak di Lebanon Selatan, suatu jalur sepanjang perbatasan yang mendesak masuk antara tiga hingga enam mil ke wilayah Lebanon.[65] "Sabuk pengaman" itu mendesak masuk lagi hingga dua belas mil setelah serangan Israel tahun 1982 atas Lebanon .[66] "Sabuk pengaman" itu tetap ada hingga hari ini, membuat Lebanon Selatan menjadi apa yang disebut oleh sebagian orang Israel sebagai "Tepi Utara" yang dikuasai Israel.

Meskipun Israel di kemudian hari memang mengembalikan Semenanjung Sinai sebagai pertukaran bagi perdamaian dengan Mesir, ia terus menduduki semua wilayah Arab lain yang telah direbutnya lewat kekerasan selama bertahun-tahun kecuali kota kecil Syria Quneitra, yang dihancurkannya sebelum penarikan mundur pada 1974 sebagai hasil persetujuan pelepasannya dengan Syria .[67]

************

Mengidentifikasikan Hidayah

Ada dua buah kasus. Kasus pertama ada seorang yang awalnya adalah seorang yang urakan dan terkenal sebagai orang jahat. Akan tetapi suatu saat ada sebuah peristiwa yang membuat ia berubah dan sadar akan perilaku dan kelakuannya dahulu. Dia pun berubah 180 derajat dan sejak saat itu menjadi orang baik, sholeh bahkan rajin beribadah bahkan dia menjadi seorang ustadz. Kasus kedua ada seorang yang sedari kecil tinggal di lingkungan pesantren. Setiap hari dia bergaul dengan santri dan para kiyai yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Akhirnya diapun menjadi seorang ustadz.


Apabila kepada kita ditanyakan dari dua kasus tadi siapakah yang mendapatkan hidayah? Maka biasanya jawaban kita lebih condong kepada kasus pertama. Adapun untuk kasus kedua pandangan kita biasanya adalah: “ya jelas saja dia menjadi ustadz, toh lingkungannya juga lingkungan ustadz”. Jadi sebetulnya apakah hidayah itu? seperti apakah hidayah itu? Apa ciri-ciri orang yang mendapatkan hidayah?

Menyikapi Hakikat Hukum (aturan) dalam Islam

Ketika kita dihadapkan pada dua buah photo yang sama namun dalam kondisi yang berbeda, yang satu dibingkai dengan pigura yang rapi dan bagus, dan yang satu lagi tergeletak begitu saja tanpa dibingkai oleh pigura apapun, tentu yang kita rasa senang dan nikmat untuk dilihatnya adalah photo yang dibingkai dengan pigura.

Kita amat senang dengan sesuatu yang disimpan dalam pengemasan dan pembingkaian yang bagus. Kita juga amat senang apabila sesuatu yang kita cintai dan senangi itu disimpan dalam dalam tenpat yang tempat itu benar-benar bisa membingkai barang kesenangan kita dengan aman dan bagus.

Dengan kata lain, sebetulnya fungsi bingkai, pigura, atau batas sesuatu itu sebenarnya sudah menjadi naluri kita untuk disenangi. Sekarang bagaimana dengan aturan atau hukum yang sebetulnya juga pada hakikatnya adalah bingkai, pigura atau batas itu sendiri. bukankah pigura itu pembatas? bukankah bingkai itu pembatas? dan bukankah hukum juga pembatas? Tapi mengapa saat kita menyikapi antara pigura atau bingkai itu suka berbeda dengan cara sikap kita menerima hukum atau aturan?

Kita sering terjebak dalam memahami dan menyikapi sesuatu itu dengan apa yang kita terima kebaikannya dalam jangka waktu yang cepat, jangka waktu yang pendek, atau bahkan yang memberi kenikmatan pada individunya saat itu saja. Kita sering lupa dengan eksistensi sesuatu yang abadi atau hakiki yang sebetulnya sering datang tidak bisa langsung kita rasa efeknya seketika kita lakukan. Kita langsung menyikapi pigura itu indah, bingkai itu indah, karena mata kita mencerna secara cepat eksistensi dari bingkai dan pigura itu. Sementara pada hukum dan aturan, seringkali kita memandangnya sebagai kekangan yang suka membatasi dan membuat kita tidak bebas, sehingga hidup ini tidak merasa nyaman dengan adanya aturan. Padahal fungsi antara hukum dan pigura itu sama-sama membingkai dan membatasi sesuatu.

Karena kita sering menganggap aturan itu sebagai kekangan, pada akhirnya kita suka memaknai kebebasan itu adalah sesuatu yang betul-betul tidak ada aturan. Dengan sikap seperti itu pada akhirnya kita terjerembab dalam kesalahan besar, karena kebebasan sebenarnya terletak dalam aturan!! Analogi sederhananya adalah, mana ada jalanan yang aman jika di dalamnya tidak ada aturan rambu-rambu lalulintas? Sedikit saja lampu stopan itu macet, sudah berapa km jalanan macet. Bukankah macet itu mogog atau terkekang sehingga tidak bisa jalan? dengan stopan macet juga beberapa kendaraan yang datang dari beberapa arah mungkin akan lebih cepat bertabrakan.

Jadi nyatalah sekarang bahwa aturan itu adalah yang memberikan kebebasan, layaknya rambu-rambu lalulintas yang memberi kelancaran jalan. Aturan itu adalah yang memberikan keindahan seperti layaknya bingkai pigura pada halaman sesuatu. Dan jika kita menyikapi aturan layaknya sikap kita pada pigura atau bingkai yang menghiasi sesuatu, tentu sikap kita menerima aturan itu akan lebih senang dan bahagia, bukan dengan sikap menerima penuh rasa terpaksa.

Semoga dengan catatan ini sedikitnya bisa merobah sedikit-demi sedikit sikap pandang dan penerimaan kita pada hukum agama. Semoga menjalani hidup mentaati aturan Allah SWT. bisa secepatnya benar-benar terasa nikmat, bukan sengsara atau terpaksa.

Mari kita perjuangkan hidup ini dengan cinta. karena hanya dengan cinta, Halawatal iman (ni'matnya iman) dapat kita raih dan rasakan.

Wallahu a'lam bi sh-shawab.

By Area Dakwah Islam

Bashirah (Kekuatan Mata Hati)

Bahkan manusia sangat tajam melihat dirinya sendiri, walaupun ia melontarkan berbagai alasannya” (QS.AI-Qiyamah:14).

Para penganut Al-Qur’an tak ragu sedikitpun akan kesempurnaannya. la cahaya terang dan jalan lurus yang mengantar kepada keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat. la bashirah yang begitu jernih, tajam dan akurat mewartakan keadaan yang sesungguhnya, kemenangan yang terbentang dan bahaya yang mengancam, dengan segala syarat, sebab dan penawarnya. la memuat sejarah lampau, gambaran depan dan keadaan sekarang.

Namun apa yang didapat orang yang menutup rapat-rapat matanya sendiri, dari cahaya terang di sekitarnya? Terik mentari ditingkahi ribuan lampu sorot, tak menyelamatkannya dari terjerembab ke pelimbahan. Sebaliknya, lihatlah tuna netra yang berjalan di gelap malam, dapat selamat dan beroleh rizki mereka.

Allah Maha Adil, yang mengangkat sebagian orang dengan kekurangan fisiknya dan menjatuhkan lainnya walaupun berjasad sempurna. Tak ada makna kajian tema apa pun dalam kitab suci, sementara hati pengajinya berjelaga. Ada tikus mati dalam kandang, ada orang kehilangan tongkat dua kali atau terpagut ular dua kali di liang yang sama. Atau singa-singa mati lapar di padang dan daging pelanduk dilahap serigala. Ada budak tidur di tilam sutera, ada bangsawan berbaring di hamparan tanah.

Bila Nurani Bergetar

Berbahagialah pejuang yang tak mengkorupsi kemenangan masa depannya, walaupun hanya dengan sekedar rintih sesal didera lelah. Atau menumpang popularitas dengan nikmat tanpa rasa malu kepada-Nya. Mereka yang berhati nurani tak lagi melampirkan kesedihan, kesusahan, dan kelelahan kedalam neraca laba-rugi. Hati nurani mereka selalu hidup dan berbinar. Begitulah kiranya ketika Alkhalil Ibrahim AS meminta agar nabi yang dibangkitkan kelak dari keturunan Ismail AS, bertugas “….membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah dan menyucikan mereka..” (QS. AI-Baqarah:129), Allah mengijabah do’anya. Namun Ia menginginkan langkah kedua sesudah membacakan ayat-ayat-Nya dan sebelum mengajarkan Kitab dan Hikmah, satu kata kunci bagi keberhasilan da’wah ini, yaitu ‘menyucikan mereka‘ (QS. Al-Baqarah:151, Ali Imran:164, Al Jumu’ah:2).

Nurani yang hidup mampu menjembatani perbedaan dan meredam perpecahan. “Ulama akhirat tak saling berbenturan, karena akhirat sangatlah luas. Ulama dunia selalu bertikai dan bermusuhan karena dunia terlalu sempit untuk mereka perebutkan.” (Imam Ghazali).

Allah menyebutkan perumpamaan ulama buruk (suu‘) yang berhati nurani mati, seperti Bal’am sebagai anjing, yang bila dihalau menjulur dan bila didiamkan tetap menjulur (QS. Al –A’raf: 176). Anjing akan lari mengejar tulang dengan sedikit daging segar. Dan tak akan tertegun memandangi perhiasan di tangan pelempar seharga 1 milyar. Dan ketika melewati telaga, sang anjing segera menerkam bayangan dirinya, karena mengira ada anjing lain yang menggigit tulang. la ingin menguasai semua tulang. Alangkah rakusnya!

siapa yang telah rasakan dunia

aku pun telah mengenyamnya

telah digiring kepadaku pahitgetirnya

aku tak melihatnya selain bangkai yang membusuk

dikepung anjing-anjing dengan hanya satu semangat: cabik dan tarik!

Seorang imam sangat kecut dan malu ketika ada orang datang meminta sesuatu. “Oh, dosa apa yang kuperbuat, mestinya aku sudah menangkap hajatnya sebelum ia menyatakan permintaannya“. Tidakkah panitia zakat merasa tersindir ketika melihat kemiskinan hanya dari wajah pengemis profesional yang kerap menimbun harta melebihi keperluan. Al-Qur’an telah melekatkan sifat ‘jahil’ bagi mereka yang mengira para mujahid yang menjaga air wajahnya dengan menutup rapat-rapat penderitaan dan kemiskinan mereka, sebagai orang kaya. Sebaliknya sifat Rasul SAW disebutkan sebagai ma’rifah (kenal), karena dengan kejernihan bashirah mampu menangkap hakikat.

Karena itulah mereka mendapatkan jaminan baik bagi kehidupan kelak; “Beruntunglah orang yang tersibukkan oleh aib dirinya dari kesibukan mempersoalkan aib orang lain. la infakkan yang berlebih dari hartanya dan menahan yang berlebih dari perkataannya“

Kemiskinan dan kesenangan tak masuk agenda fikiran para perempuan generasi Salaf yang melepas keberangkatan para suami. “Hati-hati terhadap harta yang haram. Kami tahan terhadap kemiskinan tetapi takkan tahan terhadap neraka,” begitu pesan mereka.

Di depan iring-iringan yang membawa Imam Ahmad bin Hambal ke penyidangan yang zalim, menghadanglah seorang perempuan. “Wahai Imam, kami perempuan-perempuan yang bekerja menenun. Hari-hari ini serdadu sultan meningkatkan perondaan sepanjang malam dengan obor-obor mereka. Karena kami bekerja dibawah pancaran cahaya obor serdadu sultan zalim itu, maka hasil tenunan kami di atas atap rumah menjadi lebih baik dan kami mendapat keuntungan tambahan. Halalkah kami memakan kelebihan untung itu?“. Demikianlah radiasi bashirah Imam yang tak kenal kompromi dengan kebathilan, merasuki hati nurani rakyat yang menjadi begitu sensitif.

Kematian Hati Nurani

Berapa banyak orang menguasai teori ilmu serta dikenal dan dihormati sebagai ilmuwan dan ulama, namun kehilangan potensi hati nurani. Bashirahnya tertutup limbah dunia, membuat cahayanya tak tembus menerangi jalan. Para koruptor yang memiskinkan rakyat dan menguras kekayaan bangsa untuk kepentingan diri sendiri adalah para pengkhianatyang mati rasa. Mereka yang memproduk siaran cabul, menyiarkan kebebasan seks, membuka rumah bordil, memproduksi dan mengedarkan tuak, candu dan madat adalah makhluk yang padam hati nurani. Kehidupan fisik tak mampu mengimbangi busuk akhlaq mereka yang membuat tak nyaman lingkungan. Tak ada orang yang kerasan berlama–lama dekat mereka. Hidup menebar bau busuk dan mati menuai amal busuk.

Mereka yang keruh nurani, selalu melihat dengan angan-angan panjang. “Seakan kematian hanya berlaku atas orang lain“. Sejauh ini dosa dan kemaksiatan merupakan pembunuh utama hati nurani. Hati menjadi keras membatu, watak menjadi beku dan hati menyempit. Ayat-ayat suci tak membekas di hati, kematian tak menghasilkan ibrah, luapan syahwat dunia semakin tak terkendali, wajah menggelap memantulkan kelam hati, hilang semangat beramal dan lenyap kelezatan dzikir.

Lihatlah para penjual ayat yang dengan ringan berfatwa bathil demi kekayaan diri. Do’a yang mereka bunyikan memang benar hanya bunyi. Dan bila ada kader muslim yang merasa, inilah zaman keterbukaan, lalu membumi hanguskan tradisi dakwah yang baik, mereka telah membunyikan lonceng kematian bagi hati nuraninya. Bila berpolitik, mereka hanya tahu intrik. Tak ada rasa malu merebut posisi, dengan berhias khayalan syaithani. Akulah Yusuf yang credible dan expert. Padahal begitu jauh jurang memisah, mana Yusuf, mana pemimpi di terik mentari. Golongan ini tak kenal mihwar tak kenal era, baginya semua adalah era naf’i dan mihwar maslahi (era mengambil keuntungan dan fase mengambil maslahat).

Orang-orang seperti itu harus kerap diajak menurunkan jenazah ke liang lahat, melepas kerabat di akhir nafas, atau berbiduk di lautan dengan gelombang yang ganas. Bila tak mempan, takbirkan empat kali bagi kematian hati nuraninya.

By KH Rahmat Abdullah

The World Its Mine