Sabtu, 10 Juni 2017

Akademisi: Fatwa MUI Arahkan Warganet Berkomunikasi Santun ..

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin (kiri) memberikan draft fatwa MUI kepada Menteri Kominfo Rudiantara ( kanan)pada acara Diskusi Publik dan Launching Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/6).
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin (kiri) memberikan draft fatwa MUI kepada Menteri Kominfo Rudiantara ( kanan)pada acara Diskusi Publik dan Launching Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/6).
 
Akademisi Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang Tommy Susu, MS menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan salah satu instrumen untuk mengarahkan warganet melakukan komunikasi melalui media sosial secara santum.

"Jadi selain sebagai pedoman, fatwa yang telah ditetapkan pada 13 Mei 2017 itu dapat mengarahklan penggemar dunia maya agar dapat berkomunikasi dengan santun," katanya di Kupang, Kamis (6/8).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Jurusan Komunikasi Unwira Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi langkah dan kebijakan MUI yang dipandang solusif dan konstruktif bagi bangsa ini. Sejumlah arahan dan pedoman di antaranya adalah haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Berikut dalam Fatwa tersebut juga MUI mengharamkan setiap muslim melakukan bullying, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.

Menurut Tommy, media sosial saat ini dapat berperan seperti pedang bermata dua, bisa membangun atau membunuh karakter.

"Ya perang kampanye sekarang tidak hanya perang pidato, tapi juga perang buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi hukumnya haram, termasuk di dalamnya orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," katanya.

Ia mengakui bahwa peran sarana komunikasi (Medsos) saat ini tidak bisa dinafikan seperti sebagai metode blusukan diyakininya masih akan populer dan tetap digunakan politisi dalam ajang Pemilu di antaranya Pilkada lebih efektif kampanye dan blusukan.

Terutama katanya pada slump area atau kelas menengah ke bawah karena suara masyarakatnya cenderung tidak diakomodasi di media-media arus utama, selain itu juga mereka terbatas dalam mengakses media sosial sehingga hanya bisa menyampaikan aspirasi secara langsung kalau ada yang menemui. "Terutama masyarakat pinggiran, pedagang pasar, cara paling efektif buat dekat ke mereka ya mendatangi mereka," katanya.

Fatwa MUI No 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial secara resmi dilakukan oleh Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dengan memberikannya secara simbolik kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Dalam Fatwa tersebut diantaranya dinyatakan haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dalam kesempatan tersebut mengatakan, fatwa tersebut sangat penting sebagai upaya para ulama dalam mengantisipasi perkembangan media sosial.

"Jadi penggunaan medsos secara merusak menimbulkan bahaya. Keruskan itu harus ditolak, bahaya itu harus dihilangkan. Langkah yang kami ambil maka kita menerbitkan fatwa. Bisa disebut fatwa muamalah medsosiah, tidak mungkin menghindari medsos tapi bagaimana mencegah kerusakan," demikian KH Ma'ruf Amin.

Fatwa MUI Pertegas Etika Muamalah di Medsos ..

rwadi
pixabay
Ilustrasi Media Sosial
Ilustrasi Media Sosial
 
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur, Abdul Kadir Makarim mengatakan, Fatwa MUI Nomor 24/2017 mempertegas pedoman umat Muslim bermuamalah melalui media sosial (medsos). Ia mengatakan hal itu terkait dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial pada 13 Mei 2017 lalu.

Dalam fatwa itu, MUI mengharamkan setiap Muslim melakukan gibah (menggunjing), fitnah dengan menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran, adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan. Selain itu, fatwa MUI juga mengharamkan Muslim melakukan 'bullying', ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA), serta mengharamkan menyebarkan materi pornografi dan kemaksiatan.

Makarim mengaku belum menerima isi Fatwa MUI tersebut secara tertulis dari pusat melalui pemerintah daerah setempat, namun pada intinya terkait isi fatwa yang sudah diketahuinya itu untuk menegaskan kepada umat Muslim selaku pengguna medsos agar tidak melakukan hal-hal yang diharamkan itu.

Namun fatwa tersebut, menurutnya, tentu tidak menjamin bisa mengendalikan umat atau pengguna medsos terhindar dari larangan-larangan itu. "Sebenarnya gibah, fitnah, namimah, dan lainnya itu tanpa fatwa MUI juga sudah dilarang oleh agama (Islam), cuma supaya lebih menekankan lagi," katanya menegaskan semuanya sudah jelas haram hukumnya dalam Islam.

Makarim mengemukakan, penggunaan medsos oleh masyarakat atau pengguna di daerah itu semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu. "Media sosial sekarang ini isinya sudah berlebihan, banyak ujaran-ujaran kebencian, sudah mengarah ke SARA, dan itu sangat bahaya dan bisa memunculkan keributan," katanya.

Untuk itu, ia selalu mengimbau umat Muslim setempat agar menghindari hal-hal negatif, provokatif, yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang marak dipraktekkan melalui media sosial.

MUI: Fatwa Medsos demi Masyarakat ..

ianto
ROL/Fakhtar K Lubis
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh
 
\Majelis Ulama Indonesia membantah suara-suara yang berpendapat fatwa bermedia sosial yang dikeluarkan awal pekan ini, demi kepentingan pemerintah atau pihak tertentu. "Tidak. Tanggung jawab sosial keulamaan untuk menjawab permasalahan, current issues, di masyarakat, yaitu media sosial," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am, saat diskusi bersama Kominfo di Jakarta, Jumat (9/6).

Sebelum menetapkan fatwa, tidak hanya menggali literatur keagamaan, MUI juga meninjau regulasi yang telah ada, langkah yang telah dilakukan, memetakan masalah, meminta pendapat ahli serta mengkaji penelitian. Setelah melalui perbaikan, MUI akhirnya mengumumkan Fatwa Medsos pada Senin (5/6) lalu.

Asrorun mengatakan, mereka tidak akan berhenti di fatwa melainkan akan menyebarkannya ke masyarakat. Bertepatan dengan bulan Ramadan, fatwa ini dapat menjadi bahan untuk berdakwah.

Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran dari fatwa ini akan menimbulkan sanksi moral. "Sanksi moral, tapi, tidak dibenarkan kalau ada yang melanggar, lalu main hakim sendiri," kata dia.

MUI Tekankan Tabayun dalam Bermuamalah di Medsos ..

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh
 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum lama ini menerbitkan fatwa Nomor 24 tahun 2017 yang dikenal dengan fatwa "Muamalah Medsosiah". Dalam fatwa tersebut, MUI tidak hanya menjelaskan tentang halal dan haramnya konten di media sosial tapi juga menyertakan pedoman yang salah satunya adalah tabayun atau klarifikasi.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Soleh menjelaskan bahwa dalam fatwa yang dikeluarkan sebelum-sebelumnya MUI selalu membahas tentang halal haram. Tapi dalam fatwa Muamalah Medsosiah kali ini MUI juga menyertakan pedoman yang bersifat sangat praktis.

"Yang sering kali lazim dilakukan tapi tanpa disadari bahwa itu ternyata suatu kesalahan. Misalnya tabayyun atau klarifikasi. Umumnya tahu dapat informasi harus tabayun dulu. Tapi tidak dilakukan step-nya," ujar Asrorun di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (9/6).

Ia menuturkan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan pengguna medsos ketika menerima sebuah informasi di media sosial. Pertama, adalah harus memastikan dan melihat informasi tersebut didasari kredibilitas sumbernya.

Menurut dia, selalu ada kemungkinan benar dan salah, sementara yang benar pun belum tentu boleh disebarkan.

"Kalau dalam istilah hadis itu lihat sanad-nya. Sama kalau melihat media atau orang, ini bisa jadi salah satu pintu masuknya informasi. Tapi kalau ketahuan ini media abal-abal dan memang kerjanya untuk kepentingan provokasi, maka riwayatnya nggak layak dipercaya," ucap dia.

Kedua, lanjut dia, pengguna medsos juga harus mengetahui isi kontennya dan wajib melakukan validasi atas kebenaran informasi tersebut. Pengguna media sosial juga harus memahami maksud dari penyebaran konten tersebut. "Korbannya itu tidak mengenal usia dan golongan. Bahkan media yang kredibel juga pernah menyebarkan informasi hoax yang akhirnya belakangan minta maaf," ucap dia.

Terakhir, kata dia, dalam bertabayun terhadap informasi yang beredar juga harus memperhatikan konteks ruang dan waktunya. Pasalnya, hal itu dapat memicu kecemasan publik dan keresahan terhadap situasi yang terjadi pada masa itu. "Misalnya ada kejadian banjir terus kita share foto ada banjir tinggi banyak korban. Tapi ditempatkan dalam ruang dan waktu yang salah sehingga seakan-akan terjadi hari ini," kata Ketua KPAI tersebut.

Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani

oleh : DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.

 

Ketika saya lulus jadi dokter kurang lebih seperempat abad yang lalu, istilah neurosains belum begitu santer terdengar.

Bahkan, urusan saling silang serabutan kerja saraf dan otak dengan sederhana diringkas dalam mata kuliah neurologi yang saat itu saja susahnya minta ampun.

Memahami sungguh bagaimana otak manusia bekerja dan organ inderawi ternyata hanyalah sebagai reseptor – bukan pemberi idea sebenarnya fakta empiris – justru bisa dicerna setelah saya jadi dokter dan mengajar, bukan menghafal jalur kerja saraf yang berliku.

Baru setelah dunia mengenal alat bernama Magnetic Resonance Imaging (MRI), maka para profesor peneliti bisa menemukan sejumput bagian otak manusia yang menempatkan kita akhirnya betul-betul sebagai ‘manusia’.

Bagian otak itu bernama area lateral frontal pole prefrontal korteks. Istilah begitu panjang untuk menunjuk suatu tempat kecil di bagian otak depan yang tidak dimiliki oleh hewan yang paling mendekati kemiripannya dengan manusia: kera.

Baru di tahun 2015 jurnal penelitian memaparkan area kecil yang ‘memanusiakan manusia’ tersebut berkaitan dengan kontrol perilaku.

Rasanya tidak salah jika saya menamakan bagian otak tersebut sebagai tombol moral dan etika. Semakin tepat istilah itu, karena prefrontal korteks sendiri belum banyak berkembang di usia kanak-kanak.
Ingatan tentang hal di atas kembali terusik setelah begitu banyak kejadian beruntun belakangan ini yang tidak masuk akal bagi saya.

Sebutlah tentang video viral perempuan nyaris tanpa selembar benang yang muncul dua hari berturut-turut di tempat yang berbeda.

Ada apa dengan manusia-manusia yang menonton bahkan tega-teganya merekam dijadikan video? Apakah itu tindakan yang bernurani - ketimbang cepat mencari apa pun sebagai penutup tubuh, entah selendang – taplak meja atau gorden dan menyelamatkan perempuan itu serta segera menelepon polisi?

Ada apa dengan supir taksi yang menerima penumpang tanpa busana itu? Ada apa dengan petugas apotik yang pastinya sempat berkomunikasi saat ia membeli sesuatu?

Bahkan, ada apa pula dengan dokter yang tega-teganya membahas kasus perempuan ini blak-blakan di media, tanpa mengingat jabatan profesinya mengharuskan dia menutup mulut rapat-rapat demi alasan konfidensial!

Apakah mereka semua ini lupa, bahwa perempuan itu juga punya martabat, punya keluarga, punya masa depan yang harus dilindungi?

Selain kasus di atas, ujaran kebencian, penggunaan kata-kata tak senonoh dan perilaku kekerasan juga tak lepas dari ‘lemot’nya prefrontal korteks.

Bukan suatu kebetulan, bahwa tetangga area lateral frontal pole prefrontal korteks yang mengurus nurani itu adalah area otak yang mengolah bahasa dan kemampuan kognitif.

Sebagai dosen pembinaan karakter di perguruan tinggi, saya tahu persis mahasiswa mana saja yang bermasalah saat mereka hadir terlambat hanya bermodalkan kunci mobil, dompet dan ponsel. Bahkan, mereka biasanya tidak peduli untuk membawa alat tulis.

Wajah nanar melihat ke depan, tapi saya yakin isi kepala ada di mana-mana – dan saya tidak berhak lagi memberitahu apa yang harus dilakukan setelah sekian semester – karena mereka pada dasarnya manusia dewasa, yang orangtuanya sendiri saja sudah kewalahan.

Ada rasa sedih dan kasihan sebetulnya melihat para korban kehidupan di usia dini seperti perempuan yg videonya viral itu, para begal, para penghujat di media sosial dan beberapa anak muda kaya yang status mahasiswanya berkat orangtua berduit, namun tak pernah berdiri sebagai panutan.

Orang-orang seperti itu pada dasarnya hanya ‘bertahan hidup’, mengandalkan otak survival – bagian sistem saraf primitif yang hanya bicara ‘menang atau kalah’.

Sebagian orang bahkan menyebut dengan bahasa yang lebih vulgar – otak reptil. Reptil kelaparan akan makan telur atau anaknya sendiri. Tanpa nurani apalagi belas kasihan.

Akibat ‘trias politica’ pendidikan yang gagal : asuhan kognitif yang tidak sepadan dengan afektif, tanpa disertai teladan psikomotor yang benar.

Kebiasaan mencari jalan pintas sebagai satu-satunya cara bertahan hidup membuat manusia mundur secara kasta.

Berpikir linier vs berpikir lateral

Pola-pola berpikir linier menjadikan manusia akhirnya hanya mengandalkan kekerasan, atau uang sebagai penyelesaian masalah, bahkan seks untuk meredam amarah atau solusi pertengkaran.

Sebaliknya, hanya anak-anak yang dibiasakan dari kecil memiliki kemampuan berpikir lateral akan terasah menemukan kecerdasan, yang membuat mereka bukan hanya kreatif, tapi juga menjalankan solusi ‘menang bagi saya, jika kamu juga menang’.

Perdamaian, kearifan dan kemampuan hidup dalam keberagaman hanya bisa terjadi jika ini semua dimungkinkan.

Jika fungsi belajar dan mengingat seperti hafalan biologi dan menyelesaikan soal matematika melibatkan hipokampus di medial basal belahan temporal otak manusia dan melibatkan otak besar yang sering diolah, justru nurani terletak di area yang begitu kecil di otak depan – yang mestinya ‘dikedepankan’, tapi kerap terlupa.

Berbeda dengan memelajari hal yang membuat manusia nampak pintar, nurani yang memuat masalah moral dan etik hanya bisa cemerlang bila diasah dengan pendekatan normatif – yang membuat manusia memahami apa yang seharusnya, apa yang menjadi tujuan akhir hidupnya dan apa yang memberi makna mendalam baginya.

Nurani yang menempatkan diri di area kecil lateral frontal pole prefrontal korteks itu hanya bisa tumbuh dan berkembang jika orang mampu menghayati hidup dengan lebih sadar, bertanggung jawab dan mempunyai otonomi moral.
Orientasi hidup tidak mati terpaku pada satu pilihan dan menjadi radikal tentang tujuan akhir hidup, apalagi menebar hoax.

Tapi, justru menumbuhkan kecerdasan lateral yang secara intelektual mampu menanggapi masalah-masalah baru dengan berbagai cara arif dan sekali lagi: bertanggung jawab.

Bimbingan konatif sejak kecil bukan hanya melatih anak berpuasa sebagai ritual komunitas atau ke panti asuhan hanya demi solidaritas terhadap kaum yang kurang beruntung, tapi panutan moral yang baik membuat anak bahkan di usia pra remaja bisa membangun kehendak serta pemurnian dari pamrih dan nafsu yang tak teratur – yang justru merupakan makna puasa sesungguhnya.

Remaja-remaja impulsif dengan kelakuan dan ujaran eksplosif adalah fakta nyata gagalnya pendidikan nurani.

Mereka barangkali tidak salah, sebab mereka hanya mencontoh orang-orang dewasa yang sama impulsifnya saat berebut kekuasaan, memaksakan kehendak dan rakus memuaskan nafsu.

Atau perilaku dewasa aneh tanpa nurani, yang menertawakan orang saat sedang berjalan terbentur kaca yang tak terlihat.

Atau menambah kemacetan jalan raya hanya karena menonton kecelakaan – bahkan jika perlu difoto, agar bisa jadi orang pertama  yang mengunggahnya ke media sosial. Tanpa sedikit pun berpikir untuk menolong yang tertimpa petaka.
 






Agar Anak Tinggi, Konsumsi Satu Telur Sehari ..



Salah satu pertanda kecukupan gizi anak adalah tidak gampang sakit, postur tubuh tidak pendek, dan tumbuh kembangnya optimal. Untuk mencukupi kebutuhan gizi anak, direkomendasikan mengonsumsi satu telur setiap hari.

Konsumsi telur, baik direbus, digoreng, atau diorak-arik untuk omelet, nutrisi dalam telur sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak. Untuk anak, telur wajib dimasak terlebih dulu sebelum dikonsumsi.

Dalam penelitian di Ekuador selama 6 bulan diketahui anak-anak yang diberikan telur setiap hari, kondisi tubuh pendek (stunting) bisa dicegah.

Stunting atau pendek merupakan akibat dari masalah gizi kronis yang disebabkan kekurangan gizi dalam waktu lama. Akibatnya anak stunting akan memiliki tingkat kecerdasan lebih rendah. Mereka juga rentan menderita penyakit saat dewasa.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 155 juta anak balita mengalami stunting. Kebanyakan anak tersebut tinggal di negara dengan ekonomi rendah sampai menengah.

Di Indonesia sendiri, stunting masih menjadi masalah kesehatan utama. Hampir 9 juta balita mengalami stunting. Sayangnya, masih banyak orangtua yang mengira stunting adalah faktor keturunan.

Nutrisi telur

Dalam penelitian di Ekuador ini diketahui, sebagian besar anak yang diberikan telur setiap hari, risiko mengalami stunting lebih rendah. Kesehatan anak-anak itu dimonitor dan dibandingkan dengan anak yang tidak diberi telur tiap hari.

Sekitar 160 anak berusia 6-9 bulan dilibatkan dalam penelitian ini.

Tim peneliti setiap minggu mengunjungi rumah-rumah anak yang mengikuti penelitian ini untuk memastikan mereka memang diberi telur. Selain itu dicek juga apakah ada efek samping pemberian telur itu, seperti alergi telur.

"Kami sangat kaget dengan efektivitas intervensi ini. Pemberian telur bisa menjadi cara yang murah untuk mencegah stunting," kata Lora Lannotti yang melakukan riset ini.

Telur mengandung kombinasi nutrisi yang baik untuk pertumbuhan anak. Usia dua tahun pertama merupakan periode yang krusial untuk tumbuh kembang anak. Jika di usia ini anak kekurangan gizi, dampaknya akan dirasakan sampai dewasa.

Kecukupan gizi yang baik diawali dengan pemberian ASI selama 6 bulan pertama. Setelah itu anak mulai mendapat makanan pendamping ASI yang wajib memenuhi kebutuhan gizi anak.

Walau telur memang mengandung gizi dan murah, tetapi anak juga perlu mendapat bervariasi makanan. Bukan hanya agar ia mendapat vitamin dan mineral yang dibutuhkan, tapi juga agar anak mengenal berbagai jenis rasa dan tekstur makanan.

Penggemar Jengkol, Waspadai Efek Samping Ini ..



Saat Pak Wardoyo (66) masih aktif bekerja dan ditugaskan di daerah Jawa Barat, hampir tiap hari ia disuguhi makanan dengan berbagai jenis lalapan.

Seperti halnya kebiasaan masyarakat Sunda yang selalu makan nasi dengan berbagai dedaunan sebagai lalapan, salah satu yang disertakan dalam lalapan adalah jengkol dan pete.

Rupanya, inilah awal dari penyakit batu ginjal yang dideritanya. Mengapa?

Jengkol atau jering (Archindendron pauciflorum) adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara. Bijinya disukai masyarakat yang tinggal di Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai bahan pangan.

Bukan hanya sebagai lalapan, jengkol pun bisa dimasak menjadi berbagai macam masakan, seperti semur jengkol atau rendang jengkol.

Saat pemasakan, bisa dipastikan jengkol membuat kehebohan tersendiri. Karena, menimbulkan bau tak sedap. Bukan hanya saat memasak, dari mulut dan urin yang mengonsumsi pun keluar bau tak sedap.
Penyebab bau itu sebenarnya asam amino yang terkandung dalam biji jengkol. Asam amino pada jengkol didominasi oleh asam amino yang mengandung sulfur (S).

Ketika terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan berbagai komponen flavor yang sangat bau karena pengaruh sulfur tersebut.

Salah satu gas yang terbentuk dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.
Saat dicerna, jengkol menyisakan zat yang disebut asam jengkolat (jencolid acid) yang dibuang ke ginjal.
“Satu-satunya bahasa Indonesia yang diterima di dunia kedokteran, ya asam jengkolat ini,” kata Dr. dr. Parlindungan Siregar, SpPD.,KGH, Bagian Ginjal dan Hipertensi, Departemen Penyakit Dalam, FKUI, sambil tersenyum.

Nah, saat inilah efek yang sering ditakuti orang terjadi, yaitu jengkoleun atau jengkolan. Konsumsi jengkol berlebihan menyebabkan asam jengkolat yang memang sulit larut dalam air mengendap dalam ginjal, membentuk kristal padat.

Mendidik "Khalifah", karena Manusia Bukan Sekadar Manusia ..

Dunia dan segala isinya tidak dimandatkan kepada Pegunungan Himalaya atau Samudera Pasifik, namun kepada mahluk yang tak berdaya, bahkan belum dapat langsung berjalan pada saat dilahirkan.

Tidak seperti bayi ikan paus yang dapat langsung berenang ataupun bayi kuda yang langsung tegak kakinya dan berjalan sesaat setelah dilahirkan. Bumi dan segala isinya dimandatkan kepada kita, manusia! Mengapa?
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dalam bentuk yang sebaik-baiknya." – (QS.95:4).”
Itu diperkuat lagi dengan surat selanjutnya.

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al Baqarah :30).

Sejatinya, manusialah satu-satunya mahluk yang punya kemampuan gerak ke mana dan di ruang mana saja, baik itu darat, laut maupun udara.

Manusia dianugerahi potensi dan kemampuan eksplorasi, dan kemampuan jelajah, dan kemampuan menjadi frontier. Itulah fitrah manusia yang hakiki.

Fitrah yang menjadikan manusia-manusia sebagai "khalifah". Di situlah letak kemuliaan manusia sebagai mahluk-Nya.

Bukan sekadar manusia

Basyar, Insan dan An-nas. Dalam bahasa Indonesia, tiga kosa kata itu diartikan sebagai manusia. Namun, Al Quran membedakan ketiga istilah itu untuk menggambarkan manusia secara sangat komprehensif dan menyeluruh.

Basyar dari akar kata yang berarti penampakan sesuatu yang baik dan indah. Secara umum  hal itu menggambarkan manusia sebagai sesuatu yang tampak, biologis, dan physical!

An-Nas lebih menekankan kepada arti manusia dalam perspektif mahluk sosial dan interaksinya. Adapun Insan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah diartikan sebagai harmonis, tampak, lemah lembut, dinamis, pelupa atau dalam bahasa Inggris diartikan sebagai human.

Secara komprehensif al insan dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki kemampuan menalar, berpikir dan merasa. Namun, juga terkadang khilaf.

Al insan menggambarkan manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Kata insan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat paling tinggi, yaitu khalifah di muka bumi!

Mendidik khalifah
Fitrah sebagai khalifah menyiratkan pentingnya jiwa eksploratif, kritis tanpa batas. Untuk itu, seyogianya sistem pengembangan human capital dan pendidikan yang islami dapat mendorong siswa didik untuk berpikir merdeka, kritis, inovatif, dan terbuka. Pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia!
Pendidikan seharusnya memberi kemerdekaan untuk mengartikulasikan keinginan, ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan terkadang norma sekalipun.

Pendidikan khalifatullah memberi ruang untuk berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi, berinovasi dan mengambil risiko. Yakni, pendidikan yang akan bermuara pada penemuan baru dan pemikiran frontier!
Jiwa frontier adalah jiwa yang selalu melihat ke depan. Ini adalah karakter seorang khalifah.

Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan yang melahirkan para rahadian, yaitu manusia-manusia unggul dan menang atau seperti dalam Pustaka Wedha Sasangka disebut kompetitif.

Pendidikan khalifatullah bukan pendidikan kerdil yang menghasilkan manusia berkarakter firaun dan berkarakter iblis, yang terus menerus "merusak" bumi dan isinya. Bukan hanya merusak secara fisik, namun juga secara tatanan nilai dan ideologi.

Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan yang "mengkapitalisasi" ruh Ilahi, potensi ilahi yang ada dalam manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh-Nya. Ruh inilah yang akan menghasilkan bukan saja manusia terpelajar dan terdidik, namun juga tercerahkan (enlightened)

Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka buka saja kaum terpelajar, namun juga kaum tercerahkan.

Mereka beruntung dapat berguru dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide "gila" dan nyeleneh. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan adalah buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik seperti merea. Pendidikan yang mencetak para khalifah.

Sang rahadian, sang prabu

Program National Human Development seyogianya merupakan grand design yang berorientasi pada pembentukan khalifah-khalifah.

Kitabullah seharusnya menjadi dasar dari segala dasar penyusunan sistem pendidikan nasional, yang di dalamnya jelas-jelas menyampaikan bahwa tidak hanya edukasi kognitif semata namun juga pentingnya pengembangan kapasitas yang dibutuhkan di era kompetisi global ini.

Kapasitas apa yang dimaksud? Yaitu kemampuan berkolaborasi dan berinteraksi dalam lingkungan multi kultur. Pendidikan yang output-nya adalah manusia yang peka dengan potensinya dan cepat membaca dinamika serta perubahan eksternal. Manusia yang dapat mengharmonisasikan antara kemampuan, kepekaan dan kesadaran menjadi kebijaksanaan (wisdom).

Bonus demografi yang konon puncaknya akan kita nikmati pada 2030 tidak akan berarti apa-apa tanpa didominasi manusia Indonesia dengan kualifikasi khalifah. Manusia yang berilmu, terampil, berperilaku baik dan bijak, –knowledge, skills, attitude dan wisdom: sang rahadian, sang prabu, sang khalifah.

Karena, pada akhirnya penyembahan yang sempurna dari seorang manusia kepada penciptanya adalah menjadikan dirinya sebagai mandataris Allah SWT di muka bumi dalam mengelola alam semesta. Sang khalifah!

 KOMPAS.com

MUI: Hukum Bisnis Penukaran Uang Disesuaikan Akad, Uang Jasa tak Diharamkan ..

Jasa penukar uang marak saat lebaran.
Jasa penukar uang marak saat lebaran.
 
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus M Syafiq Nashan mengungkapkan, bisnis penukaran uang tidak selamanya diharamkan, karena harus disesuaikan dengan akad transaksinya.

"Jika akad transaksinya, penyedia jasa mengungkap secara langsung permintaan uang jasa atas jerih payahnya mengantre untuk menukar uang di bank, maka transaksinya dianggap sah," ujarnya, di Kudus, Jumat (26/8).

Artinya, kata dia, masyarakat yang membutuhkan uang pecahan menyerahkan uangnya sesuai dengan jumlah uang pecahan yang dibutuhkan. Sedangkan besarnya kompensasi jasa atas jerih payahnya mengantre untuk mendapatkan uang pecahan di bank harus sesuai kesepakatan keduanya.

Biasanya, kata dia, besarnya jasa tersebut masih bisa ditawar, terutama masyarakat yang melakukan tukar uang dalam jumlah besar.

"Haram hukumnya, jika penyedia jasa tukar uang tersebut menyiapkan paket uang pecahan, misal sebesar Rp90 ribu, untuk dijual kepada masyarakat sebesar Rp100 ribu," ujarnya.

Kelebihan dari penukaran tersebut, katanya, dianggap riba, karena transaksinya jelas-jelas jual beli uang. Dalam hukum Islam, lanjut dia, penukaran uang itu harus setara nilainya, mengingat uang bukan komoditas melainkan alat tukar.

Suwarto, salah satu penyedia jasa tukar uang di Jalan Sunan Kudus menolak, usahanya tersebut dikatakan haram hukumnya. Apalagi, kata dia, usahanya tersebut menciptakan lapangan kerja baru, meskipun hanya sementara.

"Ulama juga harus memahami kondisi riil di lapangan, terutama menyangkut aktivitas usaha masyarakat kecil yang memanfaatkan momen Lebaran untuk menghidupi keluarga," ujarnya. Apalagi, seragam kaos yang dikenakan maupun pamflet yang terpasang dikatakan sebagai jasa tukar uang.
"Setiap bertransaksi, saya selalu meminta besarnya uang jasa untuk setiap paket uang yang hendak ditukar. Sedangkan paket uang yang disediakan juga tidak dikurangi," ujarnya.
Uang jasa yang dimin
Sumber : Antara

Terdapat Unsur Riba, Tukar Uang di Pinggir Jalan Haram ..

Jasa penukaran uang di jalanan (ilustrasi).
Jasa penukaran uang di jalanan (ilustrasi).
 
Jasa penukaran uang kecil di pinggir jalan yang marak menjelang Lebaran haram hukumnya karena di dalamnya terdapat unsur riba.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, Duski Samad, mengatakan, jika hal tersebut dipandang sebagai jual beli maka tidak memenuhi syarat sebab barang yang diperjualbelikan tidak ada.
"Sementara yang dijual malah uang yang seharusnya jadi alat tukar," kata Duski Samad, Jumat.

Menurut dia jika penyedia jasa penukaran uang berdalih mereka hanya mengambil jasa maka tetap tidak dibenarkan karena pihak berwenang dalam hal ini Bank Indonesia dan perbankan telah menyediakan penukaran secara cuma-cuma.

"Oleh sebab itu pihak yang menyediakan jasa dan menukarkan uang dua-duanya secara hukum kena," kata dia.

Jika penyedia jasa berdalih mereka telah antre untuk menukarkan uang, justru yang terjadi selama ini panjangnya antrean disebabkan oleh ramainya para calo tersebut.

Ia mengingatkan Islam tidak melarang jual beli barang dan jasa namun tidak dibenarkan mencari keuntungan dengan cara tidak baik.


"Peredaran uang menjadi urusan negara dan sudah ada lembaga resmi yang mengelolanya. Apalagi ini menyangkut kepentingan publik oleh sebab itu kepada masyarakat sebaiknya jangan menggunakan calo dan tukarkan di tempat resmi," ujar dia.

Sebelumnya Bank Indonesia (BI) perwakilan Sumatera Barat menyiapkan uang baru senilai Rp3,4 triliun dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat menyambut Idul Fitri 1438 Hijriah.

"Setiap Lebaran permintaan uang baru di Sumbar terus naik karena ada tradisi manambang, untuk tahun ini kami menyiapkan Rp3,4 triliun dan sudah bisa ditukarkan masyarakat sejak 5 Juni hingga 20 Juni 2017," kata Kepala BI perwakilan Sumbar, Puji Atmoko.

Ia mengatakan pada tahun ini warga yang hendak menukarkan uang akan dilayani di loket yang disiapkan di halaman kantor parkir BI Sumbar jalan Sudirman bekerja sama dengan perbankan di daerah.

"Masyarakat langsung bisa menukarkan setiap hari kerja dari Senin sampai Kamis pada 8.30 WIB - 13.00 WIB secara cuma-cuma, katanya.

Persekusi Para Pemelintir ..

Oleh : Nasihin Masha

Tiba-tiba saja publik Indonesia dihebohkan oleh kosa kata “persekusi”. Objeknya adalah adanya orang-orang yang terkena tindakan akibat perbuatannya di media sosial. Awalnya adalah membuat status atau tulisan di facebook, twitter, atau instagram. Umumnya adalah mereka memberikan penilaian yang negatif terhadap seseorang atau sesuatu. Lalu orang-orang itu dicari alamatnya dan kemudian didatangi. Mereka akan diminta untuk meminta maaf secara tertulis di atas meterai, diucapkan secara verbal dan divideokan serta membuat status meminta maaf di media sosialnya. Di antara mereka ada yang dikata-katai, diancam, bahkan ada yang mendapat tindakan fisik.

Contohnya adalah yang menimpa Fiera Lovita. Awalnya ia membuat status di facebook yang berbunyi “masi ada yg berkoar2 klo ulama mesumnya kena fitnah, loh ... dianya kaburr, mo ditabayyun polisi beserta barbuk ajah ga berani”. Dari status ini arahnya adalah ke Habib Rizieq Syihab. Lovita adalah seorang dokter yang tinggal di Solok, Sumatera Barat. Akunnya sempat terkena suspend sehingga tak bisa diakses. Kini sudah bisa dibuka lagi. Status-statusnya yang terkait dengan itu sudah tidak ada lagi. Namun pernyataan permohonan maafnya masih bertengger. Dari postingannya, juga terlihat ia memberikan nada positif pada Ahok. Akibat kasus ini, Kapolres Solok dicopot.

Lovita bukan satu-satunya, karena masih ada yang mengalami nasib serupa. Ada yang menyebutkan bahwa jumlahnya sekitar 52 orang. Lokasinya konon di seluruh Indonesia. Lalu hebohlah publik Indonesia dengan kosa kata persekusi. Tak hanya dari kalangan awam tapi juga dari aparat dan pejabat. Betulkah tindakan orang-orang itu adalah persekusi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi diartikan sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Dari makna leksikal ini apa yang menimpa Lovita seolah memenuhi unsur untuk disebut persekusi. Walaupun masih harus ditelisik apakah betul sewenang-wenang? Apakah disakiti? Apakah dipersusah? Apakah ditumpas? Karena itu sebaiknya hati-hati. Apalagi kejadian ini juga berdimensi hukum maka rujukannya tak boleh hanya bersandar pada kamus. Tapi juga harus menimbang pengertian lain, misalnya dari sisi hukum. Apalagi sebagian pihak yang diduga melakukan tindakan terhadap pihak seperti Lovita ada yang sempat digelandang polisi. Dalam sistem hukum Indonesia, kita tak mengenal tindak pidana persekusi.

Kata persekusi ada dalam Statuta Roma. Statuta ini merupakan bagian dari produk Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Statuta lahir di Roma pada 1998. Sedangkan ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa pembentukan ICC ini untuk menangani “kejahatan paling serius” (the most serious crimes of international concern). Ada empat jenis kejahatan yang masuk dalam kategori tersebut (Pasal 5), yaitu, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Adapun ihwal persekusi masuk ke dalam Pasal 7, yang membahas tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 7 (1) mengulas tentang apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan; “Untuk keperluan Statuta ini, ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu”. Ada 11 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah persekusi, yang masuk pada poin h. Bunyinya adalah: “Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah”.

Adapun pengertian persekusi itu sendiri ada di dalam Pasal 7 (2) pada poin g. Di situ disebutkan bahwa “Persekusi berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas tersebut”. Dari pengertian ini jelas sekali bahwa unsur penting dalam persekusi adalah perampasan, sengaja, kejam, hak dasar, identitas.

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah hak dasar itu? Banyak sekali varian pendapat tentang hal ini. Namun merujuk pada kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR), di antara hak dasar itu adalah hak hidup; hak menentukan nasib sendiri; kebebasan dan keamanan pribadi dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; perlakuan yang manusiawi dan menghormati martabat yang melekat jika terjadi perampasan kebebasannya; kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal; persamaan di muka hukum; kebebasan menetap di suatu wilayah negara; hak praduga tak bersalah; perlindungan wilayah privat; kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, berkeyakinan, dan beragama; kebebasan berkumpul secara damai; kebebasan berserikat; hak menikah; perlindungan anak di bawah umur; hak ikut dalam pemerintahan, hak dipilih dan memilih, dan hak mendapatkan akses pelayanan umum; serta hak dan perlindungan terhadap minoritas. Tentu masih bisa ditambah di bidang ekonomi dan budaya.

Pertanyaan berikutnya adalah dalam semua kejadian yang kini dihebohkan itu apakah ada perampasan hak dasar yang sengaja dan kejam? Semua itu tak terjadi. Karena itu istilah yang lebih tepat untuk semua kejadian itu adalah tindak pidana yang lain seperti mengancam atau menganiaya, yang ada di KUHP. Sehingga secara leksikal lebih tepat menggunakan istilah intimidasi. Dalam KBBI pengertian indimidasi adalah “tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman”. Karena itu penggunaan diksi persekusi oleh aparat hukum atau pejabat negara bahkan pegiat hak asasi manusia terhadap kasus yang terjadi belakangan ini merupakan upaya berlebihan, pandir, bahkan bisa dikategorikan kekerasan verbal itu sendiri. Seorang kawan yang merupakan pejabat negara yang memahami benar pengertian persekusi dan konsekuensinya dalam dunia internasional mengatakan “mau membela mereka yang kena intimidasi malah bikin kesan bahwa sesuatu yang maha buruk sedang terjadi di Indonesia”. Karena itu ia menyitir sebuah peribahasa lama yang sudah jarang diucapkan: ibarat menghindari kentut malah terpijak kotoran. Duh!

Saat ini memang era narasi terburuk dalam sejarah Indonesia, ada degradasi intelektual yang akut. Tak lagi malu menjadi pandir.

The World Its Mine