Jumat, 02 Agustus 2013

Idul Fitri Berarti Kembali kepada Fitrah

Bagi umat Islam, Hari Raya Idul Fitri memiliki makna yang sangat mendalam. Kehadirannya senantiasa disambut dengan penuh antusias. Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan melawan segala hawa nafsu. Pada hari itu, umat Islam kembali kepada fitrah. Ibarat terlahir kembali ke dunia dalam keadaan suci. Bagaimana sebaiknya umat Islam memaknai Hari Raya Idul Fitri? Apa makna fitrah yang sesungguhnya? Berikut wawancara Fauziah Mursid dari BERITA UIN Online dengan Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Prof Dr Abuddin Nata MA seusai memberikan ceramah pada buka puasa bersama pimpinan dan karyawan UIN Jakarta di Aula Student Center, Kamis (18/8).
Bagaimana pandangan Anda mengenai Hari Raya Idul Fitri?
Hari Raya Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitrah. Kembali yang dimaksud adalah kembali pada kehidupan yang lurus. Menurut Prof Dr Muhammad Quraish Shihab makna fitrah ada tiga, yakni fitrah kepada kebenaran yang menghasilkan ilmu, fitrah kepada kebaikan yang menghasilkan etika, dan fitrah kepada keindahan yang menghasilkan seni. Perpaduan antara ilmu, etika, dan seni itulah yang membuat hidup kita menjadi utuh, damai, dan tertib.
Hari Raya Idul Fitri erat kaitannya dengan Ramadan, nah bagaimana makna fitrah jika dikaitkan dengan Ramadan?
Proses menuju fitrah ini tentu saja tidak terlepas dari kehadiran bulan Ramadan yaitu melalui puasa. Karena dengan berpuasa dapat mengembalikan kehidupan yang sebenarnya.
Maksudnya?
Fitrah itu ditempuh melalui berbagai macam cara dan puasa ini salah satunya.Pertama, puasa dapat mengajarkan kepada kita pola konsumsi yang benar. Dengan berpuasa kita dituntut untuk menahan hawa nafsu dan makan tidak berlebihan. Dengan pola yang teratur seperti ini tentu kita akan terhindar dari berbagai macam penyakit. Dan ini disebut fitrah secara fisik.
Kedua, melalui puasa kita dapat mengembalikan hubungan komunikasi sosial. Dalam kehidupan yang materialistik dan pragmatis seperti sekarang ini manusia sering memakai istilah waktu adalah uang. Hampir setiap waktu mereka sibuk pada pekerjaan mereka masing-masing dan kurang untuk berinteraksi sosial. Oleh karena itu, kehadiran bulan Ramadan dapat mengembalikan komunikasi di antara sesama manusia melalui salat Tarawih, salat berjamaah, buka bersama dan makan sahur.
Ketiga, fitrah kembali kepada Tuhan. Melalui bulan Ramadan kita senantiasa meningkatkan ibadah dan amalan kepada Allah SWT. Hal itu dapat membangun komunikasi kepada Tuhan sebagai tempat berlindung, tempat mengadu, tempat meminta. Dan kita bukan apa-apa di hadapan-Nya. Melalui hubungan ini kita punya kekuatan untuk tidak diperbudak dan dijajah oleh apapun dan hanya tunduk kepada Allah SWT.
Sudah menjadi tradisi, Hari Raya Idul Fitri identik dengan sesuatu yang baru, seperti pakaian baru. Bagaimana Anda memaknainya?
Pada hakikatnya Hari Raya Idul Fitri bukan hanya sekadar mengenakan sesuatu yang baru, pakaian misalnya. Karena Nabi SAW bersabda bahwa Idul Fitri bukan dengan pakaian yang serba baru, tetapi bagaimana ketakwaan dan keimanan kita bertambah. Saya memaknai pakaian baru tersebut hanya sebagai simbol suatu inovasi untuk kembali kepada semangat kemajuan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Bagaimana dengan tradisi Halal Bihalal pada Hari Raya Idul Fitri, apakah memang harus diselenggarakan?
Memang halal bihalal pasti ada dalam Hari Raya Idul Fitri. Sebenarnya halal bihalal itu dipahami dari ayat al-Qur’an bahwa ciri orang yang bertakwa itu adalah yang saling memaafkan wa ‘aafinaa ‘aninnas (saling memaafkan). Karena dalam Islam baik kepada Allah SWT saja tidaklah cukup jika tidak diikuti dengan baik kepada manusia. Boleh jadi selama 11 bulan hubungan di antara sesama terdapat keretakan atau sedikit renggang. Di dalam bulan yang penuh berkah tersebut hati kita dilatih untuk ikhlas memaafkan, maka ketika tiba Hari Raya ini dapat dijadikan waktu yang tepat untuk saling memaafkan.
Apa yang harus kita lakukan untuk menjaga kefitrahan Hari Raya Idul Fitri?
Tentu saja kelanjutan fitrah yang didapat setelah bulan Ramadan dan Hari Idul Fitri harus selalu dijaga. Karena itu ada yang disebut dengan pasca-Idul Fitri. Karena ada orang yang menganggap bulan puasa itu biasa saja seperti hari biasa. Ada yang mengatakan bulan puasa itu luar biasa, artinya mereka hanya aji mumpung pada bulan Ramadan dan setelah Ramadan usai maka kembali lagi kepada perbuatan sebelumnya. Tetapi ada pula yang memaknainya sebagai bulan perbaikan. Mereka berusaha memperbaiki amal perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan agama. Dan bagi mereka yang menganggap sebagai bulan perbaikan tentu harus dilanjutkan pengaruhnya pada bulan lain. Misalnya saat Ramadan mereka rajin salat malam, salat sunnah, dan tadarus al-Qur’an, amaliah tersebut juga harus dilakukan di luar bulan Ramadan.

Ramadhan: Kembali Kepada Fitrah


Alhamdulillah, Ramadhan telah menyapa kehidupan kita. Ternyata kita antara yang bertuah kerana dipilih Allah SWT untuk menjejakan kehidupan kita di madrasah Ramadhan. Di sepanjang Ramadhan, Allah SWT tidak pernah lupa menghidangkan kepada kita seribu satu kebaikan dalam pesta ibadah terbesar buat kita meraih pahala berlipat kali ganda. Yang lupa hanyalah kita, sebaik berakhir Ramadhan, kita lupa nilai tarbiyah yang dilalui di sepanjang bulan mulia itu.

Manusia sering lupa dan memang pelupa dan pendosa. Betapa kita sering menyesali kesalahan yang telah kita kerjakan. Bahkan dalam sekelip mata kesalahan yang serupa segera kita ulangi. Kalau bukan kerana rahmat Allah SWT, terasa terlalu berat rasanya kewajiban untuk kita membersihkan jiwa dari pelbagai rawasib-rawasib (karat) dosa.

Jalan kehidupan ini banyak likunya, tajam selekohnya, panjang dan melelahkan. Terkadang kita dihenyak kelalaian sehingga beban dosa menghimpit jiwa, lantas kita berselingkuh dengan dosa-dosa sehingga kehidupan umpama berjalan dalam gelap gelita, sedangkan suis cahaya ada di hadapan mata. Debu dosa menutup pintu hati untuk melihat kebenaran. Al Quran yang di baca hambar rasa di jiwa. Tiada rintihan pada jiwa untuk terbangun dari kelekaan. Hati sudah hilang sensitifnya pada dosa. Lalu kata Iman al Ghazali, sekiranya hatimu sudah tidak berfungsi lagi, maka pohonlah pada Allah akan hati yang baru!

Sungguh mustahil manusia akan selamat apabila dia berjalan di lorong-lorong kehidupan ini tanpa bimbingan, panduan, arahan dan melewati terminal-terminal pembaikan jiwa untuk membersihkan hati, mengubati luka-lukanya dan meluruskan kembali arah hidupnya yang barangkali sudah jauh menyimpang.

Apakah masih ada harapan untuk kita kembali kepada fitrah asal kita sebagai hamba Allah SWT.? Sesungguhnya Allah kaya dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Lalu Allah mengatur keperluan hamba-Nya untuk melalui terminal-terminal istimewa agar kita kembali kepada fitrah. Antaranya solat sehari lima waktu merupakan terminal terhebat untuk mengembalikan kita kembali kepada fitrahnya, memperhambakan dirinya kepada Allah. Tidak cukup dengan itu, Allah anugerahkan keberkahan bulan Ramadhan, terminal 30 hari melalui proses perawatan jiwa. Tidak hairanlah apabila Ramadhan dikenali sebagai bulan syahrut Tarbiyah.

Subnallah, Ramadhan adalah bulan pentarbiahan hati. Bulan umat meraih kembali kepercayaan dari Allah SWT untuk melayakkan kita menjadi hamba-Nya yang bertaqwa. Kembali kepada fitrah asal, bersih dari noda dan kelumat dosa. Ramadhan menjadi terminal terbaik buat kita membersihkan diri, mengevalusi kembali arah jalan kehidupan kita dan mengubat luka-luka pada jiwa akibat titik-titik hitam dosa.

Dari Abu Hurairah RA bahawanya Rasulullah SAW bersabda:

“Antara solat fardhu ke solat fardhu yang lain, antara Jumaat ke Jumaat yang lain dan antara Ramadhan ke Ramadhan yang lain merupakan penghapus dosa-dosa apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR Muslim)

“Barang siapa yang shaum (puasa) pada bulan Ramadhan kerana iman dan mengharap redha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga kita mulai Ramadhan pada kali ini dengan “mindset” yang betul dan benar, iaitu meraih redha Allah dan mengharap keampunan, maghfirah dan pembebasan dari azab api neraka.

Janganlah pernah penat berharap kepada Allah SWT. Ayuh kita meraih limpahan rahmat dari Allah SWT di sepanjang Ramadhan ini kerana terminal Ramadhan termuat dengan janji kepada kita untuk kembali kepada “dunia baru” kehidupan, Rasulullah SAW ada bersabda:

“Telah diberikan kepada umatku di bulan Ramadhan lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku, iaitu;

1.Di permulaan Ramadhan Allah akan melihat kepada umatku. Sesiapa Allah melihat kepadanya nescaya ia tidak akan diazab selama-lamanya.
2.Bau mulut mereka (yang berpuasa) ketika petang hari lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi.
3.Malaikat akan memohon ampun untuk mereka di sepanjang hari dan malam.
4.Allah menyuruh syurga supaya bersiap-sedia dengan berkata kepadanya; “Bersiaplah kamu dan berhiaslah untuk hamba-hambaKu. Mereka hampir datang (memasukimu) untuk beristirehat dari kepayahan dunia menuju ke rumahKu dan kemuliaanKu”.
5.Pada akhir malam bulan Ramadhan, Allah mengampuni dosa semua mereka. Seorang lelaki dari sahabat bertanya; ‘Adakah malam itu lailatul Qadar?’. Jawab Rasulullah; ‘Tidak. Apakah engkau tidak melihat kepada pekerja-pekerja yang bekerja. Apabila mereka telah selesai dari pekerjaan mereka, akan disempurnakanlah upah-upah bagi mereka”.
(Riwayat Imam Ahmad, al-Bazzar dan al-Baihaqi dari Jabir RA)

Ya Allah! Semoga Ramadhan pada kali ini benar-benar mengesan pada jiwa ini, menghidupkan iman kembali, agar dengan iman aku kembali kepada fitrah asal, menjadi hamba Allah SWT yang sebenar-benarnya.

Makna Fitrah yang Sesungguhnya

A. Pendahuluan
Fitrah manusia bukan satu-satunya potensi manusia yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi  lain yang menjadi kebalikannya dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecendrungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53) untuk itulah fitrah harus  tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara wajar apabila mendapat suplay yang dijiwai oleh wahyu (fitrah al-munazzalah). Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam, semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada Islam, semakin baik pula perkembangan fitrahnya.[1]
Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama, fitrah intelek, fitrah social, fitrah ekonomi, fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan, cinta tanah air, dsb. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh  dari faktor oksigen manusia (lingkungan) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian “An-nafsu Ammarah bissu”, sehingga manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang menciptakannya.
B. Konsep Fitrah Dalam Dendidikan
Banyak yang mengartikan bahwa bayi yang lahir itu fitrah artinya suci. Jiwa anak tersebut cenderung kepada agama tauhid. Ketika terjadi penyimpangan dalam perkembangan anak itu untuk tidak lagi cenderung kepada agama tauhid, para ulama berargumentasi bahwa hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
  1. Pengaruh adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
  2. Pengaruh lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag)
  3. Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
  4. Adanya pendidikan (A. Hassan)
  5. Guru dan mengajarnya (al-Maraghi)
  6. Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya (H.R. Bukhari Muslim)
Untuk pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah disini sama dengan tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya arti suci-bersih, tetapifitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri.[2] Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia. Disinilah letaknya tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi faktor  pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan esensial antara pendidikan islam dengan pendidikan umum. Pendidikan islam berangkat dari filsafat  pendidikan theocentric, sedangkan  pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang pendidik atau guru hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran dan akhirnya pelajar sendirilah yang belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajarannya pada hasil pemikirin manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawiyan.[3]
Sehubungan dengan ini, maka persamaan dan perbedaan pendidikan islam dan aliran empirisme ialah: pertama, keduanya sepakat bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis oleh pendidik. Kedua, karena adanya perbedaan konsep antara fitrah dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik dalam konsep pendidikan islam lebih terbatas dibandingkan dengan peranan pendidik dalam aliran empirisme, dalam membentuk dan mengembangkankepribadian anak didik tersebut.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran nativisme: pertama, keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, dalam pendidikan islam karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik bukan hanya sekedar pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan konvergensi: pertama, keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik. Kedua, perbedaannya, dalam islam kemana kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya.sedangkan dalam pendidikan yang berdasarkan anthropocentric pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup didunia.
Berbeda dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang meyakini bahwa manusia mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Dalam islam, sebagaimana disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah mati akan kembali kepada Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam seluruh aspek yang meliputi spiritual, intelektual, dan keterampilan yang dapat  dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup (individu dan sosial) dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, diwujudkan dalam rangka memenuhi tujuan yang satu  yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan yang dijiwai oleh wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman islam secara kaffah. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam semakin baik pula perkembangan fitrahnya.[4]
Dalam ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih antara  dua jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini ada kalanya manusia itu bersyukur, ada kalanya manusia itu kufur atau mengingkari kebenaran yaitu memilih jalan yang sesat. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa setiap manusia diberi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa menaati perintah-Nya.[5] Ayat ini dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia  melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”, meskipun ketentuan Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih  yang terdapat didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Sejalan dengan interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dan linier dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini pendidikan islam berproses secara konvergensis (convergen: bertemu, berpadu), yang dapat membawa kepada faham konvergensi  dalam pendidikan islam.
C. Implikasi Fitrah dalam Proses Pendidikan Islam
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasar serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang tersedia.
Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori “Lorenz” yang membangun pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan untuk mencapai objek-objek pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifat-sifat agresi ini. Jelasnya, seorang pendidik tidak perlu sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya  untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim untuk berikhtiar untuk menanamkan  tingkah laku yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya.
Ali Syari’ati menawarkan lima factor yang secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu:
  1. Faktor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
  2. Faktor ayah yang memberikan dimensi kekuatan dan harga diri.
  3. Faktor sekolah yang membantu terbentuknya sifat lahiriah.
  4. Faktor masyarakat dan lingkungan yang memberikan lingkungan empiris.
  5. Faktor kebudayaan umum masyarakat yang memberi corak kehidupan manusia.[6]
Kelima faktor tersebut merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah anak didik dalam berbagai dimensinya. Di samping itu, fitrah manusia memiliki sifat yang suci dan bersih. Oleh karena itu, orang tua (pendidik) dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didik pada kebiasaan yang baik serta melarang mereka membiasakan diri untuk berbuat buruk.[7]
Kesimpulan
Ilmu pendidikan islam dapat berorientasi pada salah satu faham filsafat pendidikan. Namun apapun faham filsafat yang dijadikan dasar pandangan, ilmu pendidikan islam tetap berpijak kepada kekuatan hidayah Allah yang menentukan hasil akhir. Dalam pendidikan islam hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi penentu keberhasilan akhir dari proses ikhtiariyah manusia dalam pendidikan.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasar serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang tersedia.
Faktor kemampuan memilih  yang terdapat didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah.

[1] Abdulah DP, Mari kita tegakkan Fitrah, Al-Muslimun , No. 233 XXI/1988, hlm.110
[2] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta INIS, 1994), hlm.16
[3] Ibid, hlm. 16-17.
[4] Abdulah DP, Mari Kita Tegakkan Fitrah, Al-Muslimun , No. 233 XXI/1988, hlm.110
[5] QS. As Syamsu (91): 7-10.
[6] Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, Yogyakarta: Ananda, I/1982, hlm. 63-64.
[7] Abdullah ‘Alwan, Tarbiyah Al-Aulad Fil Islam, Bairu: Darul Islam, Juz I. III/1981, hlm.160-162
Daftar Pustaka
  • Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif. Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004
  • Muhaimin, Drs,MA. Pemikiran Pendidikan Islam. Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya, 1993
  • Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, Yogyakarta: Ananda, I/1982
  • Abdullah ‘Alwan, Tarbiyah Al-Aulad Fil Islam, Bairu: Darul Islam, 1981
  • Abdulah DP, Mari Kita Tegakkan Fitrah, Al-Muslimun, No. 233 XXI/1988, hlm.110
  • Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994

Ramadhan - Penyucian Diri Untuk Kembali Kepada Fitrah

Manusia terdiri daripada dua unsur yang saling melengkapkan antara satu sama lain. Unsur tersebut ialah tubuh dan roh. Sejak zaman berzaman, tubuh jika mengalami sebarang masalah dapat dirujuk kepada bomoh dan hari ini digelar sebagai doktor. Kesemuanya ini dirujuk apabila tubuh ditimpa sebarang penyakit. Manakala roh ataupun jiwa, jika ditimpa masalah akan dirujuk kepada pawang. Selalunya penyelesaian kepada masalah ini ialah dengan mengadu kepada kuasa lain dengan cara yang khurafat. Lalu lahirlah amalan memuja pokok, sungai, batu, cakerawala dan sebagainya.

Semua ini menunjukkan keperluan untuk melunaskan fitrah manusia yang ingin bertuhan. Secara semulajadinya, manusia perlu kepada tuhan. Manusia sendiri tidak boleh menerima dengan akal bahawa dunia ini wujud tanpa pencipta. Lalu dengan keyakinan inilah, manusia mencari-cari siapakah yang perlu dirujuk ketika menghadapi sebarang masalah. Lahirlah dari rasa fitrah tersebut amalan-amalan khurafat yang wujud semenjak zaman dahulu kala.

Islam kemudiannya datang bukanlah sangat untuk mengajar manusia bahawa di dunia ini adanya tuhan kerana itu merupakan satu fitrah. Tetapi Islam datang untuk meletakkan fitrah manusia di landasan yang betul iaitu mengakui tuhan itu hanyalah Allah SWT. Jiwa dan rohani manusia dipandu dengan jelas agar mengakui bahawa zat yang layak untuk disembah hanyalah Allah SWT. Pengabdian inilah merupakan misi utama penciptaan manusia. Inilah tujuan hidup manusia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Tujuan hidup ini tidak dapat disebut oleh mana-mana ahli fikir jika tidak merujuk kepada al-Quran. Ahli-ahli sains mungkin dapat menyebut apakah tujuan air, tanah, api, udara dan sebagainya. Demikian juga seorang ahli perubatan dapat menjelaskan khasiat ubat-ubatan yang dihasilkan. Namun, tujuan hidup siapakah yang dapat menjelaskan jika tidak Allah SWT sendiri? Sebagaimana seorang yang datang dari ceruk kampung berdepan dengan pelbagai mesin di gudang yang besar, tidak akan mengetahui fungsi setiap jentera dan suis yang dilihatnya kerana tidak mempunyai kemahiran. Orang yang mengetahui fungsi mesin yang pelbagai itu ialah jurutera yang menciptanya atau sekurang-kurangnya berkemahiran tentangnya. Demikianlah manusia, adalah mustahil seorang manusia mengetahui tujuan dia sendiri diciptakan jika tidak diberitahu oleh kuasa yang menciptakan manusia iaitu Allah SWT. Untuk memberitahu tujuan hidup inilah, dihantar rasul-rasul kepada manusia dari zaman berzaman. Merekalah yang ditugaskan untuk memandu manusia bagaimana hidup ini perlu diselaraskan sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Jurupandu kepada umat ini ialah para anbiya’ khususnya di akhir zaman ini ialah Nabi Muhammad SAW. Baginda tidak mereka-reka jalan, baginda hanya menunjuk jalan berdasarkan al-Quran. Bulan Ramadhan inilah yang merupakan bulan penurunan al-Quran. Di antara sifat al-Quran ialah hudan linnas berasaskan firman Allah SWT :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Yang bermaksud : Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeza (antara yang hak dan yang bathil).
- Surah al-Baqarah, ayat 185

Justeru, puasa sebagaimana ibadat-ibadat lain merupakan keperluan kepada fitrah manusia. Jika sekalipun ugama tidak mewajibkan puasa ini dilakukan, manusia sendiri tentunya akan mewajibkan ke atas diri mereka untuk berpuasa kerana manfaat yang banyak daripadanya termasuklah dari aspek kesihatan. Apatah lagi jika ia merupakan satu perintah daripada Allah SWT, lebih perlu untuk dilaksanakan sekalipun menempuhi sedikit kepayahan. Tanda taat tunduknya manusia kepada Tuhan mereka ialah mereka sanggup bersusah payah demi membuktikan kepatuhan mereka. Sebagaimana kita bersusah payah untuk anak-anak kita yang kita sayangi, maka demikianlah kita lebih utama untuk bersusah payah demi Tuhan yang kita yakini.

Inilah sebab mengapa setiap amalan di dalam Islam perlu diasaskan kepada niat yang ikhlas. Niat yang ikhlas dalam erti kata lain melaksanakan amalan semata-mata kerana ia merupakan perintah Allah SWT. Bukan sahaja beribadat seperti solat dan puasa, bahkan berpolitik, berniaga, bersosial, berumahtangga semuanya kerana Allah SWT. Hati perlu sentiasa diasuh untuk meyakini bahawa amalan yang dilakukan bukan kerana budaya turun temurun atau adat resam tetapi hanya kerana Allah SWT.

Manusia perlulah sentiasa yakin bahawa Allah SWT itulah yang bersifat dengan al-Khaliq (Yang Maha Mencipta), al-Baari (Yang Memberikan Kemampuan) dan al-Mushawwir (Yang Memberikan Bentuk). Keyakinan seperti ini membantu manusia untuk lebih meningkatkan amal ibadat kerana diyakini setiap amalan tersebut dinilai oleh Allah SWT yang menciptakannya. Keyakinan inilah juga yang akan mendorong manusia untuk berpuasa dengan sesungguh hati. Hilangnya keyakinan ini, hilang jugalah roh dari ibadat puasa tersebut sehingga menghilangkan ganjaran yang disediakan oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Yang bermaksud : “Betapa ramai orang yang berpuasa tidak mendapat apa-apa daripada puasanya kecuali lapar dan betapa ramai orang yang berqiyam tidak mendapat apa-apa daripada qiyamnya kecuali hanya berjaga malam..” – Riwayat Ibnu Majah

Selain itu, saya menyeru kepada seluruh rakyat Kelantan agar memperbanyakkan amalan membaca al-Quran, bersedekah, qiyamullail dan sentiasalah berzikir mengingati Allah SWT. Semuanya ini seharusnya sentiasa menjadi amalan rutin kita bukan hanya ketika di bulan Ramadhan tetapi sepanjang masa. Semoga bacaan al-Quran, sedekah, qiyam dan juga zikir yang kita amalkan sentiasa memandu kita di dalam mengurus tadbir hidup ini berpandukan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Semoga Ramadhan pada tahun ini jauh lebih baik dari Ramadhan pada tahun-tahun yang lepas.

The World Its Mine