Jumat, 21 Juni 2013

SASAKALA INDRAMAYU


Tersebutlah pemuda yang sangat tampan,
gagah, dan memiliki kesaktian tinggi. Ia bernama
Wiralodra, putra Tumenggung Gagak Singalodra, dari
Banyurip, Bagelen, Jawa Tengah. Karena ketampanan
dan kesaktiannya itulah, Wiralodra menjadi pujaan
banyak perempuan.
Sebagai kstaria pilih tanding, Wiralodra
mempunyai keinginan untuk mendirikan sebuah
kerajaan. Ia tidak ingin menjadi raja karena hasil
pemberian dari ayahnya atau orang lain. Maka sebagai
langkah awal, Wiralodra pun melaksanakan tapabrata
di suatu tempat yang bernama Malaya di kawasan
lembah Gunung Sumbing.


 Wiralodara menghabiskan waktu 40 hari 40
malam, sebelum akhirnya mendapatkan wangsit dari
Sang Hyang Wasa. Dalam wangsitnya itu disebutkan
bahwa Wiralodra harus mencari sungai yang bernama
Cimanuk. Di lembah sungai itu, tanahnya subur dan
akan banyak dikunjungi orang. Tanah itulah yang

menurut wangsit sangat baik untuk dijadikan pusat
kerajaan.
Ketika itu hari masih pagi, ketika Wiralodra
menghadap ayahnya di pendopo.
“Ada apa anakku, engkau menghadapku di
waktu masih pagi seperti ini?”
Wiralodra menundukkan kepala, sebelum
akhirnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Maaf ayahanda, aku semalam mendapat
wangsit agar segera mencari sungai Cimanuk.”
“Untuk apa mencari sungai Cimanuk, bukankah
di daerah Bagelen juga terdapat banyak sungai,” kata
ayahnya terheran-heran.
“Di lembah sungai itulah, menurut wangsit,
sangat baik untuk dijadikan pusat kerajaan,” kata
Wiralodra tegas.

 “Anakku, aku sudah tahu bagaimana
karaktermu. Kalau memang pendirian dan niatmu
begitu, aku akan mengijinkanmu. Hanya pintaku,
pandai-pandailah engkau menjaga diri. Sebagai teman

berbincang selama perjalanan, aku utus Ki Tinggil
untuk menemanimu”
Setelah mendapat ijin dari ayahnya, maka
pergilah Wiralodra dengan ditemani Ki Tinggil untuk
berkelana mencari sungai Cimanuk. Perjalanannya
menuju ke sebelah Barat. Dalam perjalanannya itulah
pada suatu hari di tengah hutan belantara, Wiralodra
bertemu dengan seorang lelaki tua renta. Lelaki tua
tersebut mengaku bernama Ki Sadum.
“Hey anak muda, ke mana tujuanmu?”
Maka berceritalah Wiralodra tentang maksud
dan tujuannya. Tidak lupa ia pun menceritakan isi
wangsit yang diterimanya di pertapaan.
Setelah mendengar cerita Wiralodra, tiba-tiba
lelaki tua tersebut berubah menjadi Kiai Malik Warna.
Mahaguru yang sudah koncara ke mana-mana memiliki
ilmu dan kesaktian yang tinggi. Tentu saja Wiralodra
dan Ki Tinggil kaget bercampur bahagia, karena dapat
bertemu dengan orang yang luar biasa.

Setelah sesaat ketiganya membisu, akhirnya Kiai
Malik bicara:
“Apabila engkau berdua sudah berada di wilayah
yang bernama Cupunagara, segera cari kijang bermata
berlian. Setelah ditemukan, ikutilah perjalanannya.
Apabila kijang itu berhenti dan menghilang di pinggir
sungai, maka sungai itulah yang dinamakan Cimanuk.
Mengerti engkau Wiralodra?”
“Paham, Kiai?”
Setelah meminta ijin, bergegaslah Wiralodra dan
Ki Tinggil menuju ke sebelah Barat untuk mencari
daerah yang bernama Cupunagara. Wiralodra kembali
menjelajah hutan belantara yang masih angker. Hingga
di sebuah hutan jati, ia mendapati ular sangat besar
menghalangi jalan setapak yang akan dilewatinya.
Ketika ular tersebut akan diangkat, tiba-tiba kepalanya
menyambar akan menerkam Wiralodra. Namun secara
gesit, Wiralodra memukulkan cakra senjata
andalannya. Kepala ular pun hancur terkena pukulan
cakra.

Baru saja Wiralodra menarik nafas, tiba-tiba ular
yang kepalanya sudah hancur tersebut berubah wujud
menjadi sungai yang airnya jernih. Wiralodra dan Ki
Tinggil merasa heran dan terpana. Untung saja
Wiralodra segera sadar, bahwa itu hanyalah sungai
jadi-jadian. Maka dengan segera, ia memukulkan
cakranya kembali pada air sungai yang jernih tersebut.
Setelah itu, hilanglah sungai, kini berubah menjadi
perempuan yang sangat cantik. Perempuan tersebut
menyebut dirinya dengan nama Dewi Larawana dan ia
pun mengaku penguasa hutan larangan tersebut.
Dalam pertemuannya itu, Dewi Larawana
mengaku telah jatuh cinta pada Wiralodra. Bahkan ia
menginginkan untuk dikawini oleh Wiralodra. Kontan
saja Wiralodra menolak, karena ia tidak berniat mencari
istri namun mencari daerah bernama Cupunagara.

 Akibat ditolak Wiralodra, Dewi Larawana merasa
terhina. Ia pun langsung menantang Wiralodra untuk
berkelahi adu kesaktian sampai salah satunya ada
yang meninggal. Pada mulanya permintaan tersebut

ditolak oleh Wiralodra, namun karena Dewi Larawana
terlebih dulu menyerang, akhirnya Wiralodra pun
melayani tantangan tersebut.
Perkelahian pun terjadi. Baik Wiralodra maupun
Dewi Larawana sama-sama memiliki ilmu kesaktian
yang tinggi. Semakin lama perkelahian pun semakin
sengit. Keduanya sama-sama memakai ilmu yang
tinggi. Namun setelah Wiralodra mengeluarkan cakra
sebagai senjata andalannya, akhirnya Dewi Larawana
pun semakin terdesak. Ia pun akhirnya meninggal
terkena cakra Wiralodra.
Tidak berhenti di situ, kejadian aneh terjadi
kembali. Sesaat setelah Dewi Larawana meninggal,
tiba-tiba dari mayatnya keluar asap. Mula-mula berupa
asap tipis, kemudian berubah menjadi tebal sampai
menyelimuti hutan. Setelah itu, mayat Dewi Larawana
berubah wujud menjadi kijang bermata berlian. Adapun
ciri-ciri kijang tersebut sama dengan yang diceritakan
oleh Kiai Malik Warna.

Tentu saja Wiralodra tidak langsung percaya
begitu saja. Ia masih yakin bahwa kijang tersebut
hanyalah jadi-jadian. Namun ketika kijang bermata
berlian tersebut berlari dari hadapannya, Wiralodra
segera penasaran untuk mengejarnya. Maka dikejarlah
kijang bermata berlian itu oleh Wiralodra dan Ki Tinggil.
Wiralodra mengeluarkan aji kesaktiannya untuk
mengejar kijang tersebut. Namun kijang tersebut tetap
saja tidak terkejar. Sampai akhirnya kijang tersebut
menghilang di tepi sebuah sungai yang airnya jernih.
Wiralodra pun segera tersadar, bahwa kijang tersebut
telah menunjukkan letak sungai Cimanuk yang selama
ini ia cari.

Tidak menunggu lama, keesokan harinya
Wiralodra dan Ki Tinggil segera ngababakan (membuka
lahan baru untuk pedukuhan) di sekitar tepi sungai
Cimanuk. Sampai pada malam harinya, Wiralodra dan
Ki Tinggil didatangi dua mahluk aneh yang mengaku
Raja Budipaksa dan Patih Bujaris. Keduanya mengaku

sebagai penguasa hutan di sekitar tepi sungai Cimanuk
tersebut.
Dua siluman tersebut marah karena tidak terima
wilayah kekuasannya diganggu oleh Wiralodra. Mereka
berdua pun menyerang Wiralodra dan Ki Tinggil.
Keduanya saling berhadap-hadapan. Raja Budipaksa
menghadapi Wiralodra, sedangkan Patih Bujaris
menantang Ki Tinggil.
Perkelahian pun terjadi, sebelum akhirnya kedua
siluman tersebut dapat dikalahkan oleh Wiralodra dan
Ki Tinggil. Keduanya menerima takluk pada Wiralodra.
Bahkan seterusnya, seluruh siluman penghuni hutan di
tepi sungai Cimanuk turut serta membantu Wiralodra
membuka lahan baru untuk pemukiman.

Lama kelamaan lahan untuk pemukiman
semakin besar. Orang pun mulai berdatangan dan
betah menetap di sana. Wiralodra diangkat sebagai
pemimpinnya dan Ki Tinggil sebagai wakilnya.
Selanjutnya pemukiman itu pun berubah menjadi

kerajaan. Tentu saja Wiralodra diangkat menjadi raja
dan Ki Tinggil menjadi patihnya.
Wiralodra menugaskan Ki Tinggil untuk segera
memperluas wilayah kekuasaan. Dengan dibantu oleh
prajurit tangguh bernama Surantaka, Banyuntaka, dan
Puspahita, akhirnya Ki Tinggil pun berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Wiralodra.
Perkampungan di lembah sungai Cimanuk
semakin ramai. Pembangunan dalam segala bidang
terus digalakan oleh Wiralodra, terutama pada bidang
pertanian dan perikanan. Apalagi setelah mendapat
bantuan dari seorang pemukim baru bernama Endang
Darma, perkampungan Cimanuk semakin pesat.
Endang Darma adalah seorang perempuan
cantik yang memiliki ilmu tinggi. Ia banyak membantu
Wiralodra dalam mengembangkan ilmu hidup kepada
penduduk Cimanuk, mulai dari teknik bertani,
berdagang, sampai teknik berperang melawan musuh.
Sehari-hari, Endang Darma hidup membaur dengan
penduduk Ciamanuk.

Pada suatu ketika, Wiralodra merasa tersanjung
atas bantuan Endang Darma tersebut. Ia pun berniat
ingin menguji kesaktian Endang Darma. Maka
ditantanglah Endang Darma oleh Wiralodra. Tetapi
karena Wiralodra memiliki kesaktian yang lebih tinggi,
akhirnya Endang Darma mengaku kalah. Sebagai
tandanya, ia akan terus membantu Wiralodra untuk
mengambangkan pemukiman Cimanuk menjadi sebuah
kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.
Kemudian Endang Darma mengajukan syarat
kepada Wiralodra agar mau menamai daerah tersebut
berdasarkan namanya. Wiralodra pun merestuinya,
asal Endang Darma dapat terus membantunya dalam
mengembangkan kerajaan.

Kabar telah berdiri kerajaan di lembah sungai
Cimanuk pun akhirnya sampai juga pada kerajaan
Cirebon. Sultan Cirebon merasa dihina, karena ada
sebagian wilayahnya yang dicaplok oleh Wiralodra.
Itulah sebabnya Cirebon segera mengirimkan pasukan

yang dipimpin oleh Aria Kemuning ke daerah Cimanuk.
Maksudnya untuk memberi pelajaran pada Wiralodra.
Tiba di Cimanuk, tentu saja WIralodra telah
menyiapkan penduduknya yang dipimpin oleh Endang
Darma untuk menghadapi pasukan Cirebon tersebut.
Pertempuran pun terjadi dan keunggulan berpihak pada
pasukan Endang Darma. Pasukan Cirebon kocar-kacir
kewalahan menghadapi amukan penduduk Cimanuk.
Setalah kejadian pertempuran itu, kemudian
Wiralodra memberi nama pada kerajaannya Darma
Ayu. Alasannya sebagai bentuk penghargaan pada
Endang Darma yang telah berhasil mengalahkan
pasukan Cirebon dan mempertahankan kekuasannya di
Cimanuk. Nama Darma Ayu diambil dari ungkapan
Endang Darma anu ayu, yang berarti Endang Darma
yang cantik (ayu). Tanda bahwa Wiralodra memuji
kecantikan, kesaktian, dan menepati janjinya pada
Endang Darma.

Semakin hari kampung Darma Ayu pun semakin
berkembang pesat. Banyak pendatang dari kerajaan

lain dan langsung menetap di perkampungan tersebut.
Bahkan banyak pula pendatang dari kerajaan Mataram.
Seiring waktu, nama kampung Darma Ayu pun berubah
menjadi Indramayu, mengikuti logat bahasa penduduk
setempat yang bercampur antara penduduk asli dengan
pendatang dari kerajaan Mataram, yang mereka sebut
sebagai bahasa dermayuan atau dermayon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine