Kamis, 03 Juli 2014

Pendidikan Karakter

Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup, tumbuh dan berkembang pada zaman (masa) yang berbeda denganmu. (Ali bin Abi Thalib ra)

Pendahuluan

“Raih prestasi, junjung tinggi budi pekerti”. Inilah motto pendidikan karakter sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Departemen Pendidikan (dan Kebudayaan) beberapa tahun lalu. Motto tersebut mengandung konsekuensi bahwa seluruh bentuk penyelenggaraan pendidikan di tanah air tercinta sebagaimana telah diatur melalui Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, mesti dilandasi dan berorientasi pada pembentukan karakter segenap unsur pendidikan terkait. Di sisi lain, pendidikan karakter dimaksud melingkupi dua unsur utama yaitu prestasi dan budi pekerti. Artinya, proses pendidikan yang dilaksanakan mesti menghasilkan output berupa capaian prestasi yang mumpuni serta dibarengi dengan implementasi nilai-nilai luhur budi pekerti (baca : moral) itu sendiri pada setiap tahapan (satuan) pendidikan formal maupun non formal yang dilalui.

Substansi

Mengacu kepada jargon pendidikan karakter di atas, sedikitnya ada dua muatan substantif yang menjadi target utama penyelenggaraan pendidikan karakter pada setiap tahapan (satuan) pendidikan formal maupun non formal yang ada di tengah-tengah masyarakat, yaitu:

Pertama, prestasi. Prestasi barangkali identik dengan capaian optimal yang diperoleh atas segenap usaha dan upaya maksimal yang diraih melalui proses  belajar dan latihan yang terencana dan berulang-ulang. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa  prestasi tersebut sudah barang tentu tidak akan datang dengan sendirinya atau bukan pemberian gratis. Melainkan harus digapai melalui kerja keras, cerdas, ikhlas, tuntas dan mawas. Sebagaimana peribahasa latin: ora et labora. Prestasi diraih dengan kesungguhan kerja dan doa.

Kedua, budi pekerti. Budi pekerti biasa disebut juga moral atau akhlaq dalam Bahasa Arab, yang secara inheren melekat erat pada tabiat, perilaku atau kebiasaan hidup manusia setiap hari. Budi pekerti dan juga budi bahasa, merupakan dua unsur simbolik yang secara umum biasanya dijadikan parameter untuk penilaian kepribadian seseorang (termasuk tentunya adalah kepribadian segenap unsur terkait pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan tersebut).
Tahapan
Berikut ini adalah beberapa tahapan pembentukan karakter pribadi unggul dalam kerangka mendukung terlaksananya jargon pendidikan karakter di atas.

Pengenalan. Tak kenal, maka tak sayang. Demikianlah peribahasa telah mengajarkan kepada kita akan arti pentingnya “pengenalan” terhadap sesuatu setelah terlebih dahulu diawali dengan proses pemberitahuan. Dari tahu, kemudian kenal, selanjutnya diharapkan akan tumbuh perasaan cinta (sayang) yang medalam.  Dimana tanda cinta yang dimaksud secara simbolik diekspresikan melalui sense of belonging (rasa memiliki) yang kuat terhadap apa yang dicintai melalui pengenalan yang baik itu.

Ketika perasaan memiliki terhadap sesuatu telah bersatu padu di dalam jiwa, biasanya akan lahir sense of responsibility (rasa tanggung jawab) serta sikap rela berkorban terhadap sesuatu yang dicintainya itu. Prosesi pengenalan yang benar dan tepat terhadap urgensi, bentuk hingga hitam-putih karakteristik manusia akan mengantarkan setiap pribadi yang terlibat di dalam proses pendidikan menjadi  manusia yang berdedikasi tinggi.

Pembiasaan. “Alah bisa karena biasa” atau “Ketek taraja-raja, gadang tabawo-bawo”. Kedua peribahasa tersebut mengandung makna bahwa untuk melakukan sesuatu (karakter) yang baru perlu proses pembiasaan dan pengulangan secara sinergis dan proporsional. Pembiasaan dan pengulangan terhadap suatu (karakter) tersebut seyogyanya dapat dimulai sedari dini dan dari hal-hal yang kecil dan sederhana.

Tempat yang paling mudah dan efektif untuk mentransfer prosesi pembiasaan ini tentunya adalah keluarga. Setelah itu, lingkungan di sekitar keluarga. Asumsinya adalah karena di lingkungan keluarga, seluruh anggota kelurga dapat bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi secara dekat dan intensif.  Sehingga pada akhirnya diharapkan akan terbentuk zona nyaman untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang positi, kreatif  dan berdayaguna.

Keteladanan. Ada peribahasa bijak yang berbunyi, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga”. Atau, “Seandainya guru kencing berdiri, maka murid akan kencing sambil berlari”. Keteladanan ibarat cermin yang jujur, transparan dan apa adanya. Biasanya, identifikasi diri seseorang dihadapan cermin selalu persis sama, walaupun secara ilmu fisika bayangan yang terbetuk dalam posisi maya (semu atau berkebalikan). Keteladanan dalam hal pembentukan karakter sejatinya bersifat generatif pada siklus mata rantai keturunan secara biologis. Hal ini berarti bahwa karakter utama yang menjadi ciri khas perilaku (tabiat) personal dalam satu generasi dapat dikatakan relatif sama dan sebangun.

Penghargaan dan sanksi. Ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting dan saling melengkapi. Penghargaan dalam bentuk apapun (asal bermanfaat dan membangun), dapat diberikan sebagai bentuk apresiasi positif atas konsistensi dan kontinuitas seseorang dalam mengimplementasikan karakter-karakter nan indah-menawan. Sebaliknya, sanksi diberikan sebagai simbol apresiasi negatif terhadap perilaku menyimpang yang melanggar aturan normatif Agama, pendidikan  dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan adanya penghargaan dan sanksi tersebut, diharapkan akan muncul, tumbuh dan berkembang pribadi-pribadi tangguh yang senantiasa siap dan sigap untuk melakukan amal kebajikan yang merupakan simbol utama karakter positif. Di sisi lain, pemberlakuan penghargaan dan sanksi ini pula dapat mendorong setiap pribadi manusia untuk menjauhi perilaku buruk (apapun namanya), yang merupakan simbol karakter negatif.

Implementasi
Dalam perspektif Pendidikan Islam, tahapan dan implementasi pendidikan karakter tersebut mesti diwujudkan dengan berlandaskan kepada Aqidah dan norma-norma yang bersumber dari Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah saw. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bagi setiap pribadi Muslim sesungguhnya adalah suatu keniscayaan sekaligus merupakan solusi yang tepat untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cemerlang intelektualnya, kuat keimanannya, mulia akhlak budinya serta memiliki keterampilan yang mumpuni.

Penutup
Bila prosesi pembetukan karakter tersebut berjalan secara benar, proporsional dan kontinyu di tengah-tengah masyarakat, maka kita boleh berharap dengan sepenuh keyakinan bahwa ke depan akan muncul generasi penerus yang tangguh dan siap beradaptasi dalam menghadapi dan mengelola perkembangan tantangan zaman. Suatu generasi berkualitas yang mampu secara tegas dan meyakinkan menyatakan,  “Inilah Kami!” Wallahu a’lam bish shawwab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/05/49022/pendidikan-karakter/#ixzz36O9MtL6Y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine