Selasa, 02 Juli 2013

Mengenang Permainan Anak Tempo Doeloe



Suatu ketika temen saya berkunjung kerumah, dia datang bersama anak dan istrinya. Setelah lama berbincang-bincang dia pamitan akan pulang. Tetapi seketika saja hujan turun, dan akhirnya melanjutkan percakapan kembali. Waktu itu anaknya minta ijin untuk hujam-hujanan, tentu dilarangnya karena kondisi tidak mendukung. Dari hal tersebut beralihlah tema obrolan yang ada, yakni masalah permainan disaat kecil tempo dulu.
“Dulu, saya waktu kecil kalau hujan-hujanan itu seneng banget ya, perasaan ada kepuasan tersendiri, mana gak pakai baju lagi” ujarnya. Lantas, saya sendiri pun meng-iyakan pernyataannya, karena hal tersebut dialami persis sewaktu saya kecil. Dengan sedikit imbuhan dari saya, “makanya kalau dia pengen hujan-hujanan ijinin aja kalau sesekali mah, biar punya cerita sewaktu besar nanti, asal awasi saja dan jangan keseringan” sambil menunjuk ke arah anaknya.
“Iya perasaan bangga banget kayaknya” imbuhnya lagi. Lalu saya menceritakan permainan-permainan yang ada waktu dulu khususnya yang ada di tatar pasundan karena teman saya itu berasal dari daerah yang berbeda, yang saya rasa sudah tidak ada lagi sekarang, kalau pun ada mungkin hanya dipelosok-pelosok desa saja. Permainan anak-anak tempo doeloe, yang sering juga disebut “kaulinan barudak urang lembur” (permainan anak orang desa), boleh dikata tidak dikenal lagi oleh anak-anak Bandung zaman sekarang.
Anak-anak sekarang hampir semuanya sudah terbius oleh permainan elektronik, yang pada umumnya dimainkan di dalam ruangan/rumah. Karena adanya kemajuan teknologi permainan anak-anak dan komputer serta berkurangnya lahan terbuka telah mengubah pola bermain anak-anak sekarang. Padahal permainan anak-anak tempo doeloe kaya akan unsur imajinasi, kerja sama, dan pertemanan berpotensi untuk membentuk kepedulian sosial, interaksi sosial, kepekaan sosial, dan kecerdasan bagi sang anakmenjelang usia dewasa. Di sisi lain, mainan atau permainan elektronik, termasuk yang dimainkan dengan komputer, cenderung hanya meningkatkan kemampuan motorik sang anak. Permainan semacam itu berpotensi untuk menumbuhkan sifat-sifat eksklusif, tertutup, dan individualistis ia anak-anak. Adapun yang termasuk permainan tempo dulu itu diantaranya :
Jajangkungan
Permainan Jajangkungan dimainkan dengan sepasang tongkat atau galah, yang terbuat dari kayu atau bambu. Tumpuan untuk pijakan kaki dibuat pada ketinggian 30 – 60 cm dari ujung bawah tongkat. Beberapa orang pemain dapat serentak memainkannya bersama-sama. Permainan ini biasa digabungkan dengan jenis permainan lain, seperti adu lari atau sepak bola. Ada kalanya, penilaian hanya pada adu ketahanan berjalan di atas jajangkungan sambil saling menendang kaki jajangkungan lawan bermain. Pemain yang terjatuh dinyatakan kalah.
Paciwit-ciwit Lutung
Permainan ini dilakukan oleh 3-4 orang anak, baik anak perempuan maupun lelaki. Setiap pemain berusaha saling mendahului mencubit (nyiwit) punggung tangan di urutan teratas sambil melantunkan kawih (nyanyian): Paciwit-ciwit lutung, Si Lutung pindah ka tungtung, Paciwit-ciwit lutung, Si Lutung pindah ka tungtung. Pada umumnya, tidak ada pihak yang dinyatakan menang atau kalah. Jadi, jenis permainan ini semata-mata dilakukan hanya untuk bersenang-senang dan mengisi waktu pada malam terang bulan.
Gatrik
Permainan dimainkan oleh dua orang atau dua regu yang beranggotakan beberapa orang. Alat yang dimainkan adalah tongkat pemukul terbuat dari kayu dan potongan kayu sepanjang seperempat tongkat pemukul, yang biasa disebut “anak gatrik”. Anak gatrik diletakkan di lubang miring dan sempit dengan setengah panjangnya menyembul di permukaan tanah. Ujung anak gatrik dipukul dengan tongkat pemukul. Anak gatrik kembali dipukul sejauh-jauhnya ketika terlontar ke udara. Bila anak gatrik tertangkap lawan, pemain dinyatakan kalah. Bila tidak tertangkap, jarak antara lubang dan tempat jatuhnya dihitung untukmenentukan pemenangnya.
Perepet Jengkol (gambar paling atas)
Permainan ini dilakukan oleh 3-4 anak perempuan atau lelaki. Pemain berdiri saling membelakangi, berpegangan tangan, dan salah satu kaki saling berkaitan di arah belakang. Dengan berdiri dengan sebelah kaki, pemain harus menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh, sambil bergerak berputar ke arah kiri atau kanan menuruti aba-aba si “dalang”, yang bertepuk tangan sambil melantunkan kawih.
Perepet jengkol jajahean.., Kadempet kohkol jejeretean…
Tidak ada pihak yang dinyatakan menang atau kalah dalam permainan ini. Jadi, jenis permainan ini hanya dimainkan untuk bersenang-senang pada saat terang bulan.
Oray-orayan
Permainan ini dimainkan beberapa anak perempuan maupun lelaki di lapangan terbuka. Para pemain saling memegang ujung baju bagian belakang teman didepannya untuk membentuk barisan panjang. Pemain terdepan berusaha menangkap pemain yang paling belakang yang akan menghindar, sehingga barisan bergerak-meliuk-liuk seperti ular, tetapi barisan itu tidak boleh terputus. Sambil bermain, pemain melantunkan kawih. Oray-orayan luar leor ka sawah …, Tong ka sawah parena keur sedeng beukah Oray-orayan luar leor ka kebon …, Tong ka kebon aya barudak keur ngangon.
Sondah
Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak perempuan. Pola gambar berbentuk kotak-kotak berpalang dibuat di tanah. Setiap pemain memegang sepotong pecahan genteng atau batu pipih, yang kemudian dilemparkan ke dalam kotak permainan. Pemain melompat-Iompat dari kotak ke kotak berikutnya. Kotak yang berisi pecahan genting tidak boleh diinjak. Pemain dinyatakan kalah jika menginjak garis kotak atau bagian luar kotak. Pemain pertama disebut mi-hiji, kedua mi-dua, ketiga mi-tilu, dan seterusnya. Itulah yang merupakan sebagian permainan dari sekian banyak permainan yang ada tempo dulu, yang sekarang tidak kelihatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine