Kamis, 02 November 2017

Ingin Lebih Bahagia? Belilah Pengalaman Bukan Barang ..

Bergembira di pantai

Anda pasti sudah sering mendengar petuah yang mengatakan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Kini, menurut para peneliti, kalimat itu benar setelah mereka mendapati bahwa pengalaman lebih membuat seseorang bahagia daripada memiliki barang-barang.

Memang tidak salah, uang bisa membuat Anda lebih gembira. Tapi sebatas itu saja. Bila kebutuhan pokok Anda sudah terpenuhi, maka memiliki lebih banyak uang tidak akan meningkatkan kebahagiaan secara signifikan.

Oleh karenanya yang harus dilakukan agar lebih bahagia bukan mencari lebih banyak uang, namun bagaimana menggunakannya untuk mendapatkan kebahagiaan lebih.

Cara yang keliru

Banyak orang mengira menginvestasikan uang dalam bentuk barang adalah cara yang tepat. Alasannya, barang akan lebih awet daripada sebuah pengalaman yang berlangsung sebentar saja. Dengan memiliki barang, orang mengira kebahagiaannya juga akan lebih awet.

Meski demikian, para psikolog dan sosiolog justru menemukan hubungan antara materialisme atau kesukaan memiliki barang-barang, dengan narsisme alias kecenderungan untuk pamer, kegelisahan sosial, dan ketidakbahagiaan hidup.

Bila Anda membeli sebuah barang baru, itu akan membuat Anda gembira. Kita semua merasakan hal itu. Namun dengan berjalannya waktu, kesenangan itu memudar, dan Anda akan segera ingin berbelanja lagi untuk menghadirkan kegembiraan baru.

“Kita membeli barang untuk membuat kita senang, dan kita mendapatkannya. Namun hanya untuk sementara. Barang baru memang menyenangkan pada awalnya, namun setelah kita terbiasa, ia tidak akan terlalu menarik lagi,” ujar Dr. Thomas Gilovich, psikolog dari Cornell University yang meneliti hubungan antara uang dengan kebahagiaan selama dua dekade.


Gilovich menyebutkan itu dalam artikel tahun 2016 yang berjudul: “Want Happiness? Buy Experiences, Not Things”, yang diterbitkan di laman Fakultas Psikologi Universitas Cornell.

Study lain di tahun 2014 juga menemukan bahwa saat kita fokus pada apa yang kita inginkan daripada apa yang kita miliki membuat kita kurang menghargai apa yang sudah ada di sekitar kita. Ditemukan bahwa partisipan yang lebih materialistis selalu lebih merasa kekurangan dan memiliki tingkat kepuasan atau rasa syukur yang rendah.

Cara yang benar

Nah ketika harta tidak menjamin kebahagiaan, lalu apa yang harus dilakukan? Di sinilah kita membutuhkan pengalaman atau aktivitas yang menggembirakan.

Mendaki gunung

Riset Dr Gilovich menemukan bahwa tingkat kebahagiaan yang didapat dari membeli barang baru memang sepadan dengan uang yang digunakan untuk bepergian dan mendapat pengalaman. Namun kenangan perjalanan dan kegembiraan saat kita mengingat pengalaman itu akan bertahan jauh lebih lama. 

Kita tetap akan merasa memiliki pengalaman itu, beda dibanding saat membeli barang di mana kita segera melupakannya.

Berbagi pengalaman dan cerita juga akan membuat kita terhubung lebih banyak dengan orang lain. Bayangkan saja, kita umumnya akan merasa lebih terhubung dengan orang yang bepergian bersama dengan kita dibanding dengan orang yang membeli barang yang sama dengan yang kita beli.

Kita juga akan merasa lebih nyaman bercerita atau membandingkan pengalaman kita dengan orang lain, daripada membandingkan barang yang kita miliki dengan punya orang lain.

“Pengalaman akan lebih melekat dalam diri kita dibanding barang-barang material,” ujar Gilovich. “Kita mungkin saja sungguh menyukai sebuah barang.

Kita bahkan bisa menjadikannya sebagai bagian dari identitas kita. Namun barang itu tetap terpisah dari Anda. Sebaliknya, pengalaman akan menjadi bagian diri Anda selamanya. Kita adalah rangkuman dari apa yang kita lewati.”

Oleh karenanya, alih-alih berbelanja untuk mendapat kesenangan, lebih baik carilah aktivitas dan pengalaman. Traveling, mencoba berbagai kuliner, pergi ke berbagai tempat, mengendarai berbagai jenis transportasi, menikmati seni atau keindahan alam, akan membuat Anda jauh lebih bahagia.


PenulisWisnubrata
EditorWisnubrata
SumberDMarge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine