Selasa, 01 Oktober 2013

Daun dan Kerendahan Hati

Di pulau Madura hiduplah seorang Ibu yang sudah tua, dengan kondisi ekonomi yang minim. Ibu tua ini sehari-hari mencukupkan kebutuhannya dengan berjualan bunga. Beberapa bulan belakangan, Ibu tua ini setiap siang ketika waktu sholat dzuhur datang ke masjid Agung. Selesai menunaikan sholat di masjid, dia keluar dan memungut satu per satu daun daun yang jatuh di halaman masjid dan membuangnya di tempat sampah. Meskipun kelihatan lelah karena sangat terik dan harus membungkukkan badannya yang kurus, namun Ibu ini saja melakukannya. Kejadian ini sudah berlangsung sekitar satu minggu lamanya.
 Pengurus masjid Agung memperhatikan apa yang dikerjakan Ibu tua tersebut. Mereka kasihan dan kemudian berunding bersama. Pengurus masjid memutuskan supaya petugas yang membersihkan halaman masjid menyapu halaman masjid sampai bersih sebelum Ibu tua itu datang. Ya, halaman masjid harus bersih sehingga tidak ada satu daun pun yang tercecer di halaman.
Suatu hari, setelah selesai sholat dzuhur Ibu tua menuju halaman masjid dan dia terkejut karena melihat halaman masjid sudah bersih. Tidak nampak satu daun pun tercecer di halaman. Ibu ini terlihat kecewa dan kemudian pulang. Keesokan harinya pun demikian. Melihat halaman masjid yang sudah bersih  Ibu ini pun sedih dan pulang. Hari ketiga, pengurus masjid sengaja menunggu Ibu tua ini. Setelah selesai sholat dzuhur dia memandang halaman masjid yang bersih. Kali ini dia menangis.
Seorang ulama di masjid Agung tersebut menghampiri Ibu tersebut. ”Ibu mengapa menangis?”, tanya ulama masjid. ”Kenapa halaman masjid ini sudah bersih? Saya kesini ingin memunguti daun daun yang jatuh di halaman,” jawab Ibu sambil sesenggukan. ”Kami memang menyuruh petugas kebersihan masjid untuk menyapu halaman sebelum Ibu datang, sehingga Ibu tidak perlu lagi memunguti daun daun tersebut. Ibu sudah tua, tidak selayaknya Ibu melakukannya. Biarlah petugas kebersihan yang melakukannya, Bu,” jawab ulama dengan pelan.
Namun Ibu ini malah menangis lebih keras. ”Kenapa Ibu menangis?,” tanya ulama dengan heran. Ibu itu diajaknya masuk ke dalam masjid. ”Pak, saya ingin menceritakan rahasia, tapi ada 2 syarat. Pertama, Bapak tidak boleh menceritakan kepada siapapun apa yang akan saya katakan ini. Kedua, Bapak boleh menceritakan hal ini ketika saya sudah meninggal.” ”Baiklah, saya akan penuhi syarat Ibu,” jawab ulama tersebut dengan berat hati.
Keesokan harinya, petugas kebersihan masjid dilarang menyapu halaman sebelum Ibu tua itu datang. Dan ketika Ibu tua datang dan menyelesaikan sholat dzuhur-nya, dia pun kembali memunguti daun daun dan membuangnya di tempat sampah. Kejadian ini terus menerus dilakukan selama tiga bulan tanpa pernah luput satu hari pun. Dan kemudian terdengar berita Ibu tua ini meninggal dunia.
Ulama masjid Agung yang pernah mendatangi Ibu tua itu pun memenuhi janjinya. Dia menceritakan kepada jamaah di masjid itu tentang rahasia yang disampaikan Ibu tua itu tiga bulan lalu. Ternyata, Ibu tua yang sudah sakit-sakitan itu merasa hidupnya tidak ada lama lagi. Meskipun hidup miskin, namun Ibu tua ini tidak lupa bersyukur atas kehidupan yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Sambil memungut daun daun yang jatuh, Ibu ini memanjatkan syukur dan memohonkan doa untuk keluarga dan saudara-saudaranya. Satu daun yang dipungutnya mewakili ucapan syukur dan doa pemohonan. Demikian ucapan syukur dan doa dipanjatkan sampai daun yang tercecer di halaman habis tidak tersisa. Ibu ini memilih melakukan pekerjaan yang nampaknya bodoh dan hina, namun menghasilkan kepuasan tersediri ketika melihat halaman masjid menjadi bersih karena pekerjaan tangannya sendiri. Setiap selesai memunguti daun, ia merasa tenang dan memiliki hati penuh syukur. Ia merendahkan dirinya karena sangat mengagumi kebesaran dan kerahiman Tuhan atas kehidupannya, meskipun dengan kehidupannya yang sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine