Senin, 05 September 2016

Islam Minoritas, Warisan Kemiskinan, dan Etos Hidup Muslim Indonesia ..

Warga memanfaatkan air bersih di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (9/5).  (Republika/Yasin Habibi)
Warga memanfaatkan air bersih di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara,

Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Ada hal yang menarik ketika Sri Mulyani comeback untuk memberi kuliah umum di Universitas Indonesia, 27 Juli lalu. Kala itu, Sri belum berstatus Menteri Keuangan, melainkan direktur Bank Dunia.

Dalam ceramahnya, alumni Ilmu Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi UI angkatan 1986 menyinggung soal ketimpangan di Indonesia. Ya, ini semua soal jurang antara si kaya dan miskin di Indonesia.

Sebuah jurang nasib yang semakin menganga akibat tak meratanya ekonomi di negeri kita. Yang kaya semakin kaya dan sejahtera. Sedangkan yang miskin semakin menderita.

Bayangkan saja, pada 2003, ukuran ketidakmerataan ekonomi di Indonesia berada pada koefisien 30 persen. Angka ini semakin meroket pada 2014 menjadi 41 persen.

Dalam tulisan ini, saya tak ingin terlalu jauh membahas hitung-hitungan di balik ketidakmerataan ekonomi. Saya hanya ingin fokus membahas siapakah si kaya dan si miskin di Indonesia.

Siapakah yang disebut miskin di Indonesia? Berbicara soal orang miskin, kita tentu berbicara soal 28,51 juta jiwa anak bangsa. Mereka ini hanya mampu hidup dengan penghasilan sekitar Rp 10 ribu per hari.

Kalau kita pakai ukuran yang lebih ketat soal standar kemiskinan, kita akan mendapati jumlah yang jauh lebih besar. Jika tolok ukur kemiskinan adalah orang dengan penghasilan di bawah dua dolar AS per hari, maka total ada sekitar 50 persen dari penduduk Indonesia yang berstatus miskin.

Mari kita tepikan perdebatan soal standar kemiskinan. Lantas siapakah mereka yang termasuk 28,51 juta jiwa masyarakat miskin ini?

Umumnya, mereka yang disebut miskin ini berasal dari pedesaan. Jika ditotal dari persentase, wilayah Indonesia Timur menjadi yang tertinggi. Namun persentase ini sebanding dengan populasi Indonesia Timur yang tak terlalu besar.

Sehingga jika dihitung secara nominal, tetaplah orang miskin mayoritas tinggal di Pulau Jawa. Hal itu cukup masuk akal mengingat sekitar 60 persen dari total populasi Indonesia berada di Pulau Jawa.

Selain orang miskin yang mayoritas adalah masyarakat asli Jawa, kita juga bisa mengkaji lebih jauh profil mengenai si miskin ini. Mereka yang miskin umumnya tingkat pendidikannya rendah. Umumnya tamatan SD.

Jika dilihat dari jenis agama, si miskin di Indonesia mayoritas beragama Islam. Namun hal ini lagi-lagi merupakan fakta yang rasional mengingat hampir 90 persen dari populasi Indonesia beragama Islam. Jadi tak menjadi hal yang aneh jika masyarakat muslim Jawa yang hidup di pedesaan mendominasi komposisi si miskin di Indonesia.

Tapi celakanya, banyak orang miskin yang justru sudah menyandang status miskin sebagai warisan. Seperti yang dikatakan Sri Mulyani dalam pidatonya di UI, anak yang terlahir dari keluarga miskin mayoritas mewariskan kemiskinan orang tuanya.

Banyak alasan mengapa kemiskinan menjadi sebuah hal yang turun temurun di negeri ini. Kondisi ini bisa menjadi catatan kritis tersendiri bagi pemerintah. Sebab negara masih belum optimal dalam membuat kebijakan pemerataan. Kebijakan ekonomi pun masih sangat pro pemegang modal.

Ini seperti kebijakan tex amnesty bagi si kaya. Sedangkan subsidi bagi orang miskin semakin dikebiri.

Perbedaan kebijakan pemerintah juga bisa dilihat dari si kaya yang diberi izin reklamasi. Sedangkan si miskin malah terus tertindas oleh kebijakan penggusuran di sana-sini. Segala kondisi yang sistemik ini akhirnya membuat si miskin sulit beranjak dari kemiskinannya.

Yang menarik justru apabila kita membahas mengenai kondisi si kaya di Indonesia. Memang ada beberapa jenis klasifikasi orang kaya. Mulai dari klasifikasi pendapatan 100 ribu dolar AS maupun di atas 1 juta dolar AS.

Secara total, jumlah orang kaya ini kurang dari 1 persen total populasi. Bahkan orang yang punya pendapatan di atas 1 juta dolar AS hanya ada 123 ribu orang, atau 0,4 persen dari total populasi Indonesia.

Secara angka, jumlahnya memang sangat sedikit. Tapi si kaya yang sangat sedikit inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini.

Bandingkan dengan kemiskinan yang seakan merata dengan jumlah 28 juta jiwa. Sementara untuk menjadi orang kaya seakan butuh seleksi alam super ketat. Sehingga hanya seratus ribu saja yang beruntung mendapatkan harta melimpah di Indonesia.

Salah satu klasifikasi orang kaya di Indonesia adalah mereka yang selama ini hidup di kota. Mereka pula yang punya tingkat pendidikan tinggi. Rata-rata tamatan SMA ke atas. Mayoritas si kaya pun berasal dari keluarga yang sudah bertabur harta.

Kalau dilihat dari asal suku, mayoritas dari orang kaya di Indonesia ini adalah warga keturunan. Sedangkan dalam kategori agama, orang Islam Indonesia tak sedominan saat mendominasi kategori miskin. Faktanya sembilan dari 10 orang terkaya di Indonesia bukan pemeluk Islam.

Fakta di atas tentu menjadi kritikan tersendiri bagi umat Islam di Indonesia. Kritik mengenai sejauh mana etos kerja umat Islam di Indonesia.

Di tengah jumlahnya yang mayoritas, Islam justru minoritas di sektor ekonomi. Situasi ini tentu bukan menjadi kesalahan kelompok tertentu yang kini mendominasi.

Sebab kelompok yang kini mendominasi ekonomi di Indonesia tentu bisa seperti sekarang ini karena berusaha keras. Butuh keringat dan air mata hingga 123 ribu orang itu mampu menyandang status si kaya di Indonesia.

Sebuah status yang tentu bukan jatuh dari langit. Status yang juga bukan merupakan sebuah kejahatan, melainkan hasil pengorbanan.

Lihat pula perbandingan sekolah berkualitas yang ada di Indonesia. Walau minoritas, kalangan non muslim nyatanya lebih banyak yang berinvestasi dalam membangun sekolah atau universitas berkualitas.

Segala investasi panjang ini yang kini membuahkan hasil bagi kelompok minoritas. Sehingga tak ada alasan buat kelompok lain untuk iri dengan menjadikan alasan SARA sebagai tameng atas ketidakmampuannya.

Sebaliknya, kenyataan bahwa Islam menjadi minoritas di negeri ini dari sisi ekonomi justru patut menjadi pelecut. Mengeluh, memaki, hingga menjadikan isu SARA sebagai biang keladi, tentu hanya tidakan orang-orang cengeng. Tindakan yang justru membuktikan mengapa mereka tak bisa menjadi bagian dari 123 ribu orang sukses di Indonesia.

Sebaliknya, fakta soal si kaya dan miskin ini justru harus jadi motivasi. Sebab mayoritas secara jumlah jadi tak ada artinya jika semua hanya berpangku tangan dengan etos hidup yang pas-pasan. Sebab lebih baik menjadi minoritas secara jumlah, tapi punya semangat hidup yang pantang menyerah. Sehingga akhirnya si minoritas pun punya pengaruh yang mayoritas.

Ah, kalau sudah begini saya agak setuju dengan penggalan lirik lagu Greenday. "I want to be the minority......"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine