Sabtu, 10 Juni 2017

Mendidik "Khalifah", karena Manusia Bukan Sekadar Manusia ..

Dunia dan segala isinya tidak dimandatkan kepada Pegunungan Himalaya atau Samudera Pasifik, namun kepada mahluk yang tak berdaya, bahkan belum dapat langsung berjalan pada saat dilahirkan.

Tidak seperti bayi ikan paus yang dapat langsung berenang ataupun bayi kuda yang langsung tegak kakinya dan berjalan sesaat setelah dilahirkan. Bumi dan segala isinya dimandatkan kepada kita, manusia! Mengapa?
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dalam bentuk yang sebaik-baiknya." – (QS.95:4).”
Itu diperkuat lagi dengan surat selanjutnya.

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al Baqarah :30).

Sejatinya, manusialah satu-satunya mahluk yang punya kemampuan gerak ke mana dan di ruang mana saja, baik itu darat, laut maupun udara.

Manusia dianugerahi potensi dan kemampuan eksplorasi, dan kemampuan jelajah, dan kemampuan menjadi frontier. Itulah fitrah manusia yang hakiki.

Fitrah yang menjadikan manusia-manusia sebagai "khalifah". Di situlah letak kemuliaan manusia sebagai mahluk-Nya.

Bukan sekadar manusia

Basyar, Insan dan An-nas. Dalam bahasa Indonesia, tiga kosa kata itu diartikan sebagai manusia. Namun, Al Quran membedakan ketiga istilah itu untuk menggambarkan manusia secara sangat komprehensif dan menyeluruh.

Basyar dari akar kata yang berarti penampakan sesuatu yang baik dan indah. Secara umum  hal itu menggambarkan manusia sebagai sesuatu yang tampak, biologis, dan physical!

An-Nas lebih menekankan kepada arti manusia dalam perspektif mahluk sosial dan interaksinya. Adapun Insan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah diartikan sebagai harmonis, tampak, lemah lembut, dinamis, pelupa atau dalam bahasa Inggris diartikan sebagai human.

Secara komprehensif al insan dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki kemampuan menalar, berpikir dan merasa. Namun, juga terkadang khilaf.

Al insan menggambarkan manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Kata insan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat paling tinggi, yaitu khalifah di muka bumi!

Mendidik khalifah
Fitrah sebagai khalifah menyiratkan pentingnya jiwa eksploratif, kritis tanpa batas. Untuk itu, seyogianya sistem pengembangan human capital dan pendidikan yang islami dapat mendorong siswa didik untuk berpikir merdeka, kritis, inovatif, dan terbuka. Pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia!
Pendidikan seharusnya memberi kemerdekaan untuk mengartikulasikan keinginan, ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan terkadang norma sekalipun.

Pendidikan khalifatullah memberi ruang untuk berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi, berinovasi dan mengambil risiko. Yakni, pendidikan yang akan bermuara pada penemuan baru dan pemikiran frontier!
Jiwa frontier adalah jiwa yang selalu melihat ke depan. Ini adalah karakter seorang khalifah.

Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan yang melahirkan para rahadian, yaitu manusia-manusia unggul dan menang atau seperti dalam Pustaka Wedha Sasangka disebut kompetitif.

Pendidikan khalifatullah bukan pendidikan kerdil yang menghasilkan manusia berkarakter firaun dan berkarakter iblis, yang terus menerus "merusak" bumi dan isinya. Bukan hanya merusak secara fisik, namun juga secara tatanan nilai dan ideologi.

Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan yang "mengkapitalisasi" ruh Ilahi, potensi ilahi yang ada dalam manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh-Nya. Ruh inilah yang akan menghasilkan bukan saja manusia terpelajar dan terdidik, namun juga tercerahkan (enlightened)

Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka buka saja kaum terpelajar, namun juga kaum tercerahkan.

Mereka beruntung dapat berguru dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide "gila" dan nyeleneh. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan adalah buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik seperti merea. Pendidikan yang mencetak para khalifah.

Sang rahadian, sang prabu

Program National Human Development seyogianya merupakan grand design yang berorientasi pada pembentukan khalifah-khalifah.

Kitabullah seharusnya menjadi dasar dari segala dasar penyusunan sistem pendidikan nasional, yang di dalamnya jelas-jelas menyampaikan bahwa tidak hanya edukasi kognitif semata namun juga pentingnya pengembangan kapasitas yang dibutuhkan di era kompetisi global ini.

Kapasitas apa yang dimaksud? Yaitu kemampuan berkolaborasi dan berinteraksi dalam lingkungan multi kultur. Pendidikan yang output-nya adalah manusia yang peka dengan potensinya dan cepat membaca dinamika serta perubahan eksternal. Manusia yang dapat mengharmonisasikan antara kemampuan, kepekaan dan kesadaran menjadi kebijaksanaan (wisdom).

Bonus demografi yang konon puncaknya akan kita nikmati pada 2030 tidak akan berarti apa-apa tanpa didominasi manusia Indonesia dengan kualifikasi khalifah. Manusia yang berilmu, terampil, berperilaku baik dan bijak, –knowledge, skills, attitude dan wisdom: sang rahadian, sang prabu, sang khalifah.

Karena, pada akhirnya penyembahan yang sempurna dari seorang manusia kepada penciptanya adalah menjadikan dirinya sebagai mandataris Allah SWT di muka bumi dalam mengelola alam semesta. Sang khalifah!

 KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine