Senin, 05 Januari 2015

Konsep Nafkah dalam Rumah Tangga

Sample Image
Assalamu'alaikum
Ustadzah, sebenarnya bagaimana konsep nafkah dalam Islam? Saya sudah lama tidak diberi nafkah oleh suami yang bekerja di sebuah perusahaan. Untungnya saya membuka usaha toko sembako yang saya kelola sendiri, labanya saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak.
Memang, saat membangun usaha, separuh modalnya dari suami, sisanya uang saya. Namun di kemudian hari, modal yang telah diberikan itu dijadikan alasan suami untuk tidak memberi nafkah.
Saat saya menanyakannya, suami malah menyerang balik, “Apa nafkah itu artinya sesuatu yang harus dikasih tiap bulan? Kan, sudah dikasih modal usaha.” Saya bingung dengan kondisi ini, mohon pencerahannya, Ustadzah. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum
ti GARUT
Wa'alaikumussalam
Rina yang dirahmati Allah, Islam mewajibkan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan memberi nafkah istrinya selama ikatan suami istri masih berlangsung dan istri tidak durhaka terhadap suami. Kewajiban menafkahi ini berdasarkan:
1.Surat Ath-Thalaq ayat 7, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”      
2.An-Nisa ayat 5, “Berikanlah kepada mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu...
3.Al-Baqarah ayat 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang makruf.
4.Sabda Rasulullah saw, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah di dalam urusan perempuan karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Kamu telah menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah, mereka berhak mendapatkan nafkah dari kamu dan pakaian dengan cara yang makruf,” (HR Muslim)
Ulama sepakat, sebagaimana yang disampaikan Ibnu Qudamah, bahwa memberi nafkah kepada istri adalah kewajiban suami kecuali jika istri menolak (mengikhlaskan diri tidak dinafkahi suami) atau istri berbuat durhaka sehingga suami tidak berkewajiban menafkahinya.
Lalu bagaimana kadar nafkah yang diwajibkan bagi para suami kepada istrinya? Para fuqaha berbeda pandangan. Mazhab Maliki berpandangan, besar nafkah dilihat dari kondisi istrinya, sedangkan menurut mazhab Hanafi dan Syafi'i harus dilihat dari kondisi ekonomi suami. Dalam mazhab Hambali, besar nafkah ditentukan menurut kondisi kedua suami istri tersebut.
Namun mereka bersepakat bahwa ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang makruf (patut dan wajar). Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membatasi, yang wajib adalah yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dan itu tergantung pada kondisi suami dan istri tersebut.
Jika ada perselisihan dalam hal ini, maka hakimlah yang memutuskannya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Ukuran yang makruf tersebut adalah ukuran standar bagi setiap orang dengan memperhatikan kebiasaan yang berlaku—berbeda menurut zaman, tempat, dan keadaan individu. Ketika seorang suami tidak memberikan nafkah yang telah menjadi kewajibannya, maka Islam mengizinkan kepada orang yang berhak menerima nafkah itu (istri) mengambil apa yang mencukupi keperluannya.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i, Aisyah ra menjelaskan bahwa Hindun bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) seorang laki-laki yang kikir, dia tidak memberikan kepadaku apa yang menjadi keperluanku dan anakku dalam kehidupan sehari-hari kecuali aku mengambil sendiri dari hartanya tanpa sepengetahuannya.”
Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi keperluan kamu dan anak kamu dengan cara yang makruf (wajar/patut).”
Dalam hadits ini Rasulullah membenarkan tindakan istri yang mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya, dengan ukuran yang makruf, yaitu yang wajar dan sekiranya cukup untuk kebutuhan sehari-hari—tentu saja kecukupan itu berbeda-beda menurut perbedaan kondisi suami dan istri.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan, nafkah itu boleh ditentukan misalnya dengan makanan, lauk pauk, pakaian atau berupa barang-barang tertentu. Juga boleh ditentukan dengan sejumlah uang sebagai ganti dari harga barang-barang yang diperlukan istri. Diberikannya pun boleh tahunan, bulanan, mingguan atau harian, dengan kelapangan suami.
Jika suami tak mau memberi nafkah yang menjadi tanggungannya tanpa alasan yang benar, ia dianggap berutang kepada istrinya, kecuali istri mengikhlaskan dan membebaskan utang suaminya.
Dalam masalah yang saudari Rina alami ini, terjadi perbedaan persepsi terhadap modal usaha, suami menganggap separuh modal usaha yang ia berikan adalah nafkah yang menjadi tanggungannya. Ini bisa diselesaikan dengan musyawarah untuk mencari titik temu dan kesepakatan bersama.
Yang penting adalah menyamakan persepsi terhadap tujuan berumah tangga antara Anda dan suami. Seperti, visi misi berkeluarga, pendidikan anak-anak yang diinginkan, dan apakah keluarga yang dibentuk ini juga menginginkan bersama-sama kelak dikumpulkan di surga-Nya. Jika semua sepakat, maka masalah ekonomi bisa dikompromikan.
Uang yang selama ini Anda keluarkan untuk membiayai keluarga, yang sebenarnya bukan kewajiban Anda, merupakan infak Anda dan tentu saja Anda mendapat pahala dari Allah swt. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine