“Mulai sekarang, aku ga
minta uang sama umi dan abi lagi…. Insya Allah aku bisa biayai
kebutuhanku sendiri….” Ucapan itu keluar dari bibir anakku, remaja
berusia 18 thn yang baru lulus smk th 2010.
Yah
bagi orang lain mungkin kalimat itu terdengar biasa, tetapi bagi aku,
ibu yang mengandung dan melahirkannya, mengasuh dan membesarkannya,
kalimat itu menjadi sangat bermakna dan sangat istimewa.
Kurang Percaya Diri
Teringat aku akan masa kecilnya yang kesepian karena kami tinggal di
sebuah rumah yang terletak di tengah kebun kosong di ujung tanah yang
menanjak. Tak punya tetangga, hingga anak ku hanya bermain dengan
belalang, kadal dan kucing. Tak ada teman seusia yang bisa mengajaknya
bermain setiap hari. Hanya saat-saat tertentu saja jika kami berkunjung
ke rumah sanak family barulah dia bisa bertemu dengan saudara
saudaranya. Maka sampai saat ini anakku agak sulit menjalin hubungan
social dengan orang baru, apalagi di lingkungan baru.
Masa
kecilnya juga sering sakit-sakitan. Pencernaannya kekurangan enzim
hingga tidak bisa menyerap lemak dan gula. Sudah berbagai terapi dan
pengobatan kami coba, sampai ke dokter super spesialis gastro entrologi
Prof. Dr Suharyono. Sekali konsultasi bisa memakan sepertiga gaji
ayahnya. Tak heran anak ini bertubuh kurus tinggi. Dengan segala
kekurangan itu anakku tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah.
Sebagai
orang tua, tentu semua menginginkan anaknya tumbuh sehat cerdas dan
berprestasi. Segala obsesi orang tua yang tak kesampaian kita sandangkan
kepundak anak. Siapa sih orang tua yang tak ingin anaknya cerdas,
matematikanya hebat, bahasa Inggrisnya mantap, tahfizh Qur’annya
canggih. Tapi tolong… lihat lagi dengan cermat, apakah anak kita mampu
mengemban segala obsesi dan harapan orang tuanya yang seabreg itu…?
Tanpa kita pernah bertanya dan mengamati, apa bakat dan hobinya?
Aku
juga mengalami hal ini. Aku sedih melihat nilai matematika anakku yang
jeblok, nilai bahasa Inggrisnya merah, nilai IPA nya ambrol. Tiap hari
aku menemani dan mengajarkan anakku pelajaran sekolah. Buku-buku
pelajarannya aku baca, aku ringkas, aku buat menjadi catatan-catatan
kecil. Ku bacakan di depan anakku sambil mengajaknya bermain. Hasilnya
tidak terlalu menggembirakan.
Tidak naik kelas
Kelas
lima SD anakku terancam tidak naik ke kelas enam karena nilai raportnya
yang berangka merah lebih dari tiga mata pelajaran. Dalam rapat guru
untuk menentukan kenaikan kelas tiap siswa, yang dihadiri oleh semua
guru termasuk aku karena aku mengajar di sekolah tersebut, aku lihat
wali kelasnya tidak berusaha membelanya sedikitpun, tidak adakah sisi
positif dari anakku hingga bisa memberinya nilai lebih untuk memberinya
kesempatan merasakan duduk di kelas enam? Satu-satunya guru yang membela
anakku hanyalah guru agama. Dia mengatakan anakku berakhlak baik, tidak
ada catatan kenakalan sama-sekali. Namun pembelaan ini tidak membawa
hasil karena sang walikelas sudah tertutup hatinya untuk anakku. Sang
Wali kelas memutuskan anakku tidak naik kelas.
Yah… itu yang ku
alami sendiri di depan mataku, aku berusaha obyektif aku tak hendak
membela anakku, aku tak bersuara dalam rapat itu, namun hatiku
bergemuruh .
Harus ada alternative lain untuk anakku, tinggal
kelas bukan satu-satunya jalan. Aku aku khawatir kepercayaan dirinya
makin runtuh jika anakku tak naik kelas. Apalagi prestasi adiknya
berbanding terbalik dengan dirinya.
Di sekolah yang sama adiknya
jadi juara di kelasnya. Ku akui memang beberapa mata pelajaran dia
lemah, tetapi bukan berarti anakku tak punya kelebihan, bukan berarti ia
tak punya masa depan.
Akhirnya setelah
berkonsultasi dengan keluarga aku menghadap kepala sekolah, aku
ceritakan kondisi anakku dengan sedetilnya, sikap mindernya, tentang
latar belakang masa kecilnya, tentang beberapa potensinya.Alhamdulillah
kepala sekolah memenuhi harapanku. Jika dipaksakan anakku naik ke kelas
enam, memang akan sangat memberatkannya, karena harus banyak mengejar
ketertinggalan, padahal di SDIT dengan kurikulum yang padat dan waktu
belajar full day, anakku akan kelelahan. Tak sanggup lagi dia ikut les
remedial, karena setiap hari berangkat sebelum jam tujuh pagi dan pulang
menjelang maghrib. Anak usia SD menghabiskan waktu untuk sekolah lebih
dari 10jam termasuk jarak tempuh dari dan ke sekolah, melebihi orang
dewasa bekerja yang hanya 8 jam.
Harus ku akui, tidak semua anak
cocok bersekolah di SDIT. Dari peristiwa ini aku mengambil pelajaran,
anakku harus dikurangi bebannya. Jika dia sekolah di SD negeri, dia akan
punya banyak waktu untuk les remedial karena waktu belajarnya hanya
setengah hari, maka sore dia bisa les untuk mengejar pelajaran yang
tertinggal. Kepala sekolah merekomendasikan anakku bisa naik ke kelas
enam dengan syarat pindah ke sekolah Negeri.
Lulus tes masuk SMP Negeri
Di
SD Negeri Alhamdulillah anakku bisa lulus dengan nilai cukup baik, aku
memintanya mencoba ikut tes masuk SMP Negeri sekedar untuk mengetahui
prestasi belajarnya jika dibanding anak lain dari berbagai sekolah.
Ternyata hasilnya baik. Dia diterima di SMP 17, namun tidak kami ambil
karena kami sudah memutuskan anakku masuk pesantren untuk membekalinya
dengan agama yang memadai. Kami telah memilih pesantren yang tidak
terlalu banyak muridnya agar tiap santri dapat terpantau prestasi
akademiknya dan mendapat perhatian secara individual dan maksimal oleh
guru-gurunya.
Di pesanten menjelang kelas tiga pada umumnya
anak-anak mengalami stress,karena UN benar-benar menjadi momok yang
menakutkan. Demikian pula dengan anakku, dia ingin pindah sekolah
seperti dulu waktu kelas lima di SDIT pindah ke SD Negeri pada waktu
kelas enam. Aku berkonsultasi dengan para guru, wali kelas, wali asrama,
dan kepala sekolah. Wali kelas nya menyerahkan dua buku tulis penuh
dengan gambar goresan tangan anakku yang mirip komik. Ni bu… siap
terbit…” seloroh wali kelasnya. Rupanya disela-sela aktifitas pesantren
dia menuangkan kreatifitasnya di atas buku tulis itu.
Sebenarnya
aku sudah melihat bakat ini sejak di SD, namun karena aku sibuk
mengajarkan mata pelajaran yang tertinggal, maka bakat gambar ini kurang
tergali ditambah lagi rasa percaya diri anakku sangat rendah, jadilah
bakat itu hanya berkembang seadanya.
Aku melihat dan menemukan
kecerdasan anakku. Dia harus dimasukkan ke sekolah yang mengutamakan
pengembangan skill menggambar, bukan saint , bukan hafalan. Ku bisikkan
ke telinga anakku:
”Sayang… Ummi akan carikan sekolah yang tepat
sesuai bakatmu, walaupun harus di luar kota Balajarlah dengan tekun dan
tenang untuk persiapan UN, sesudah lulus SMP kamu akan bersekolah sesuai
dengan bakatmu, tidak ada lagi momok matematika yang menyeramkan, IPA
yang menyebalkan.”
Setelah pencarian selama enam bulan, akhirnya aku menemukan sekolah yang pas untuk anakku SMK ANIMASI di DEPOK.
Alhamdulillah dia sangat bersemangat. Perlahan lahan rasa kepercayaan
dirinya mulai tumbuh. Terlebih saat kelas tiga dia terpilih mewakili
sekolah umtuk ikut lomba uji kompetensi yang diadakan oleh Diknas se
Kota Depok . Karyanya mengangkat tema tentang kesenjangan social antara
si miskin dan si kaya di negeri ini, dalam bentuk gambar animasi. Hasil
karyanya mendapat juara pertama. Alhamdulillah… kami sangat bersyukur
dan bangga. Anakku yang saat kelas lima SD divonis tidak naik kelas oleh
wali kelasnya, kini tampil mengharumkan nama sekolah, membanggakan wali
kelas, para guru, kepala sekolah dan tentu saja aku… ibu kandungnya.
Wajahnya
terpampang di Koran MONITOR DEPOK, wartawan sengaja datang ke
sekolahnya untuk mengapresiasi hasil karya dan prestasinya.
Atas
prestasi tersebut dia mewakili kota Depok untuk lomba yang sama di
tingkat propinsi Jawa Barat. Di sini dia menggondol juara tiga.
Alhamdulillah
dari prestasi ini dan fortofolio selama dia mengenyam pendidikan di SMK
Animasi, anakku bisa diterima magang bekerja di sebuah perusahaan
iklan. Bersamaan dengan itu, dia kuliah di BSI jurusan ADVERTISING.
Selama
magang dia sering merasa frustasi karena hasil karyanya /gambarnya
selalu dikritik oleh atasannya. Aku terus memberinya semangat, ku
katakan: “Bos mu itu sangat baik,… Beliau sedang memberimu pelajaran
berharga, mendidik mentalmu agar tidak cepat puas dengan hasil karyamu,
Beliau sedang menggali potensimu dan mendulang mutiara yang terkubur di
dalam dirimu. Seraplah semua ilmu yang ada pada diri atasanmu, karena di
sanalah kampusmu yang sebenarnya. Kampus yang akan mencetakmu menjadi
apa yang kamu inginkan, yaitu menjadi seorang ANIMATOR handal.
Bekerja di Production Hause
Setelah tujuh bulan magang anakku diangkat menjadi pegawai dan
mendapatkan honor, namun itu ada imbal baliknya, dia harus membayarnya
dengan menghabiskan waktunya di kantor bekerja lebih giat dan tekun
bahkan sering harus begadang dan menginap di kantor.
Yah…
anakku yang kutilang (kurus tinggi langsing) yang terseok- seok masa
SD-nya kini tampil percaya diri. Dia mulai menyusun mozaiknya sendiri,
menyempurnakan mozaik yang telah kususun bersama nya.
Dia
berobsesi akan memiliki perusahaan periklanan yang dapat memproduksi
iklan berkarakter dan dapat membuka lapangan kerja bagi teman-temannya.
Sekarang hampir tak ada waktu baginya untuk bermain dan berenang-senang
seperti remaja seusianya.Kesibukan antara kerja dan kuliah
menyebabkannya jarang pulang. Kadang aku baru bertemu dengannya setelah
tiga hari.
Sambil berseloroh saya katakan kepadanya “Rumah
pertamamu di kantor, karena tiap hari kamu kerja dan tidur di sana,
rumah kedua di kampus karena 4-7 jam kamu belajar di sana dan rumah
ketigamu di sini bersama umi, abi dan adik-adikmu karena hanya tiga hari
sekali kamu singgahi.
“Dalam usia 18 tahun kamu sudah punya mimpi jadi pengusaha. Ummi bangga padamu”.
Aku
terus belajar untuk menjadi orang tua, dari seminar, buku, bertanya
kepada siapa saja terutama menggali dari orang yang lebih berpengalaman
menjadi orang tua. Karena tidak pernah ada sekolah /pendidikan dengan
jurusan yang menelurkan lulusannya dengan gelar “menjadi orang tua
teladan” .
Setiap penggalan kehidupan anak adalah
bagian dari kepingan mozaik, yang jika disusun dengan cermat akan
menjadi lukisan yang indah. Setiap orang tua berperan besar menentukan
desain kepingan mozaik itu, demikian juga lingkungan tempat dia
dibesarkan. Maka kenalilah karakter dan bakat anak –anak kita supaya
kita bisa mengarahkan dan membimbingnya menjadi mutiara –mutiara indah
yang memancarkan kilau cahayanya.
Setiap anak adalah unik, biarkan
dia menjadi dirinya sendiri. Allah menganugerahkan berbagai kecerdasan
dan bakat yang berbeda pada setiap anak.
Menurut pakar pendidikan ada Sembilan kecerdasan, setiap anak memiliki
minimal
lebih dari dua kecerdasan bahkan lebih . Tugas orang tualah untuk
menemukan aneka bakat dan kecerdasan itu untuk di asah , diarahkan dan
dibimbing supaya muncul dan berkembang memancarkan kilaunya.
Sebagian
besar anak seusianya masih bingung .. kemana arah cita-citanya? Akan
jadi apa kelak? Bahkan dengan nilai UN yang tinggi sekalipun, banyak
anak yang gamang. Namun Hari ini aku menyaksikan kemantapan anakku
menyusun langkah masa depannya. Kariernya membentang di depan mata.
Dalam usia remaja dia sudah bisa mandiri. Kuliah dengan biaya sendiri.
Punya sepeda motor hasil keringat sendiri, punya laptop untuk menunjang
kreatifitasnya seharga Rp 11juta, hasil jerih payahnya. Bahkan dia masih
bisa bantu biaya sekolah adik-adiknya, bantu belanja dapur ibunya.
Sekarang
kepercayaan dirinya makin kuat, makin banyak relasi yang bisa dibangun,
makin banyak job yang dia dapat. Ada desain cover buku, Lay out buku,
Video Bumper untuk bahan presentasi perusahan, Profil perusahaan dan
lain-lain.
Padahal usia SD dia terancam tak naik kelas,
penyakitan, minder, pemalu. Hari ini dia jadi kebanggaan orang tuanya,
kesayangan adik-adiknya.
Ya Allah… sujud ku takkan cukup untuk mengungkap rasa syukurku.
Pelajaran/ Hikmah yang dapat dipetik:
1.Jangan Bunuh Mimpi Anak- Anak Kita
Sering
kali anak berceloteh tentang mimpi/imajinasinya, lalu kita orang dewasa
di lingkungan anak tersebut ( bisa orang tua/guru/teman)meremehkan
cita-citanya.
Misalnya seorang anak bermimpi akan menjadi seorang
direktur utama sebuah hotel berbintang terkenal. Dia ceritakan mimpinya
itu kepada semua orang yang ditemuinya. Sayang tidak ada yang menanggapi
dengan positif ceritanya itu.
”Khayalanmu terlalu tinggi tidak
berkaca pada diri sendiri” begitu biasanya orang berkomentar. Anak itu
jadi putus asa karena orang-orang di sekitarnya telah membunuh mimpinya.
“Bersikaplah realistis! siapa dirimu? Dari mana asalmu?” ejek teman-teman nya. Anak itupun frustasi dan mengubur mimpinya.
(lepas SMA, kembali anak itu bertekad menyusun mimpinya, dari Mesir dia
merantau ke Canada mengambil kuliah perhotelan sambil bekerja di
restoran sebagai pencuci piring, setelah beberapa tahun melewati ujian
dan cobaan, dia berhasil meraih mimpinya jadi direktur hotel bintang
lima. Setelah sukses dia menuliskan pengalamannya dan menerbitkan
bukunya yang juga sukses hingga diterjemahkan ke 5 bahasa. Dia pun
sukses menjadi seorang motifator dunia. Dialah Ibrahim EL Fiki)
Tanpa
sadar kita telah membunuh imajinasi anak, seharusnya kita menanggapinya
dengan positif, kita hargai mimpinya dengan membuka wawasannya tentang
hal-hal yang terkait dengan mimpinya itu. Karena itu adalah bagian dari
mozaik indah yang sedang disusunnya. Kita bantu carikan sekolah/
pelatihan yang menunjang kearah tercapainya mimpi tersebut, kita kawal
dan dampingi saat dia menghadapi berbagai kendala dan kesulitan, karena
di situ kita sedang bersama-sama menyusun mozaiknya. Sampai suatu jalan
kesuksesan terbentang di hadapannya, saat itulah dia menyempurnakan
mozaiknya dan menunjukkan keindahannya kepada dunia.
2. Setiap anak adalah Unik, kenali dan asah bakatnya
Jangan
sama ratakan perlakuan kepada setiap anak. Karena mereka punya
kecenderungan dan bakat yang berbeda. Kadang bagi kita orang tua sering
merasa paling tahu tentang anak kita. Atau kita mengambil keputusan
untuk menyekolahkannya dengan sudut pandang orang tua. Bahkan
mengenyampingkan suara hati anak.
Anak juga jangan terlalu
dibebani dengan segala obsesi dan cita-cita orang tua yang belum
kesampaian. Jangan terlalu dibebani dengan aneka les tambahan, sehingga
merengut waktu bermain anak.
Ada kisah nyata seorang ustazd
memasukkan anaknya di pesantren tempat dia dulu mengenyam pendidikan.
Anak tersebut tidak mampu dan tidak mau bersekolah di tempat tersebut.
Namun suara anak ini tidak pernah didengar sang ayah. Akhirnya anak
tersebut protes dengan caranya sendiri. Dia sering bolos sekolah ,
berusaha kabur dari pesantren dan sebagainya. Akhirnya anak itu tidak
menjadi seperti yang diharapkan orang tuanya, juga tidak menjadi dirinya
sendiri. Waktu terbuang demikian lama, biaya terbuang demikian besar,
anak itu jadi kuli panggul di pasar.
3. Tidak semua anak cocok untuk bersekolah Full Day
Hanya
anak yang punya kesehatan fisik dan kecerdasan akademis yang mampu
untuk masuk sekolah Full Day. Untuk anak tertentu yang sering
sakit-sakitan, prestasi akademiknya kurang memadai sebaiknya dimasukkan
ke sekolah yang tidak terlalu berat beban kurikulumnya.
Jangan
karena alas an sekalian dengan kakak adiknya, biar mudah antar jemputnya
menyebabkan orang tua memasukkan semua anak ke sekolah yang sama.
4. Kenali bakat dan kecenderungan anak
Ini
sangat penting, karena akan menjadi titik awal perjalanan karier dan
kesuksesan mereka di masa depan. Jika anak memiliki kecerdasan diatas
rata-rata. Sering jadi juara kelas, itu sih harapan semua orang tua dan
seolah menjalani masa depan seperti jalan tol.
(Untuk para orang
tua, mari kenali bakat anak kita dan susunlah mozaik bersamanya, anak
adalah mutiara yang terpendam gali dan asahlah lah, agar mutiara itu
memancarkan kilaunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar