Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap
keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali
dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia
kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku
mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw. segera memandang
kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).
Bahkan
dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan
beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika
Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak
Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya.
Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat
bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab
Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Peristiwa itu
bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin
Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang
shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain.
Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau
kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan
sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat
anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang
bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat,
orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara
dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira
telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’
Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi,
tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka
menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai
dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).
Usamah bin Zaid
ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw.
“Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan
meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami
berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena
sesungguhnya aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab,
hadits nomor 5544).
Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada
anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk
memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik
bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan
kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang
dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk
kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang
kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana
orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah
menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih
jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk
dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang
buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya
mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua
itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu
berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas
orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun
dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit
hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang),
dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau
datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka
kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk
kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw.
sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak
kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama
kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu
Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah
saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru
yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang
dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang)
menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani
Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk).
Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi
kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila
kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan
bermakna menghinakan dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi
lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah
bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu
faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya
dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir
bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah
binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal
itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui
Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku.
Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini
kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw.
berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada
anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.”
(HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak
kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan
rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik,
kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak
cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu
bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah
pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya.
Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala
birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas
kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi;
Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir,
dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab
Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat
seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa
sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka,
melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling
bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari
lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu
menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak
terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan
putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang
itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu
menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah!
Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu.
Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan
menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang
tuanya.
Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada
syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah
ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina.
Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya
yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak
ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan
bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah
memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik
dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala
kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah
untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini
diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan
latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan
pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan
untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah
pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan
bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk
umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk
kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan,
sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu
adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika
ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di
surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan
shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang
baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun,
dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh
tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah,
tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain
memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang
berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin,
tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya
melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah,
hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar