“Kenapa ya, setiap acara seperti ini pasti yang datang ibu-ibu
lagi, bapak-bapaknya nggak ada. Padahal ibu-ibu kan sudah sering ikut
acara ini. Kita-kita sih sudah tahu, sudah ngerti kewajiban-kewajiban
kita. Bapak-bapaknya dong di dauroh -ikut pelatihan- juga, biar
seimbang”
“Ustadz, subhanallah, materinya bagus sekali.
Kerjasama suami istri dalam membina rumah tangga dan pendidikan anak
memang sangat penting. Usul kita ustadz, bagaimana kalau para suami kita
juga ikut diberikan materi seperti ini?”
Kita pasti pernah
mendengar komentar seperti di atas. Memang belum pernah dilakukan
penelitian secara khusus, tapi dari pengamatan saya, acara-acara tentang
pembinaan keluarga dan pendidikan anak kelihatannya lebih sering
ditujukan, diminati dan dihadiri oleh kaum perempuan. Pernah juga ada
pihak yang membuat acara serupa dengan membuka peserta untuk umum, baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi agaknya tidak mendapat cukup respon
dari kaum laki-laki sehingga tetap saja mayoritas peserta adalah
kalangan perempuan.
Jarang sekali acara tentang pembinaan keluarga
samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) atau tentang pendidikan anak penuh
sesak oleh bapak-bapak. Ada juga sih bapak-bapak yang hadir, tapi
biasanya jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dan fenomena ini hampir
merata terjadi di semua wilayah dakwah. Terlepas dari kesibukan kaum
bapak sehingga tidak sempat menghadiri acara-acara itu, atau kurang
piawainya pihak penyelenggara dalam mengemas acara menjadi menarik, saya
ingin menyoroti persoalan itu dari sisi lain.
Kita tentu sepakat
bahwa persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak bukan hanya
menjadi kepentingan akhawat dan ummahat. Terlebih dua persoalan ini
merupakan salah satu indikator penting kesuksesan dakwah. Karena
suksesnya dakwah bukan hanya ditandai dengan munculnya figur-figur
pribadi istimewa, tetapi juga tampilnya keluarga-keluarga sebagai
keluarga yang layak menjadi qudwah –teladan-.
Terkait persoalan
ini, menjadi menarik untuk menggali mengapa kaum bapak cenderung lebih
‘diam, kalem, tenang’, sehingga terkesan ‘kurang peduli’ terhadap
persoalan rumah tangga, dibanding kaum ibu.
Sharing saya dengan seorang teman, ternyata ada perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam hal ini:
1. Rata-rata lelaki begitu menghadapi masalah dalam kehidupannya,
cenderung meringankan beban dengan cara diam. Maka, dalam dunia
psikologi dikenal ada “siklus diam” pada lelaki. Sedangkan pada kaum
perempuan, begitu ada masalah, cenderung meringankan beban dengan jalan
menceritakan masalah kepada orang lain.
2. Rata-rata lelaki memiliki “batas ambang rasa aman terhadap masalah” yang lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan.
Itulah sebabnya –mungkin–, di lembaga-lembaga konsultasi keluarga umumnya, yang lebih sering datang adalah kaum perempuan.
Itulah sebabnya –mungkin–, dalam suatu forum atau majelis kaum bapak,
tidak banyak dibicarakan persoalan keluarga, berbeda dengan majelis atau
forum kaum ibu.
Itulah sebabnya –mungkin–, acara-acara yang
membahas persoalan keluarga seperti daurah, seminar, atau acara sejenis,
lebih banyak dihadiri kaum perempuan.
Kalau tidak percaya,
tanyakan kepada bapak-bapak dalam suatu halaqah atau majelis: “Adakah
masalah dalam rumah tangga antum yang ingin didialogkan ?” Sebagian
besar jawabannya adalah diam, atau menjawab, “Tidak ada. Kami bisa atasi
sendiri”. Respon ini berbeda dengan rata-rata majelis para ibu.
Nah,
jika kita memahami persoalan ini, di satu sisi, kita para istri tak
perlu gundah jika suami sedang berada pada ‘siklus diam’nya, tidak
berbicara, karena, hal itu bukan berarti suami kita tidak peduli dengan
persoalan rumah tangga, tapi justru sedang berusaha meringankan
bebannya. Yang penting, siklus diamnya tak berlarut-larut kan?
Namun
disisi lain, sebaiknya kita juga tidak terjebak pada fenomena ini. Saya
pikir, justru kita perlu mencari formula yang tepat dan melegakan
untuk ‘mengajak para bapak berbicara’, dan memberikan pendapatnya
mengenai persoalan rumah tangga, setelah siklus diamnya berakhir.
Baik.
Sekarang, mari kita kembali membahas tentang keterkaitan dakwah dengan
persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak. Kita tahu, dakwah ini
serius melakukan serangkaian kajian-kajian yang berkaitan dengan manhaj
–kurikulum- pembinaan keluarga dan pendidikan anak. Hasilnya?
Serangkaian arahan telah disosialisasikan melalui kegiatan rutin pekanan
kita, mulai dari arahan tentang persiapan menikah, tentang
pernak-pernik pernikahan dan kehidupan rumah tangga, sampai arahan
tentang pendidikan anak.
Di samping itu, masih ingat materi tarbiyah
yang membahas tentang ahdaaf ad da’wah (Sasaran Dakwah)? Sangat jelas
digambarkan dalam materi itu, bahwa dakwah kita memiliki sasaran-sasaran
yang harus dicapai secara bertahap. Ada lima sasaran yang hendak
dicapai oleh dakwah kita, yang antara satu sasaran dengan sasaran
lainnya saling terkait, saling mempengaruhi dan saling menentukan. Jika
sasaran pertama tidak berhasil dicapai, sasaran kedua tidak mungkin
dicapai. Jika sasaran kedua dapat dicapai tapi dalam jangka waktu yang
sangat lambat, maka sasaran ketigapun akan mengalami keterlambatan dalam
pencapaiannya, begitu terjadi seterusnya.
Untuk menyegarkan
kembali ingatan kita akan materi itu, sasaran pertama yang hendak
dicapai dakwah kita adalah binaa’ al-fardi al-muslim (terbentuknya
pribadi muslim). Sasaran berikutnya adalah terbentuknya keluarga muslim
(binaa’ al usrah al muslimah). Dua sasaran ini saling terkait dalam
arti, berhasil atau tidaknya kita membentuk diri kita menjadi
kader-kader yang memiliki kepribadian islami, akan sangat mempengaruhi
dan menentukan pencapaian sasaran kedua, yaitu terbentuknya
keluarga-keluarga islami (dengan segala muwashafat/karakteristiknya).
Begitu pula, keberhasilan pencapaian sasaran kedua ini akan menentukan
keberhasilan pencapaian sasaran ketiga, yaitu binaa’ al mujtama’
al-islami (terbentuknya masyarakat Islam), dan seterusnya. Jadi, jangan
mimpi kita akan memiliki ad-daulah islamiyah dan al-khilafah
al-islamiyah yang merupakan sasaran keempat dan kelima dari dakwah ini,
jika dari sekarang kita tidak memberi perhatian pada pencapaian
sasaran-sasaran sebelumnya.
Jadi, dalam manhaj dakwah, persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak adalah persoalan yang sangat serius.
Tetapi
persoalan membina keluarga dan mendidik anak tentunya tidak boleh hanya
sekedar menjadi program di atas kertas. Yang lebih penting adalah
memposisikan dua hal penting ini sebagai salah satu yang menjadi
prioritas amal. Mengapa? Karena pembinaan keluarga dan pendidikan anak
bukanlah semata terkait dengan amal atau target pribadi. Dalam pandangan
saya, bagi kita kader dakwah, dua hal ini merupakan sebuah misi mulia
yang harus kita laksanakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab
sebagai bentuk kontribusi langsung dan nyata kita dalam rangka mencapai
dan merealisasikan sasaran dakwah!
Mengakhiri tulisan ini, saya
ingin mengajak kita semua, ikhwan dan akhawat, untuk ‘lebih serius lagi’
menata rumah tangga kita, membina keluarga kita, mendidik anak-anak
kita, dengan menambahkan satu semangat…”Ini adalah bagian penting dari
misi, tugas dan kontribusi dakwah kita!” Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar