Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup, tumbuh dan berkembang
pada zaman (masa) yang berbeda denganmu. (Ali bin Abi Thalib ra)
Pendahuluan
“Raih
prestasi, junjung tinggi budi pekerti”. Inilah motto pendidikan
karakter sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Departemen Pendidikan
(dan Kebudayaan) beberapa tahun lalu. Motto tersebut mengandung
konsekuensi bahwa seluruh bentuk penyelenggaraan pendidikan di tanah air
tercinta sebagaimana telah diatur melalui Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang Pendidikan Nasional, mesti dilandasi dan berorientasi pada
pembentukan karakter segenap unsur pendidikan terkait. Di sisi lain,
pendidikan karakter dimaksud melingkupi dua unsur utama yaitu prestasi
dan budi pekerti. Artinya, proses pendidikan yang dilaksanakan mesti
menghasilkan output berupa capaian prestasi yang mumpuni serta
dibarengi dengan implementasi nilai-nilai luhur budi pekerti (baca :
moral) itu sendiri pada setiap tahapan (satuan) pendidikan formal maupun
non formal yang dilalui.
Substansi
Mengacu kepada
jargon pendidikan karakter di atas, sedikitnya ada dua muatan substantif
yang menjadi target utama penyelenggaraan pendidikan karakter pada
setiap tahapan (satuan) pendidikan formal maupun non formal yang ada di
tengah-tengah masyarakat, yaitu:
Pertama, prestasi.
Prestasi barangkali identik dengan capaian optimal yang diperoleh atas
segenap usaha dan upaya maksimal yang diraih melalui proses belajar dan
latihan yang terencana dan berulang-ulang. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa prestasi tersebut sudah barang tentu tidak akan datang
dengan sendirinya atau bukan pemberian gratis. Melainkan harus digapai
melalui kerja keras, cerdas, ikhlas, tuntas dan mawas. Sebagaimana
peribahasa latin: ora et labora. Prestasi diraih dengan kesungguhan kerja dan doa.
Kedua, budi pekerti.
Budi pekerti biasa disebut juga moral atau akhlaq dalam Bahasa Arab,
yang secara inheren melekat erat pada tabiat, perilaku atau kebiasaan
hidup manusia setiap hari. Budi pekerti dan juga budi bahasa, merupakan
dua unsur simbolik yang secara umum biasanya dijadikan parameter untuk
penilaian kepribadian seseorang (termasuk tentunya adalah kepribadian
segenap unsur terkait pihak-pihak yang terlibat di dalam proses
pendidikan tersebut).
Tahapan
Berikut ini adalah
beberapa tahapan pembentukan karakter pribadi unggul dalam kerangka
mendukung terlaksananya jargon pendidikan karakter di atas.
Pengenalan.
Tak kenal, maka tak sayang. Demikianlah peribahasa telah mengajarkan
kepada kita akan arti pentingnya “pengenalan” terhadap sesuatu setelah
terlebih dahulu diawali dengan proses pemberitahuan. Dari tahu, kemudian
kenal, selanjutnya diharapkan akan tumbuh perasaan cinta (sayang) yang
medalam. Dimana tanda cinta yang dimaksud secara simbolik diekspresikan
melalui sense of belonging (rasa memiliki) yang kuat terhadap apa yang dicintai melalui pengenalan yang baik itu.
Ketika perasaan memiliki terhadap sesuatu telah bersatu padu di dalam jiwa, biasanya akan lahir sense of responsibility
(rasa tanggung jawab) serta sikap rela berkorban terhadap sesuatu yang
dicintainya itu. Prosesi pengenalan yang benar dan tepat terhadap
urgensi, bentuk hingga hitam-putih karakteristik manusia akan
mengantarkan setiap pribadi yang terlibat di dalam proses pendidikan
menjadi manusia yang berdedikasi tinggi.
Pembiasaan. “Alah
bisa karena biasa” atau “Ketek taraja-raja, gadang tabawo-bawo”. Kedua
peribahasa tersebut mengandung makna bahwa untuk melakukan sesuatu
(karakter) yang baru perlu proses pembiasaan dan pengulangan secara
sinergis dan proporsional. Pembiasaan dan pengulangan terhadap suatu
(karakter) tersebut seyogyanya dapat dimulai sedari dini dan dari
hal-hal yang kecil dan sederhana.
Tempat yang paling mudah dan
efektif untuk mentransfer prosesi pembiasaan ini tentunya adalah
keluarga. Setelah itu, lingkungan di sekitar keluarga. Asumsinya adalah
karena di lingkungan keluarga, seluruh anggota kelurga dapat bertemu,
berkomunikasi dan berinteraksi secara dekat dan intensif. Sehingga pada
akhirnya diharapkan akan terbentuk zona nyaman untuk melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang positi, kreatif dan berdayaguna.
Keteladanan.
Ada peribahasa bijak yang berbunyi, “Air cucuran atap, jatuhnya ke
pelimbahan juga”. Atau, “Seandainya guru kencing berdiri, maka murid
akan kencing sambil berlari”. Keteladanan ibarat cermin yang jujur,
transparan dan apa adanya. Biasanya, identifikasi diri seseorang
dihadapan cermin selalu persis sama, walaupun secara ilmu fisika
bayangan yang terbetuk dalam posisi maya (semu atau berkebalikan).
Keteladanan dalam hal pembentukan karakter sejatinya bersifat generatif
pada siklus mata rantai keturunan secara biologis. Hal ini berarti bahwa
karakter utama yang menjadi ciri khas perilaku (tabiat) personal dalam
satu generasi dapat dikatakan relatif sama dan sebangun.
Penghargaan dan sanksi.
Ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting dan saling melengkapi.
Penghargaan dalam bentuk apapun (asal bermanfaat dan membangun), dapat
diberikan sebagai bentuk apresiasi positif atas konsistensi dan
kontinuitas seseorang dalam mengimplementasikan karakter-karakter nan
indah-menawan. Sebaliknya, sanksi diberikan sebagai simbol apresiasi
negatif terhadap perilaku menyimpang yang melanggar aturan normatif
Agama, pendidikan dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan adanya
penghargaan dan sanksi tersebut, diharapkan akan muncul, tumbuh dan
berkembang pribadi-pribadi tangguh yang senantiasa siap dan sigap untuk
melakukan amal kebajikan yang merupakan simbol utama karakter positif.
Di sisi lain, pemberlakuan penghargaan dan sanksi ini pula dapat
mendorong setiap pribadi manusia untuk menjauhi perilaku buruk (apapun
namanya), yang merupakan simbol karakter negatif.
Implementasi
Dalam
perspektif Pendidikan Islam, tahapan dan implementasi pendidikan
karakter tersebut mesti diwujudkan dengan berlandaskan kepada Aqidah dan
norma-norma yang bersumber dari Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah
saw. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bagi
setiap pribadi Muslim sesungguhnya adalah suatu keniscayaan sekaligus
merupakan solusi yang tepat untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang cemerlang intelektualnya, kuat keimanannya, mulia akhlak
budinya serta memiliki keterampilan yang mumpuni.
Penutup
Bila
prosesi pembetukan karakter tersebut berjalan secara benar,
proporsional dan kontinyu di tengah-tengah masyarakat, maka kita boleh
berharap dengan sepenuh keyakinan bahwa ke depan akan muncul generasi
penerus yang tangguh dan siap beradaptasi dalam menghadapi dan mengelola
perkembangan tantangan zaman. Suatu generasi berkualitas yang mampu
secara tegas dan meyakinkan menyatakan, “Inilah Kami!” Wallahu a’lam bish shawwab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/05/49022/pendidikan-karakter/#ixzz36O9MtL6Y
Tidak ada komentar:
Posting Komentar