Oleh Imam Nawawi
Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah berkata, Tidak terkalahkan orang yang membawa kebenaran. Ungkapan tersebut merupakan penegasan bahwa siapa saja dari kalangan umat Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap kebenaran tidak akan pernah terkalahkan oleh apa dan siapa pun. Bahkan, kemuliaan terus mengharumkan dirinya sepanjang kehidupan manusia dari zaman ke zaman.
Demikianlah kehidupan para nabi dan rasul. Sekalipun di antara nabi dan rasul yang Allah utus ada yang terbunuh dan dianiaya oleh kaumnya, nama mereka tetap berkibar harum penuh kebanggaan sepanjang sejarah umat manusia.
Lantas, apa kebenaran itu? Imam Syafi'i berkata, Setiap orang yang berbicara berdasarkan Alquran dan sunah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada Alquran dan sunah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan.
Sebab, orang yang menentang kebenaran telah mati mata hatinya. Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashoidisy Syaithan menjelaskan, Hati hidup dan sehat hanya apabila ia mengetahui, menghendaki, dan mengutamakan kebenaran.
Rasulullah memberikan keteladanan jiwa kesatria dalam memegang kebenaran. Kala ditawari beragam kemewahan dunia agar ada kompromi dalam masalah kebenaran, beliau berkata, Sekiranya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan perkara (kebenaran Islam) ini, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku akan binasa karenanya.
Demikianlah tekat dan komitmen Rasulullah terhadap kebenaran yang diyakininya. Beliau tidak pernah bergeser satu senti pun, apalagi sampai mundur ke belakang hanya karena penentang kebenaran yang terlihat besar, kuat, dan hebat. Dalam hatinya menyala-nyala keyakinan bahwa dalam keteguhan hati memegang kebenaran, Allah yang akan memberikan pertolongan.
Sehingga, apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan datanglah kepada rasul itu pertolongan Kami (QS Yusuf [12]: 110). Demikianlah yang dialami oleh Nabi Nuh. Saat umatnya sudah keterlaluan dan tidak lagi ada daya untuk memenangkan kebenaran, beliau pun berdoa kepada Allah.
Maka dia mengadu kepada Tuhannya: 'Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan. Oleh sebab itu, menangkanlah (aku). Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan', (QS al-Qamar [54]: 10-12).
Saat itu pemegang kebenaran Allah menangkan dan mereka yang menentangnya ditenggelamkan seluruhnya tanpa sisa dengan sangat hina. Oleh karena itu, amat merugi siapa pun dari umat Islam yang mengetahui kebenaran lalu meninggalkannya demi kesenangan dunia.
Sayyidina Ali berkata, Manusia yang paling merugi adalah manusia yang mampu mengatakan yang benar, tapi ia tidak mengatakannya. Padahal, yang benar itu jelas dan yang batil juga jelas.
Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah berkata, Tidak terkalahkan orang yang membawa kebenaran. Ungkapan tersebut merupakan penegasan bahwa siapa saja dari kalangan umat Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap kebenaran tidak akan pernah terkalahkan oleh apa dan siapa pun. Bahkan, kemuliaan terus mengharumkan dirinya sepanjang kehidupan manusia dari zaman ke zaman.
Demikianlah kehidupan para nabi dan rasul. Sekalipun di antara nabi dan rasul yang Allah utus ada yang terbunuh dan dianiaya oleh kaumnya, nama mereka tetap berkibar harum penuh kebanggaan sepanjang sejarah umat manusia.
Lantas, apa kebenaran itu? Imam Syafi'i berkata, Setiap orang yang berbicara berdasarkan Alquran dan sunah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada Alquran dan sunah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan.
Sebab, orang yang menentang kebenaran telah mati mata hatinya. Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashoidisy Syaithan menjelaskan, Hati hidup dan sehat hanya apabila ia mengetahui, menghendaki, dan mengutamakan kebenaran.
Rasulullah memberikan keteladanan jiwa kesatria dalam memegang kebenaran. Kala ditawari beragam kemewahan dunia agar ada kompromi dalam masalah kebenaran, beliau berkata, Sekiranya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan perkara (kebenaran Islam) ini, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku akan binasa karenanya.
Demikianlah tekat dan komitmen Rasulullah terhadap kebenaran yang diyakininya. Beliau tidak pernah bergeser satu senti pun, apalagi sampai mundur ke belakang hanya karena penentang kebenaran yang terlihat besar, kuat, dan hebat. Dalam hatinya menyala-nyala keyakinan bahwa dalam keteguhan hati memegang kebenaran, Allah yang akan memberikan pertolongan.
Sehingga, apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan datanglah kepada rasul itu pertolongan Kami (QS Yusuf [12]: 110). Demikianlah yang dialami oleh Nabi Nuh. Saat umatnya sudah keterlaluan dan tidak lagi ada daya untuk memenangkan kebenaran, beliau pun berdoa kepada Allah.
Maka dia mengadu kepada Tuhannya: 'Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan. Oleh sebab itu, menangkanlah (aku). Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan', (QS al-Qamar [54]: 10-12).
Saat itu pemegang kebenaran Allah menangkan dan mereka yang menentangnya ditenggelamkan seluruhnya tanpa sisa dengan sangat hina. Oleh karena itu, amat merugi siapa pun dari umat Islam yang mengetahui kebenaran lalu meninggalkannya demi kesenangan dunia.
Sayyidina Ali berkata, Manusia yang paling merugi adalah manusia yang mampu mengatakan yang benar, tapi ia tidak mengatakannya. Padahal, yang benar itu jelas dan yang batil juga jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar