Oleh M Zaid WahyudiKarena nila setitik,
rusak susu sebelanga. Hanya karena satu masalah yang dianggap tak patut
atau berbeda dengan pandangan masyarakat, sirna sudah semua kebaikan
yang dimiliki seseorang.
Sosok yang sebelumnya dimuliakan
tiba-tiba menjadi pribadi yang dianggap hina. Ditinggalkan raganya,
diabaikan keberadaannya, bahkan direndahkan harkatnya.
Hal itu
dialami sejumlah tokoh yang dikenal sebagai figur yang mempromosikan
nilai-nilai moral dan kemuliaan jiwa di masyarakat. Mudahnya masyarakat
mengagumi dan mengagungkannya, semudah itu pula mereka meninggalkannya.
Sebagaimana
diberitakan sejumlah media massa, kasus terbaru ialah masalah yang
dihadapi seorang motivator terkemuka. Kasus serupa pernah dialami
seorang penceramah agama kondang saat berpoligami. Demikian pula kondisi
sejumlah orang yang mengaku sebagai guru spiritual.
Masyarakat
Indonesia ialah masyarakat emotif. Cara berpikirnya amat didominasi
perasaan. Mereka cenderung enggan menalar atau mengolah informasi
memakai akal karena proses itu rumit dan melelahkan bagi otak. Mereka
lebih suka menerima sesuatu yang menyenangkan saja bagi dirinya.
"Akibatnya,
mereka cepat menilai dan membuat kesimpulan. Pengambilan keputusan tak
didasari penilaian lengkap dan valid," kata Kepala Pusat Studi Otak dan
Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Kamis
(15/9).
Dominannya emosi membuat bagian otak yang jadi pusat pengatur emosi
atau limbik membajak korteks prefronal, bagian otak pengendali proses
berpikir rasional.
Cara berpikir itu membuat penilaian atas moral
didasari atas apakah penilaian itu memuaskan atau tidak bagi dirinya,
bukan soal benar atau salah. Paparan media sosial yang amat besar kian
membuat orang malas mengklarifikasi informasi yang beredar. Padahal,
pengecekan informasi itu bisa dilakukan dari telepon seluler yang sama,
yang digunakan untuk menjelajahi media sosial.
Psikolog sosial
yang khusus meneliti relasi sosial dari Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Avin Fadilla Helmi, menjelaskan, masyarakat
Indonesia, sama dengan warga Asia lain, suka membangun relasi. Relasi
jadi kebutuhan sehingga mereka tak suka berbeda pendapat, apalagi
berkonflik. "Mereka selalu menginginkan kondisi harmonis," katanya.
Jika
dalam berelasi itu, termasuk dengan sosok yang dikagumi, muncul
masalah, mereka akan menjauh, melepaskan ikatan relasinya. Namun, dalam
banyak kasus, pelepasan ikatan itu hanya sementara. Meski sempat
ditinggalkan, sosok idola itu bisa kembali menjadi panutan masyarakat
meski penerimaannya tak akan bisa sama seperti sebelumnya dan butuh
waktu.
Namun, agar bisa diterima kembali, sosok itu harus
melakukan introspeksi dan transformasi diri. "Transformasi diri itu
ditangkap masyarakat dan warga bisa memaafkan," ujarnya.
Taufiq
menambahkan, mudahnya masyarakat memaafkan dan melupakan kesalahan yang
dibuat sosok sebelumnya adalah buah dari cepatnya mereka menilai dan
mengambil putusan. Pola penilaian didasari perasaan bersifat jangka
pendek, mencuat sesaat, dan cepat dilupakan.
Tak belajarCara
berpikir emotif itu pula yang membuat kelompok pendukung (lover) dan
penentang (hater) calon presiden pada Pemilu 2014 tetap ada meski pemilu
telah lewat lebih dari dua tahun. Setiap pendukung membela mati-matian
calon yang pernah didukung tanpa melihat apa yang dilakukannya benar
atau salah.
Meski terjadi berulang, masyarakat tak cukup
mengambil pelajaran dari setiap masalah yang terjadi. Kebiasaan berpikir
memakai rasa itu disuburkan dengan sistem pendidikan di sekolah yang
tak mengajarkan berpikir kritis karena lebih mengutamakan hapalan.
Pola
pikir emotif itu juga didukung karakter masyarakat yang memahami agama
bukan dengan cara berpikir, tetapi menerima begitu saja. "Itu adalah
ciri masyarakat emotif, menerima apa adanya, dan enggan berpikir.
Akibatnya, masyarakat amat sensitif dengan hal-hal berbau agama," tutur
Taufiq.
Masyarakat emotif juga amat dipengaruhi simbol. Dalam
beragama, mereka cenderung ritualistik dan memaknai agama secara
hitam-putih. Meski manusia Indonesia dinilai munafik, permisif dan
hipokrit, hal-hal berbau religius masih jadi perhatian. Mereka sensitif
dengan hal-hal yang dianggap baik, termasuk agama, tetapi tak sensitif
dengan sesuatu yang buruk.
Mereka juga menjadikan agama sebagai
simbol belaka, tak termanifestasikan dalam perilaku. Karena itu, meski
mereka memiliki ritual bagus, agama tak jadi bagian dalam pengambilan
keputusan.
Walau mereka menangis saat ikut doa bersama atau mengikuti pelatihan
motivasi, hanya sebagian nilai agama yang membekas setelah acara
selesai.
"Kondisi itu membuat mereka yang dinilai religius atau
menyosokkan diri religius akan dianggap melakukan pelanggaran lebih
berat dibandingkan mereka yang tak menonjolkan sisi religiusnya meski
bobot kesalahannya sama," ujarnya. Itulah yang membuat penyanyi yang
pernah terlibat kasus pornografi bisa diterima, bahkan kembali disukai
warga.
Kemampuan bernalarAvin
menambahkan, dengan kemampuan menalar rendah, masyarakat menilai
seseorang berdasar informasi permukaan atau citra visualnya saja. "Nalar
yang terbatas membuat kita mudah tertipu citra," katanya.
Selain
itu, landasan moral masyarakat dipengaruhi norma sosial. Media sosial
kian mendukung norma sosial itu. Meski orangtua menanamkan integritas
moral sebaik apa pun, saat dihadapkan norma sosial yang tak mendukung
integritas moral itu, mayoritas warga memilih mengikuti norma sosial
masyarakat.
"Meski orangtua mengajarkan kejujuran, karena
sebagian birokrasi menciptakan ketidakjujuran tak apa-apa, lebih banyak
orang memilih tak jujur," ucapnya.
Mengikuti pola lingkungan tak jadi soal jika berpengaruh positif. Di
Indonesia, tak semua lingkungan sosial kondusif membuat orang berbuat
baik atau menjaga moral.
Cara berpikir yang mengedepankan rasa
hingga mudah menilai, membuat masyarakat mudah diprovokasi dan
dibenturkan. Warga cenderung melihat perbedaan, bukan persamaan. "Jika
tak dibenahi, bangsa Indonesia rentan terpecah belah oleh hal sepele,"
kata Taufiq.
Pada beberapa suku bangsa di Indonesia, pola pikir
mengutamakan rasa itu amat kuat. Belum lagi kekayaan alam melimpah
membuat tak perlu usaha besar demi mendapat sesuatu. Penjajahan Belanda
selama 350 tahun yang tak membangun pendidikan umum, hanya bagi elite
tertentu, memperparah kondisi itu.
Hal itu membuat bangsa
Indonesia tak terbiasa mengolah pikiran, apalagi berpikir bebas. Cara
pikir pendek juga membuat bangsa Indonesia sulit berpikir kritis dan
kreatif sehingga kurang mampu berinovasi.
Meski demikian, kondisi
itu bisa diubah, seperti yang dilakukan negara-negara Asia lain yang
pola relasinya sama. "Pendidikan ialah teknologi yang bisa mengubah
manusia berpikir lebih baik," ujar Taufiq.
Pendidikan yang
mengajarkan daya pikir berdasar olah pikir akan membuat manusia
Indonesia bisa mengendalikan emosi sehingga bisa mengambil tindakan
berdasarkan pemikiran matang.