SUATU hari dalam kegiatan seminar, seorang ibu bertanya, “Ummi, anak
saya bertanya tentang sesuatu, tapi saya tidak tau jawabannya, dia maksa
saya harus jawab, ummi. Nah, saya harus bilang apa sama dia. Waktu itu
untuk mengalihkan saya bilang, ih kenapa sih kamu nanya terus dari tadi,
mama capek nih. Baru deh dia berhenti nanya, apa itu gak salah, Mi?”
saya tersenyum, lalu menjawab, “Bunda kasian anak bunda kalau jawaban
kita seperti itu, sebaiknya kalau tidak tau, katakan saja sejujurnya,
Bunda belum tau hal itu, nanti Bunda tanya dulu ke Bu guru atau ke Pak
ustad.”
“Ummi, di badan Aa kan ada yang keras ini namanya apa?” tanya anak saya pertama.
“O, itu namanya tulang, Aa,” jawab saya seraya memegang tulang lengannya.
Kemudian ia bertanya lagi, “Kalau di dalam tulang ada apa, ummi?”
Saya terkejut sekali, tak ayal lagi otak berpikir apa jawabannya.
Saya kuatir memberi jawaban yang salah, nanti membuat pemahaman ia pun
salah. Akhirnya saya berkata, “Maaf Aa, Ummi harus cari dulu
informasinya, jadi belum bisa jawab sekarang.”
“Cari dimana?” ia kembali bertanya.
“Ummi akan cari jawabannya di buku atau bisa juga cari di google”, jawab saya.
“Kapan?” ia terus memberondong saya dengan pertanyaan.
“Insya Allah, nanti malam setelah pekerjaan Ummi selesai, ya,” saya
pun menjawab sambil menatapnya untuk meyakinkan. kemudian ia kembali
bermain sepeda.
Sebagian orang beranggapan bahwa orang tua atau guru adalah orang
yang serba tahu, sehingga seolah-olah menjadi sesuatu hal yang tabu atau
hal yang memalukan saat anak maupun murid bertanya hal yang belum kita
ketahui atau pernah tahu tapi lupa tidak diinformasikan keadaan yang
sebenarnya. Malah untuk menutupi hal itu kadang menjawab semaunya.
Ada juga yang malah menyalahkan anak atau murid. Kenapa nanya yang
aneh-aneh atau kenapa nanya yang gak sesuai tema, atau apalah dalih yang
lainnya. Terkadang bisa juga memberikan jawaban yang asal. Alasannya,
capai ditanya terus ah, asal anak diam dikasih jawaban ngarang juga
beres. Padahal anak-anak akan berhenti bertanya kalau orang dewasa di
sekitarnya mengatakan hal yang sebenarnya.
Dari ibnu Mas’ud Radiyallahuanhu, dari Nabi SAW, Beliau bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan dan sesungguhnya
kebaikan itu menunjukan ke syurga dan sesungguhnya seseorang selalu
berbuat jujur sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang
jujur.dan sesungguhnya dusta itu menunjukan kepada kejahatan dan
sesungguhnya kejahatan itu menunjukan kepada neraka dan sesungguhnya
seseorang yang selalu berdusta maka dicatatlah di sisi Allah sebagai
seorang pendusta,” (Muttafaq’alaih).
Mengatakan hal yang sebenarnya tidak perlu malu, karena dengan
demikian kita sebagai orang tua maupun guru sudah mengalirkan sikap
jujur pada anak maupun murid kita. Mari, Abi-Ummi tak perlu malu
mengatakan tidak tahu ketika anak-anak itu bertanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar