“AYO sana masuk, tuh temen–temen udah masuk,” ucap seorang mama pada anaknya.
“Gak mau ah, mau sama mama,” jawab anaknya.
“Simpen sepatunya, ayo mama anter ke dalam,” tukas mama, seraya menarik tangan mungil anaknya masuk ke dalam ruang kelas.
“Simpen tasnya, kok malah digendong terus,” perintah mama kemudian ketika sang anak tidak member reaksi yang diharapkannya.
Anaknya menyimpan tas di kursi.
“Duduk sana,” seru mama.
Setelah anak duduk mama berkata, “Mama pulang, nanti dijemput,” seraya berlalu menuju pintu.
Kata seru atau kata perintah memang selalu terlontar di setiap
tempat. Sekolah, rumah, supermarket, restauran atau tempat-tempat lain.
Ambil, simpan, buang, angkat, dan banyak lagi kata perintah lain keluar
dari mulut orang dewasa.
Seorang guru TK berkata kepada muridnya yang melempar plastik
pembungkus makanan, “Buang sampahnya di sana”, sambil menunjuk ke arah
tempat sampah.
Saat bel berbunyi ibu guru berteriak” beri salam”. Lalu semua murid mengucap salam dengan berteriak pula.
“Ambil bukunya di loker, sekarang kita akan mewarnai,” tukasnya kemudian.
Saat tiba waktu snack, ibu guru kembali berkata “Cuci
tangannya di toilet, baca do’a masuk WC.” Perintah demi perintah
diucapkan oleh guru hingga bel tanda sekolah berakhir dibunyikan.
Ketika yang keluar adalah perintah atau suruhan, artinya orang dewasa
di sekitar anak seolah-olah Bos. Dalam benak bos tersimpan rumus, yang
memerintah adalah atasan, yang diperintah adalah bawahan.
Wahai para orangtua juga guru, ingatlah bahwa anak kita bukanlah
bawahan kita di rumah. Murid kita bukanlah bawahan kita di sekolah.
Ketika kita menyuruh anak, artinya kita meminjam tangan anak untuk
melakukan apa yang kita inginkan.
Orang tua dan guru yang bijak akan senantiasa menghindari perintah
ketika berkomunikasi dengan anak-anak. Idealnya, ketika kita berharap
anak menyimpan sepatu di rak sepatu, maka orang dewasa menjadi modelnya,
lalu berkata, “Mama menyimpan sepatu di rak sepatu, papa juga menyimpan
sepatu di rak sepatu, bagaimana denganmu? Sepatunya mau disimpan
dimana?”, anak akan melihat lalu berpikir kemudian bergerak menyimpan
sepatu nya di rak sepatu.
Begitupun di sekolah ketika guru mengharap anak menyimpan sampah pada
tempatnya, maka guru menjadi modelnya terlebih dahulu. Guru menyimpan
sampah pada tempatnya, lalu berbicara, “Ibu menyimpan sampah di tempat
sampah. Semua ada tempatnya. Kamu mau menyimpan sampah di tempat yang
mana? Tempat sampah yang di dalam atau tempat sampah yang di halaman?”,
anak melihat lalu berpikir kemudian bergerak menyimpan sampah di tempat
yang dipilihnya.
Pendidikan yang bermutu, memberikan stimulus kepada anak untuk berpikir sebelum berbicara, berpikir sebelum bertindak.
Anak yang terbiasa disuruh sejak kecil akan kehilangan inisiatif saat dia dewasa, mungkin akan selalu menjadi follower, bukan leader yang penuh
ide. Layaknya sebuah robot akan bergerak jika diperintah dan tentu
tidak bergerak jika tombol perintah tidak di pijit. Tanpa melihat
sekeliling, tanpa berpikir, tanpa peduli dengan segala yang terjadi,
jika tak ada perintah maka semua bisa diabaikan. Tentu anak kita bukan
robot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar