“MBAK Wid, kalau saya jadi orang kaya, mungkin anaknya gak akan dua,”
seorang teman berkata demikian ketika saya berkunjung ke rumahnya.
“Lho, memangnya kenapa?”,saya bertanya keheranan.
“Iya lah, kalau saya kan ekonominya belum mapan, jadi kalau punya
anak banyak repot. Kalau sudah mapan lebih baik banyak saja anaknya, gak
usah dua,” imbuhnya.
Suatu hari, teman saya yang sangat kaya mengatakan bahwa anaknya
ketika kelas 3 SD diberi hadiah ulang tahun mobil Mercy seharga Rp3
milyar oleh kakeknya.
Hingga beberapa waktu lalu, teman saya ini bercerita, “Mbak Wid, saya
syok, selama ini saya sibuk ngurus perusahaan, ayahnya juga begitu,
anak dijaga oleh baby sitter dan sopir. Kemarin saya baru tau kalau si
kakak bolos sekolah sudah 2 bulan, padahal dia sekarang kelas 6 bentar
lagi Ujian Nasional…”
“Lho kok bisa, anak bolos mbak gak dikabari oleh gurunya?” tanya saya.
“Nggak mbak, saya baru tau setelah saya nguntit anak saya seharian,
ternyata dia bolos. Dia juga masuk ke klub malam, ngerokok, ah pokoknya
saya syok. Udah gitu, pas nyampe rumah, saya tanya ke dia, berapa lama
bolos, dia bilang udah 2 bulan. Ketika saya tanya, ‘Kenapa guru gak
ngasih tau ke bunda bahwa kamu sering bolos?, ia menjawab, ‘Ya iya lah,
orang aku kasih uang ama bingkisan,’ jawabnya gitu, Mbak,” tukasnya
dengan suara parau menahan tangis.
Bagi sebagian orang di benaknya mungkin terlintas, oh alangkah
bahagianya jadi orang yang kaya raya, anak-anak pasti bisa terurus
dengan baik. Semua kebutuhan materi anak bisa terpenuhi, semua yang
mereka inginkan bisa dibelikan. Mereka berpikir bahwa dengan uang bisa
menyelesaikan semua masalah anaknya.
Memang betul bahwa manusia tidak akan lepas dari kebutuhan materi
atau uang. Tetapi tidak semua masalah dapat selesai dengan uang,
termasuk dalam mendidik anak. Bukan hanya uang yang berbicara jika kita
ingin bahagia dalam mengurus anak-anak. Juga sebaliknya, bukan hanya
uang yang berbicara untuk membuat anak-anak bahagia.
Mendidik anak tidak lah serta merta hanya dengan harta. Mendidik anak
hendaklah dengan kekuatan cinta, bukan cinta pada kekuatan. Hal itu
yang akan membuat anak maupun orangtua bahagia. Itulah yang dilakukan
oleh Rasulullah dalam mendidik anak, seperti dijelaskan dalam hadis
berikut: “Rasulullah saw shalat bersama sahabatnya, lalu beliau sujud.
Ketika itu datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah saw sedang
sujud, lalu naiklah Hasan ke punggung Rsulullah SAW yang mulia saat
beliau sedang sujud. Rasul memanjangkan sujudnya agar tidak menyakiti
Hasan. Usai shalat, ia meminta maaf kepada jamaah shalat dan mengatakan,
“anakku tadi naik ke punggungku lalu aku khawatir bila aku bangun dan
menyakitinya. Maka aku menunggu sampai ia turun.” (HR. An Nasai).
Rasulullah yang di-ma’sum dari kesalahan pun sangat khawatir akan
menyakiti Hasan ra. Begitu kuatnya kasih sayang Rasulullah kepada
cucunya, hingga beliau sangat hati-hati bersikap agar tidak
menyakitinya.
Bagaimana dengan kita, Ayah-Bunda? Sesungguhnya semua pengalaman
hidup anak yang kita berikan padanya lah yang akan membentuk karakter
mereka. Hal itu yang akan menentukan arah perjalanan hidup mereka di
masa yang akan datang.
Allah SWT sudah berfirman, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (QS.
At-Taghaabun:15). Ketika ayah bunda memahami ayat ini, maka akan
mendidikanak-anaknya sebaik mungkin dan tentu dengan penuh kasih sayang,
agar kelak di pengadilan akhirat lulus dengan nilai summacumlaude.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar