Oleh: Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc (Konsultan, Sakinah Finance, Colchester - UK)
Banyak para bujang gadis atau pasangan yang baru menikah menanggapi
bahwa perlunya mengelola keuangan itu lebih pas setelah menikah. Lihat
komentar di bawah:
Yangie dan Agung: Ada amanah yang harus dikelola bersama makanya penting sekali perencanaan keuangan setelah menikah.
Siska dan Heru: Pengeluaran lebih banyak dari pendapatan sehingga perlu perencanaan serius.
Okky: Ada penghasilan ganda jadi baru bisa ada yang dikelola.
Sheyka: Ada transaksi pinjam-meminjam atau saling memberi antara suami dan istri, jadi perlu adanya perencanaan keuangan.
Namun, menurut Tiffany, setelah menikah dia pikir tidak perlu pengelolaan keuangan, kan sudah ada suami. Lain halnya ketika sebelum menikah, uang milik pribadi harus benar-benar diatur. Namun, akhirnya dia akui bahwa pendekatannya kurang pas.
Ayu lain lagi. Bagi dia, nikah atau enggak nikah, perencanaan keuangan harus tetap dijalani, kan sesuai fungsi uang yang 3S: spending, saving, dan sharing.
Ehmmm ... Jadi baper nih. Jadi, yang mana dong sebaiknya kita adopsi?
Mulailah seawal mungkin dengan niat ibadah
Mengelola keuangan (istilah ini lebih tepat dari merencanakan keuangan), tentu saja tidak terlepas dari niat. Sesuai dengan niat kita dalam menjalankan kehidupan adalah tentunya untuk selalu beribadah kepada Allah SWT (lihat QS Adz-Dzariyat (51): 56), tentu termasuk juga ketika menjalankan aktivitas pengelolaan keuangan.
Sebagian anak-anak berusia tujuh tahun sudah bisa menerima latihan awal pengelolaan keuangan sehingga dia akan tumbuh lebih prihatin dalam pengelolaan keuangannya kelak. Di awal latihan, minimal anak-anak memahami makna uang yang ternyata adalah amanah Allah SWT yang harus dijaga bukan hanya dengan menyimpannya tetapi juga membelanjakannya.
Hasilnya, anak-anak akan lebih menghormati orang tuanya di kala senang dan susah karena menyadari bahwa uang tidak selamanya milik kita.
Untuk memastikan keuangan keluarga dapat dikelola dengan baik, anak-anak diberikan latihan bekerja dan berwirausaha ala Rasulullah SAW. Di situlah orang tua mempunyai kesempatan untuk mengajarkan transaksi-transaksi muamalah sesuai dengan syariah termasuk memahami zakat, infak, dan sedekah.
Namun, jangan terlalu juga membebaskan anak-anak dengan uang dan harta. Untuk itu, perlu diperhatikan dan dikawal penggunaannya (tasarruf) oleh orang tua/wali sang anak karena mereka belum sempurna akalnya atau tidak mampu mengelola uang dan hartanya (lihat QS An-Nisa’ (4): 5 dan Tafsir Ibnu Katsir).
Tentukan hak dan kewajiban
Dalam QS an-Nisa (4) ayat 34, jelas bahwa lelaki dalam rumah tangga adalah pemimpin (qawwam) keluarga. Seorang lelaki itu wajib memberikan nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun walau ada peran kepemimpinan (qawammah) laki-laki, semua mukmin, baik lelaki maupun perempuan, termasuk pasangan suami-istri wajib menjadi penolong (al-walayah) antara sesamanya (QS at-Taubah [9]:71) dalam hal mengerjakan yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Pada akhirnya, akan turun rahmat dari Allah SWT untuk mereka.
Dari makna qawwamah, kewajiban seorang anak laki-laki dewasa (baligh/mumayiz) adalah mengatur keuangan untuk nafkah dirinya. Ia juga mendapatkan tanggung jawab, misalnya terhadap orang tua atau adik-adik yang belum bisa mandiri. Begitu juga kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun, untuk keadaan tertentu, di mana anak perempuan atau istri yang harus memberi nafkah, hal tersebut masuk dalam kategori menolong (al-walayah), dengan syarat qawwamah suami tetap terjaga.
Tentunya penentuan hak dan kewajiban ini harus dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan rasa sombong, tidak ikhlas, dan tidak amanah.
Jangan kaku, adaptasi dengan perubahan
Hal lain yang menjadi faktor naik-turunnya semangat ketika menjalankan perencanaan keuangan adalah dalam menghadapi perubahan.
Misalnya, perubahan dalam menjalankan kehidupan yang tadinya di Indonesia, kemudian harus tinggal sementara di Inggris karena tugas belajar. Perubahan yang tadinya mempunyai penghasilan yang lebih dari mencukupi kehidupan sehari-hari tetapi saat ini sedang menanggung utang.
Tidak ada sebuah model pengelolaan keuangan keluarga yang standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga. Dengan kata lain, selalu adaptasi dengan perubahan, misalnya gaya hidup, cara baru pengaturan dan pemisahan tanggung jawab keuangan di rumah, pembuatan catatan pemasukan dan pengeluaran dan lain sebagainya. Apa pun perubahan itu, selalu tekuni cara yang dianggap terbaik.
Pastikan konsisten
Konsistensi adalah salah faktor terberat dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Mengapa? Godaannya luar biasa yang lalu lalang dalam telinga kita. Misalnya, untuk apa mengelola yang sedikit ini, tambah pusing aja! Mengapa serius sekali mikirnya? Toh Allah sudah atur semuanya, terima saja apa adanya!
Mengelola keuangan adalah sejalan dengan salah satu ayat Alquran tentang kisah Nabi Yusuf ketika menakwilkan mimpi Raja Mesir untuk mempersiapkan hidup di masa sulit ketika di masa senang (QS Yusuf [12]: 43-49).
Kita juga diajarkan manut dan konsisten dengan ajaran Rasulullah SAW, misalnya cara-cara menahan keinginan duniawi.
Pencapaian target
Terakhir, kita hanya pandai merencanakan dan menginginkan agar target-target keuangan keluarga tercapai, tetapi hanya Allah SWT yang menentukan. Jadi, apa pun hasilnya, mari bertawakal kepada Allah SWT dengan terus memohon agar senantiasa diberikan yang terbaik untuk kehidupan kita.
Mengutip taujih Ustaz Cecep Haji Solehudin yang berdomisili di Sydney, Australia, sesungguhnya target yang harus kita capai adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. "Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya. (HR Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani). Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!
Yangie dan Agung: Ada amanah yang harus dikelola bersama makanya penting sekali perencanaan keuangan setelah menikah.
Siska dan Heru: Pengeluaran lebih banyak dari pendapatan sehingga perlu perencanaan serius.
Okky: Ada penghasilan ganda jadi baru bisa ada yang dikelola.
Sheyka: Ada transaksi pinjam-meminjam atau saling memberi antara suami dan istri, jadi perlu adanya perencanaan keuangan.
Namun, menurut Tiffany, setelah menikah dia pikir tidak perlu pengelolaan keuangan, kan sudah ada suami. Lain halnya ketika sebelum menikah, uang milik pribadi harus benar-benar diatur. Namun, akhirnya dia akui bahwa pendekatannya kurang pas.
Ayu lain lagi. Bagi dia, nikah atau enggak nikah, perencanaan keuangan harus tetap dijalani, kan sesuai fungsi uang yang 3S: spending, saving, dan sharing.
Ehmmm ... Jadi baper nih. Jadi, yang mana dong sebaiknya kita adopsi?
Mulailah seawal mungkin dengan niat ibadah
Mengelola keuangan (istilah ini lebih tepat dari merencanakan keuangan), tentu saja tidak terlepas dari niat. Sesuai dengan niat kita dalam menjalankan kehidupan adalah tentunya untuk selalu beribadah kepada Allah SWT (lihat QS Adz-Dzariyat (51): 56), tentu termasuk juga ketika menjalankan aktivitas pengelolaan keuangan.
Sebagian anak-anak berusia tujuh tahun sudah bisa menerima latihan awal pengelolaan keuangan sehingga dia akan tumbuh lebih prihatin dalam pengelolaan keuangannya kelak. Di awal latihan, minimal anak-anak memahami makna uang yang ternyata adalah amanah Allah SWT yang harus dijaga bukan hanya dengan menyimpannya tetapi juga membelanjakannya.
Hasilnya, anak-anak akan lebih menghormati orang tuanya di kala senang dan susah karena menyadari bahwa uang tidak selamanya milik kita.
Untuk memastikan keuangan keluarga dapat dikelola dengan baik, anak-anak diberikan latihan bekerja dan berwirausaha ala Rasulullah SAW. Di situlah orang tua mempunyai kesempatan untuk mengajarkan transaksi-transaksi muamalah sesuai dengan syariah termasuk memahami zakat, infak, dan sedekah.
Namun, jangan terlalu juga membebaskan anak-anak dengan uang dan harta. Untuk itu, perlu diperhatikan dan dikawal penggunaannya (tasarruf) oleh orang tua/wali sang anak karena mereka belum sempurna akalnya atau tidak mampu mengelola uang dan hartanya (lihat QS An-Nisa’ (4): 5 dan Tafsir Ibnu Katsir).
Tentukan hak dan kewajiban
Dalam QS an-Nisa (4) ayat 34, jelas bahwa lelaki dalam rumah tangga adalah pemimpin (qawwam) keluarga. Seorang lelaki itu wajib memberikan nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun walau ada peran kepemimpinan (qawammah) laki-laki, semua mukmin, baik lelaki maupun perempuan, termasuk pasangan suami-istri wajib menjadi penolong (al-walayah) antara sesamanya (QS at-Taubah [9]:71) dalam hal mengerjakan yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Pada akhirnya, akan turun rahmat dari Allah SWT untuk mereka.
Dari makna qawwamah, kewajiban seorang anak laki-laki dewasa (baligh/mumayiz) adalah mengatur keuangan untuk nafkah dirinya. Ia juga mendapatkan tanggung jawab, misalnya terhadap orang tua atau adik-adik yang belum bisa mandiri. Begitu juga kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dari sebagian hartanya.
Namun, untuk keadaan tertentu, di mana anak perempuan atau istri yang harus memberi nafkah, hal tersebut masuk dalam kategori menolong (al-walayah), dengan syarat qawwamah suami tetap terjaga.
Tentunya penentuan hak dan kewajiban ini harus dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan rasa sombong, tidak ikhlas, dan tidak amanah.
Jangan kaku, adaptasi dengan perubahan
Hal lain yang menjadi faktor naik-turunnya semangat ketika menjalankan perencanaan keuangan adalah dalam menghadapi perubahan.
Misalnya, perubahan dalam menjalankan kehidupan yang tadinya di Indonesia, kemudian harus tinggal sementara di Inggris karena tugas belajar. Perubahan yang tadinya mempunyai penghasilan yang lebih dari mencukupi kehidupan sehari-hari tetapi saat ini sedang menanggung utang.
Tidak ada sebuah model pengelolaan keuangan keluarga yang standar yang dapat diterapkan oleh setiap keluarga. Dengan kata lain, selalu adaptasi dengan perubahan, misalnya gaya hidup, cara baru pengaturan dan pemisahan tanggung jawab keuangan di rumah, pembuatan catatan pemasukan dan pengeluaran dan lain sebagainya. Apa pun perubahan itu, selalu tekuni cara yang dianggap terbaik.
Pastikan konsisten
Konsistensi adalah salah faktor terberat dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Mengapa? Godaannya luar biasa yang lalu lalang dalam telinga kita. Misalnya, untuk apa mengelola yang sedikit ini, tambah pusing aja! Mengapa serius sekali mikirnya? Toh Allah sudah atur semuanya, terima saja apa adanya!
Mengelola keuangan adalah sejalan dengan salah satu ayat Alquran tentang kisah Nabi Yusuf ketika menakwilkan mimpi Raja Mesir untuk mempersiapkan hidup di masa sulit ketika di masa senang (QS Yusuf [12]: 43-49).
Kita juga diajarkan manut dan konsisten dengan ajaran Rasulullah SAW, misalnya cara-cara menahan keinginan duniawi.
Pencapaian target
Terakhir, kita hanya pandai merencanakan dan menginginkan agar target-target keuangan keluarga tercapai, tetapi hanya Allah SWT yang menentukan. Jadi, apa pun hasilnya, mari bertawakal kepada Allah SWT dengan terus memohon agar senantiasa diberikan yang terbaik untuk kehidupan kita.
Mengutip taujih Ustaz Cecep Haji Solehudin yang berdomisili di Sydney, Australia, sesungguhnya target yang harus kita capai adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. "Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya. (HR Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani). Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar