Oleh; Ferry Kisihandi
Masih banyak imam hanya berdasarkan usia dan main tunjuk saja.
Para imam tak sebatas pemimpin shalat. Mereka bisa menjelma menjadi aktor perubahan sosial. Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, imam yang juga bergerak di ranah sosial telah mewujud di Aljazair.
Di sana, imam masjid adalah seorang pegawai negeri sipil. Pelan-pelan, mereka menguasai jamaah masjid-masjid yang dianggap radikal. Hingga, akhirnya Aljazair menjadi lebih stabil karena pertikaian antargolongan yang semula marak kemudian mereda.
Para imam di negeri tersebut melangkah lebih maju. Selain memimpin shalat, mereka mampu mengubah kondisi sosial. Karena itu, Nasaruddin tak sepakat dengan anggapan masjid hanya sebagai tempat rukuk dan sujud.
Masjid dan pengelola, termasuk imam di dalamnya, harus bisa melibatkan masyarakat. “Jadi, jangan dibalik, masyarakat yang memberdayakan masjid, tapi masjid yang memberdayakan masyarakat. Ini mirip, tapi berbeda,” katanya, Kamis (12/12).
Untuk membentuk imam seperti itu perlu sosialisasi dan peningkatan kapasitas mereka. Ada kalanya, lembaga pendidikan, seperti Perguruan Tinggi Ilmu Alquran Indonesia memfasilitasi itu. Caranya, dengan membina lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai imam.
Namun, kata Nasaruddin, lulusan lembaga pendidikan itu hanya 300 orang per tahun. Jumlah tersebut tak cukup untuk memenuhi kebutuhan imam di seluruh Indonesia. Ia menjelaskan, selain bacaan dan hafalan Alquran yang baik, seorang imam harus bertabiat baik.
Soal kebutuhan imam masjid, kondisi setiap daerah di Indonesia beragam. Papua, Ambon, dan Sulawesi menjadi daerah yang memerlukan banyak imam masjid berkualitas dan profesional. Dalam konteks ini, pemerintah harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengaku, imam masjid di Indonesia masih belum mampu memberikan dampak besar bagi lingkungannya. Padahal, perubahan di masyarakat juga menjadi tanggung jawab imam masjid.
Ia mengusulkan agar imam masjid dibekali keterampilan, baik dalam mengelola jamaah, maupun komunikasi publik. Menurut Imam, kualitas imam masjid di tingkat provinsi sudah cukup baik. Tapi, untuk tingkatan di bawahnya, masih perlu banyak pembekalan.
Keterampilan dasar mereka, yaitu baca Alquran dan fikih juga perlu ditingkatkan. Selama ini, masih banyak imam yang dipilih berdasarkan usia dan main tunjuk saja. Sehingga, tak terkontrol bagaimana kemampuan mereka di dua bidang itu.
Bacaan Alquran yang kurang baik, kata Imam, bisa mengurangi kekhusyukan shalat. Bahkan, ada yang sampai menganggap tidak sah shalatnya. Untuk mengatasinya, ia mengusulkan adanya sertifikasi bagi imam masjid.
Sertifikasi dapat menjadi alat ukur seberapa baik bacaan dan pemahaman agama seorang imam. Ia menyarankan, sertifikasi lebih baik dilakukan lembaga tersendiri di luar pemerintah. “Bisa perguruan tinggi atau lembaga yang berkompetensi,” kata Imam.
Terlalu panjang urusannya kalau sertifikasi diserahkan kepada pemerintah. Lebih baik, pemerintah membantu perbaikan bangunan maupun pendanaan masjid saja. Tidak perlu pemerintah mengurusi masalah internal masjid.
Menurut dia, standardisasi imam juga mungkin baru bisa dilakukan di masjid tingkat provinsi atau kota yang sudah memiliki imam tetap. Ia menambahkan, belum ada data pasti jumlah imam tetap masjid seluruh Indonesia.
Ia memperkirakan, ada sekitar 300 ribu imam masjid di Indonesia. Itu pun imam bergantian dan belum termasuk imam mushala perkantoran serta mushala di fasilitas umum.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Irfan Safruddin memandang peran imam masjid, bergantung negara yang memfungsikannya. Tapi, dari literatur Islam, fungsi awal imam memang sebagai pemimpin shalat.
Peran lebih besar justru di masjid sebagai lembaga. Di sana, imam masjid bisa menjadi ketua dewan keluarga masjid atau organisasi yang dibina masjid. Di sini, imam jadi memainkan dua peran, sebagai imam dan pengelola kegiatan masjid.
Peran sosial sebenarnya lebih banyak dilakukan pengurus masjid. Banyak masjid tidak memiliki imam khusus. Bahkan, ada fenomena imam masjid bergantian di antara pengurus DKM. Harusnya, ada imam tetap, ungkap Irfan.
Imam yang berada di bawah ormas atau lembaga tertentu sudah relatif tertata. Irfan menyambut baik jika memang ada mekanisme sertifikasi imam. Tapi, harus juga diperhatikan dampak yang bisa diberikan oleh imam tersertifikasi terhadap lingkungannya, kata dia.
Pihak yang menyertifikasi bisa gabungan dari pemerintah, MUI, dan ormas Islam. Seperti, sertifikasi pembimbing haji yang belakangan sudah dilakukan. Jika pun ini dilakukan, kualifikasinya harus disesuaikan dengan imbalan bagi para imam.
Tingkat pendidikan imam masjid saat ini umumnya lulusan dari pondok pesantren, perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Ada juga lulusan universitas milik ormas-ormas Islam. Sayangnya, mereka baru mencukupi untuk kalangan ormas saja, bukan masyarakat.
Pengetahuan agama imam masjid di masyarakat menjadi catatan untuk melakukan perbaikan kualitas. Ini penting dilakukan. Sebab, kata Irfan, imam masjid sering dijadikan tempat mengadu dan mencari solusi oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar