Sebagai seorang psikiater yang banyak menangani kasus psikosomatik, saya sering menemukan kasus keluhan fisik yang sering tak didasari masalah organ. Keluhan fisik ini kebanyakan disebabkan karena aktifitas sistem saraf otonom yang berlebihan. Beberapa gejala seperti jantung tiba-tiba berdebar kencang, sesak napas, keluhan lambung yang tidak nyaman adalah hal yang sering dikaitkan dengan aktifitas sistem saraf otonom berlebihan.
Belakangan saya juga banyak didatangi pasien dengan kasus-kasus gangguan lambung yang tidak kunjung sembuh dalam perawatan dokter penyakit dalam. Beberapa contoh kasus di bawah ini mungkin bisa membantu memahami.
Kasus 1
Pria 48 tahun dengan keluhan nyeri lambung sejak 2 tahun lalu. Perasaan tidak enak di lambung tidak berkurang dengan asupan makanan. Pasien mengalami sebah/kembung walaupun makan sedikit saja. Pemeriksaan gastroskopi (endoskopi dan kolonoskopi) sudah dilakukan dan hasilnya dianggap normal, tidak ada ulkus/luka di lambung. Pemeriksaan H.Pylori juga telah dilakukan dan hasilnya negatif. Pasien berobat ke internist khusus lambung (Gastoenterologis/SpPD-KGEH) dan diberikan terapi obat PPI (Proton Pump Inhibitor seperti gol Omeperazole dan kawan-kawannya yang dikenal dengan merk Nexium,Pariet,Prosogan dll) dan prokinetik (Domperidone dikenal dengan merk Motilium,Vometa,Vomitas). Hampir setahun memakai obat tersebut perubahan hanya terjadi jika makan obat saja. Jika obat dilepaskan, rasa kembung dan tak nyaman kambuh. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke psikiater dan diagnosis saat dilakukan pemeriksaan fisik dan mental lebih mengarah ke Dispepsia Fungsional dengan latar belakang kepribadian tipe anankastik/obsesif kompulsif. Pasien direncanakan pengobatan dengan antidepresan golongan SSRI dan sulpiride pada awal terapi. Perbaikan gejala dicapai pada hari bulan kedua dan masuk bulan ke tiga pengobatan SSRI hanya setengah dosis dan sulpiride sudah dilepaskan. Pasien merasa lebih baik. Pasien makan saat ini tidak terlalu takut lagi karena merasa sudah sangat nyaman perutnya walaupun makan makanan yang dulu biasa pasien hindari (cabe, cuka dan lada). Pasien mengatakan, sempat lupa makan obat SSRI-nya selama dua minggu tapi kemudian gejalanya tidak kambuh. Itulah perbedaan yang dikatakan pasien, ketika dulu makan obat golongan PPI, jika tidak dimakan gejala kambuh sedangkan pengobatan dengan antidepresan ketika dihentikan pun tidak berulang. Saat ini, pasien sedang dalam tahapan pelepasan obat dan disarankan untuk tetap makan obat dengan dosis setengah sampai akhir bulan Desember 2013.
Kasus 2
Pasien perempuan 35 tahun dengan keluhan tak nyaman di lambung dan sering merasa perih seperti ingin makan. Karena keluhan ini, pasien beberapa kali makan dalam sehari (bisa 5-7 kali) agar perutnya tetap terisi menurut pasien. Ini dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang timbul karena jika perutnya “kosong” pasien merasa perih. Pasien awalnya hanya mengobati dirinya sendiri dengan obat maag dari warung atau coba-coba makan obat golongan H-2 Antagonis seperti Ranitidine yang dibelinya di apotek. Tapi keluhan tidak berkurang. Karena khawatir maka pasien berobat ke dokter penyakit dalam dan kemudian diberikan obat-obat golongan PPI dan juga untuk antikembungnya. Belum banyak perubahan setelah 3 bulan pengobatan dan akhirnya disarankan untuk melakukan endoskopi. Hasil endoskopi tak menunjukkan adanya ulkus/luka dan kelainan yang dianggap bisa menyebabkan kondisinya saat ini. Pasien mulai merasakan keluhan cemas dan mulai kadang sulit tidur. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke saya karena merasa mulai menjadi sering ada keluhan cemas yang berlebihan karena sakit perut yang tak kunjung sembuh. Pemeriksaan fisik dan status mental mengatakan bahwa pasien ini mengalami Dispepsia Fungsional dengan kondisi kejiwaan Gangguan Penyesuaian. Terapi yang diberikan dengan menggunakan antidepresan SNRI dan terapi simptomatik untuk gejala lambungnya. Setelah dua bulan melakukan terapi dengan antidepresan pasien mengalami perbaikan. Saat ini pasien bisa makan 3 kali sehari seperti biasa tanpa rasa perih di lambung. Keluhan lambung sudah sangat minimal.
Aspek psikososial gangguan lambung
Gangguan lambung sebagai suatu keluhan utama atau sebagai keluhan tambahan yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan banyak ditemukan. Lambung memang organ otonom yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem saraf otak manusia dan terutama fungsi kejiwaannya. Lambung bahkan dianggap memiliki “otak” sendiri sehingga poros lambung dan otak (Brain-Gut Axis) sering dikatakan mempunyai makna dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan keluhan lambung. Serotonin yang dikatakan zat yang mempengaruhi perasaan sekalipun lebih banyak ditemukan di lambung daripada di otak manusia. Inilah yang menjadi dasar bahwa tata laksana gangguan lambung memang tidak lepas dari faktor kejiwaan orang itu sendiri.
Secara klinis, dalam berbagai penelitian dikatakan keluhan lambung seperti rasa nyeri, rasa kembung, perasaan penuh setelah makan walau sedikit, mual, diare sampai sulit buang air merupakan keluhan lambung yang banyak dihubungkan dengan gangguan dispepsia fungsional.
Kasus 1
Pria 48 tahun dengan keluhan nyeri lambung sejak 2 tahun lalu. Perasaan tidak enak di lambung tidak berkurang dengan asupan makanan. Pasien mengalami sebah/kembung walaupun makan sedikit saja. Pemeriksaan gastroskopi (endoskopi dan kolonoskopi) sudah dilakukan dan hasilnya dianggap normal, tidak ada ulkus/luka di lambung. Pemeriksaan H.Pylori juga telah dilakukan dan hasilnya negatif. Pasien berobat ke internist khusus lambung (Gastoenterologis/SpPD-KGEH) dan diberikan terapi obat PPI (Proton Pump Inhibitor seperti gol Omeperazole dan kawan-kawannya yang dikenal dengan merk Nexium,Pariet,Prosogan dll) dan prokinetik (Domperidone dikenal dengan merk Motilium,Vometa,Vomitas). Hampir setahun memakai obat tersebut perubahan hanya terjadi jika makan obat saja. Jika obat dilepaskan, rasa kembung dan tak nyaman kambuh. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke psikiater dan diagnosis saat dilakukan pemeriksaan fisik dan mental lebih mengarah ke Dispepsia Fungsional dengan latar belakang kepribadian tipe anankastik/obsesif kompulsif. Pasien direncanakan pengobatan dengan antidepresan golongan SSRI dan sulpiride pada awal terapi. Perbaikan gejala dicapai pada hari bulan kedua dan masuk bulan ke tiga pengobatan SSRI hanya setengah dosis dan sulpiride sudah dilepaskan. Pasien merasa lebih baik. Pasien makan saat ini tidak terlalu takut lagi karena merasa sudah sangat nyaman perutnya walaupun makan makanan yang dulu biasa pasien hindari (cabe, cuka dan lada). Pasien mengatakan, sempat lupa makan obat SSRI-nya selama dua minggu tapi kemudian gejalanya tidak kambuh. Itulah perbedaan yang dikatakan pasien, ketika dulu makan obat golongan PPI, jika tidak dimakan gejala kambuh sedangkan pengobatan dengan antidepresan ketika dihentikan pun tidak berulang. Saat ini, pasien sedang dalam tahapan pelepasan obat dan disarankan untuk tetap makan obat dengan dosis setengah sampai akhir bulan Desember 2013.
Kasus 2
Pasien perempuan 35 tahun dengan keluhan tak nyaman di lambung dan sering merasa perih seperti ingin makan. Karena keluhan ini, pasien beberapa kali makan dalam sehari (bisa 5-7 kali) agar perutnya tetap terisi menurut pasien. Ini dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang timbul karena jika perutnya “kosong” pasien merasa perih. Pasien awalnya hanya mengobati dirinya sendiri dengan obat maag dari warung atau coba-coba makan obat golongan H-2 Antagonis seperti Ranitidine yang dibelinya di apotek. Tapi keluhan tidak berkurang. Karena khawatir maka pasien berobat ke dokter penyakit dalam dan kemudian diberikan obat-obat golongan PPI dan juga untuk antikembungnya. Belum banyak perubahan setelah 3 bulan pengobatan dan akhirnya disarankan untuk melakukan endoskopi. Hasil endoskopi tak menunjukkan adanya ulkus/luka dan kelainan yang dianggap bisa menyebabkan kondisinya saat ini. Pasien mulai merasakan keluhan cemas dan mulai kadang sulit tidur. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke saya karena merasa mulai menjadi sering ada keluhan cemas yang berlebihan karena sakit perut yang tak kunjung sembuh. Pemeriksaan fisik dan status mental mengatakan bahwa pasien ini mengalami Dispepsia Fungsional dengan kondisi kejiwaan Gangguan Penyesuaian. Terapi yang diberikan dengan menggunakan antidepresan SNRI dan terapi simptomatik untuk gejala lambungnya. Setelah dua bulan melakukan terapi dengan antidepresan pasien mengalami perbaikan. Saat ini pasien bisa makan 3 kali sehari seperti biasa tanpa rasa perih di lambung. Keluhan lambung sudah sangat minimal.
Aspek psikososial gangguan lambung
Gangguan lambung sebagai suatu keluhan utama atau sebagai keluhan tambahan yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan banyak ditemukan. Lambung memang organ otonom yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem saraf otak manusia dan terutama fungsi kejiwaannya. Lambung bahkan dianggap memiliki “otak” sendiri sehingga poros lambung dan otak (Brain-Gut Axis) sering dikatakan mempunyai makna dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan keluhan lambung. Serotonin yang dikatakan zat yang mempengaruhi perasaan sekalipun lebih banyak ditemukan di lambung daripada di otak manusia. Inilah yang menjadi dasar bahwa tata laksana gangguan lambung memang tidak lepas dari faktor kejiwaan orang itu sendiri.
Secara klinis, dalam berbagai penelitian dikatakan keluhan lambung seperti rasa nyeri, rasa kembung, perasaan penuh setelah makan walau sedikit, mual, diare sampai sulit buang air merupakan keluhan lambung yang banyak dihubungkan dengan gangguan dispepsia fungsional.
Lebih dari 30-40 persen keluhan lambung berhubungan dengan dispepsia fungsional yang berarti pasien tersebut tidak mengalami masalah organik di lambungnya mereka. Saat tren kumanHelicobacter pylory ditemukan, orang ramai-ramai mulai beralih pengobatannya kepada antibiotik untuk kasus-kasus lambung, namun ternyata banyak hasil yang tidak memuaskan dan juga ternyata tidak semua kasus lambung disebabkan oleh bakteri ini.
Kasus dispepsia fungsional sekalipun memang mempunyai dua tipe yaitu tipe yang seperti ulcer atau yang dismotilitas. Keduanya mempunyai perbedaan dalam keluhan di mana yang tipe ulcer biasanya lebih sering mengeluh nyeri sedangkan dismotilitas lebih sering mengeluh kembung.
Pengobatan untuk pasien dengan kasus dispepsia fungsional memang menarik. Penerimaan pasien terhadap penyakitnya diutamakan daripada terapi lainnya. Dokter harus mengajak pasien untuk mampu menerima kondisinya dulu dengan baik agar terapi selanjutnya bisa berlangsung baik. Pengobatan simptomatik untuk lambung boleh terus dilakukan namun pada beberapa kasus dikatakan bahwa pengobatan dengan menggunakan antidepresan golongan SSRI atau SNRI dan TCA membantu dalam proses perbaikan gejala dan pencegahan gejala tersebut berulang. Selain itu, keseimbangan sistem saraf otonom juga perlu diperhatikan. Pasien dengan gangguan kecemasan yang mengalami gangguan dyspepsia fungsional biasanya lebih sering sulit sembuh daripada yang tidak. Ini membuktikan bahwa adanya masalah gangguan jiwa memperberat kondisi gangguan medis fisik dan begitupun sebaliknya.
Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan Dispepsia Fungsional. Salam Sehat Jiwa
Kasus dispepsia fungsional sekalipun memang mempunyai dua tipe yaitu tipe yang seperti ulcer atau yang dismotilitas. Keduanya mempunyai perbedaan dalam keluhan di mana yang tipe ulcer biasanya lebih sering mengeluh nyeri sedangkan dismotilitas lebih sering mengeluh kembung.
Pengobatan untuk pasien dengan kasus dispepsia fungsional memang menarik. Penerimaan pasien terhadap penyakitnya diutamakan daripada terapi lainnya. Dokter harus mengajak pasien untuk mampu menerima kondisinya dulu dengan baik agar terapi selanjutnya bisa berlangsung baik. Pengobatan simptomatik untuk lambung boleh terus dilakukan namun pada beberapa kasus dikatakan bahwa pengobatan dengan menggunakan antidepresan golongan SSRI atau SNRI dan TCA membantu dalam proses perbaikan gejala dan pencegahan gejala tersebut berulang. Selain itu, keseimbangan sistem saraf otonom juga perlu diperhatikan. Pasien dengan gangguan kecemasan yang mengalami gangguan dyspepsia fungsional biasanya lebih sering sulit sembuh daripada yang tidak. Ini membuktikan bahwa adanya masalah gangguan jiwa memperberat kondisi gangguan medis fisik dan begitupun sebaliknya.
Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan Dispepsia Fungsional. Salam Sehat Jiwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar