Senin, 15 Mei 2017
(Arena Bobotoh) Dilarang Mencintai Persib ..
“Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang, tapi mencintailah sepuasmu karena mencintai itu tidak pernah dilarang”
Di Bandung dan di daerah lain, ada perayaan hari khusus yang tidak ditandai merah di kalender. Hari itu adalah hari Persib atau Persib Day. Saat Persib Day, semua diskriminasi sirna. Miskin atau kaya, tua atau muda, apapun agamanya, apapun pekerjaannya, apapun geng motornya, semua dipersatukan oleh Persib. Persib Day adalah hari di mana jomblo setara dengan orang yang punya pasangan. Istri, calon istri, pacar, calon pacar, bakal calon pacar dan bakal calon pacar cadangan, semua dilupakan dan diabaikan demi Persib. Persib dulu, baru kamu. Begitu katanya.
Persib Day identik dengan nobar. Baik itu cafe, pangkalan ojeg, lapangan RW, kampus dan kantor, bisa jadi area nobar. Sudah jadi ritual sejak berpuluh-puluh tahun lamanya, saat Persib bertanding, aktivitas Bandung menjadi seakan berhenti. Semua fokus ke layar proyektor, layar TV atau radio untuk memantau pertandingan Persib. Andaikan ada acara konser gratis dari band atau penyanyi kelas dunia sekalipun yang bentrok waktunya dengan pertandingan Persib, dijamin acara itu akan sepi. Pengajian pun kadang digeser waktunya ke sore/malam sesuai jadwal Persib. Pendeknya, Persib sudah membudaya, mendarah-daging, meresap ke denyut nadi.
Malam minggu kemarin, nobar juga dilakukan di salah satu spot ikonik Bandung, yaitu Gedung Sate. Kebetulan di lapangan Gasibu ada acara lain yang waktunya bersamaan dengan nobar Persib. Bobotoh yang pada dasarnya someah, ramah dan bersahabat, bersikap welcome dan menghormati acara di Gasibu tersebut. Nobar berjalan seru dan menarik, dan tentunya ramai dengan kemeriahan khas bobotoh. Acara di Gasibu juga berjalan dengan lancar.
Sayang sekali, kesomeahan dan keramahan bobotoh tidak dibalas dengan baik. Ramai di sosial media, cuitan-cuitan yang menganggap acara nobar Persib di Gedung Sate ini mengganggu acara di Gasibu.Akun gubernur, akun organisasi bobotoh, akun-akun info Persib dan akun personal diganggu dengan cuitan yang bertendensi negatif. Padahal, nobar Persib di Gedung Sate ini dihadiri Gubernur Jabar, sehingga pasti atas sepengetahuan dan mendapat izin keramaian dari Kepolisian. Akun twitter resmi Biro Humas Pemprov Jawa Barat (@humasjabar) sudah sangat baik dalam menjelaskan rangkaian acara nobar ini. Bobotoh tentu kecewa dengan tuduhan-tuduhan buruk yang ada. Kekecewaan ini jelas menambah kekecewaan bobotoh, karena sebelumnya hasil pertandingan di Padang juga tidak berakhir dengan kemenangan.
Sudah menjadi budaya berpuluh-puluh tahun lamanya bahwa dukungan ke Persib, baik di stadion atau di lokasi nobar, selalu ramai dan meriah. Tidak pada tempatnya jika budaya turun-temurun itu dipermasalahkan. Toh nobar tidak diadakan di dekat rumah ibadah atau rumah sakit, sehingga tidak berpotensi mengganggu. Lagipula acara di Gasibu tersebut adalah acara tamu, dalam artian acara luar dan bukan acara yang berhubungan dengan Bandung atau Jawa Barat. Sehingga, tamulah yang harus menghormati tuan rumah, bukan sebaliknya.
Hak berserikat dan berkumpul sudah dijamin dan dilindungi oleh konstitusi di Indonesia, dan jaminan dan perlindungan itu tidak berubah sejak konstitusi kita ditetapkan pada tahun 1945. Semua orang berhak memilih untuk berserikat dalam hal apa dan berkumpul di mana. Tentunya hak bobotoh harus dihormati, sebagaimana bobotoh menghormati hak mereka. Selama para peserta acara di Gasibu masih menjadi warga negara Indonesia, mereka pun harus menghormati konstitusi Indonesia.
Cuitan yang paling membekas di hati adalah akun yang tega menyatakan bahwa Jawa Barat adalah basis ekstrimis, hanya gara-gara komentar-komentar warga Bandung yang lebih mengutamakan nobar Persib daripada acara di Gasibu tersebut. Sejak berpuluh-puluh tahun, orang Bandung sudah melupakan anak-istri dan pekerjaan demi Persib, apalagi sekedar acara tamu? Jika acara di Gasibu itu agenda Walikota Bandung atau Gubernur Jawa Barat sekalipun, orang Bandung pasti mendahulukan Persib. Mudah sekali melabeli seseorang ekstrimis, hanya karena lebih mencintai budayanya sendiri daripada agenda acara orang lain yang menjadi tamu. Bagaimanapun, jika menjalankan budaya mencintai Persib disebut ekstrimis, maka saya bangga menjadi ekstrimis.
Bobotoh tidak selalu menempatkan Persib di atas segalanya. Masih ada yang harus didahulukan seperti kewajiban kepada Tuhan, bakti kepada orang tua, serta nafkah keluarga. Buktinya, bobotoh protes saat kick-off pertandingan berdekatan dengan adzan Maghrib. Bagaimanapun cinta bobotoh kepada Persib, tidak akan mengalahkan kecintaan kepada Sang Pencipta. Mencintai Persib adalah anugerah dari Tuhan. Secara tidak langsung, Persib telah mengenalkan kita dengan banyak orang, sehingga bisa saling memberi manfaat. Identitas ke-Persib-an inilah yang mempersatukan banyak suku, ras, agama, bahkan negara. Apapun yang terjadi, bagi bobotoh, Persib adalah kita, dan kita adalah Persib.
Bagi yang kesulitan memahami kecintaan bobotoh terhadap Persib, bayangkan saja tentang kecintaan terhadap seseorang misalnya. Kita tidak bisa diintervensi siapapun dalam mencintai seseorang. Demikian pula, perwujudan rasa cinta kepada seseorang itu tidak bisa diatur oleh siapapun. Jika kita mencintai seseorang maka tidak boleh ada yang protes kenapa yang kita cintai itu lebih diutamakan daripada yang lain.
Apalagi jika kecintaan itu bersifat komunal. Rania Salsabila dan para saudara kandungnya tidak bisa kita persalahkan karena dia lebih mencintai dan lebih mengutamakan Nil Maizar daripada Djanur. Sudah jelas.
Terakhir, mari kita renungkan hal apakah yang menjadi seburuk-buruknya kesedihan dalam mencintai Persib.
Persib kalah? Persib degradasi? Ya, bisa jadi kedua hal itu adalah hal terburuk dan tersedih bagi bobotoh. Tapi ternyata bukan itu. Persib kalah tidak masalah, Persib degradasi sekalipun kita masih bisa menonton dan mendukungnya di divisi bawah. Kesedihan paling buruk bagi kita adalah saat kita dipermasalahkan dan dilarang untuk mencintai Persib di kota sendiri. Bahkan dalam kehidupan, dilarang mencintai adalah siksaan yang terburuk. Tuhan menciptakan hati untuk mencintai. Melarang seseorang mencintai sesuatu, berarti melarang seseorang untuk hidup. Bukankah cinta adalah nafas dari kehidupan?
Ditulis oleh @kakarindingan, tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar