Gerakan pemberian imunisasi bagi anak digalakkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Namun, di kalangan umat Islam, imunisasi masih menjadi perdebatan. Permasalahannya pada proses pembuatan vaksin dalam imunisasi yang masih menggunakan media haram. Di sisi lain, proses pencegahan penyakit dengan pembentukan imunitas tubuh diperlukan.
Bagaimana pandangan ulama soal hal ini?
Pengeritian imunisasi sendiri menurut Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah proses menginduksi imunitas secara buatan, baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif).
Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respons imun seluler yang melawan agen penginfeksi. Sedangkan, imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksisecara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin.
Dalam hal imunisasi, khususnya polio, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa pada tahun 2002. Secara ketentuan hukum, MUI tegas menyebut penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal atau mengandung benda najis adalah haram.
Namun, proses pemberian imunisasi khususnya polio pada anak-anak yang menderita immunocompromise pada saat ini dibolehkan dengan catatan sepanjang belum ada jenis vaksin lain yang suci dan halal. MUI juga merekomendasikan kepada pemerintah agar mendesak WHO memperhatikan kebutuhan obat-obatan yang suci dan halal bagi kaum Muslimin.
Secara zat, vaksin polio dihukumi haram karena dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi meskipun dalam hasil akhirnya tidak terdeteksi unsur babi. Hingga saat ini belum ditemukan jenis vaksin lain yang suci dan halal.
Kemudian, ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya menggunakan benda najis sebagai obat. Imam Zuhri berkata, tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang dideritanya sebab hal itu najis. Dasar yang dipakai Alquran surah al-Maidah ayat 5, "... Dihalalkan bagimu yang baik-baik ...." Serta perkataan dari Ibnu Mas'ud tentang minuman keras, "Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan padamu." (Riwayat Imam Bukhari).
Sementara, ulama yang membolehkan pengobatan dengan sesuatu yang najis karena belum ada benda suci yang menggantikannya. Pendapat ini dikeluarkan oleh Muhammad al-Khathib dan Mughni al-Mukhtaj. Al Izz bin Abd al-Salam dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam berpendapat bolehnya berobat dengan benda najis jika belum menemukan benda suci untuk menggantikannya. Alasannya, mashlahat kesehatan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis.
MUI juga mengambil beberapa kaidah fikih, di antaranya dharar harus dicegah sedapat mungkin dan sesuatu yang darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. Kedaruratan dalam hal ini adalah belum ditemukannnya media vaksin yang suci dan halal. Selain itu MUI dalam fatwanya juga merekomendasikan penguatan pemberian sistem tubuh anak lewat air susu ibu (ASI). Ibu harus memastikan pemberian colostrum (al-liba') kepada anaknya, yakni ASI yang keluar pertama kali.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengambil hukum tidak jauh seperti MUI. Muhammadiyah membolehkan vaksinasi polio sepanjang belum ada vaksi lain yang bebas dari enzim tripsin. Dasar pengambilan hukumnya adalah memakai kaidah fikih, "Apabila bertentangan dua mafsadah (kerusakan), maka dikerjakan yang ringan mafsadah-nya."
Penyakit polio adalah kerusakan, enzim tripsin dari babi juga sebuah mafsadah. Namun menimbang bahaya polio yang mengancam, mafsadah penyakit ini dinilai lebih besar dari mafsadah menggunakan sarana yang najis.
Saat ini dinilai belum ada pengganti vaksin dengan media pemilahan sel selain babi. Diperlukan penelitian yang cukup lama dan dana yang besar. Artinya tidak ada pilihan lain, sementara untuk membentengi anak-anak dari serangan virus polio merupakan satu keharusan. Jika tidak, akan terjadi malapetaka yang akan diderita seumur hidup. Majelis Tarjih merekomendasikan agar dunia farmasi segera melakukan penelitian pembuatan media vaksin yang suci dan negara-negara Muslim bisa memberikan donor dana penunjang penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar