Hari Raya Idul Adha adalah salah satu momen
yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin di seluruh dunia. Kaum Muslimin yang
sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah menunggu momen ini sebagai
rangkaian puncak ibadah haji. Sementara umat Islam yang tidak menunaikan
ibadah haji mengamalkan puasa sunah Arafah kemudian berkurban pada hari
nasr sesudahnya.
Kurban adalah ungkapan rasa syukur kepada
Allah SWT atas nikmat yang diberikan. Utamanya nikmat pada harihari di
bulan Dzulhijjah. Kurban juga menjejak syukurnya Nabi Ibrahim AS atas
anaknya yang masih hidup Ismail AS dengan memotong seekor kambing
jantan. Ibadah kurban juga diperintahkan Allah SWT, “Maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah,” (QS al- Kautsar [108]:2).
Perintah kurban juga dikuatkan dalam sunah Nabi SAW. Dalil sunah
tentang kurban diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa memiliki kemampuan sedangkan dia tidak
menyembelih kurban, maka jangan mendekati tem pat shalat kami.” (HR Ibnu
Majah dan dishahihkan oleh Hakim).
Dalam riwayat Muslim, Anas
bin Malik RA berkata, “Nabi SAW menyembelih kurban berupa dua ekor
kambing jantang yang besar dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri
keduanya. Ketika menyembelih, beliau membaca basmalah dan bertakbir
serta meletakkan kaki beliau di atas sisi tubuh keduanya.” Momen
beryukur dalam kurban juga tercermin dari diberikannya daging kurban
kepada para fakir miskin.
Lalu bolehkah daging kurban dibagikan kepada non-Muslim?
Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fikih Indonesia menjelaskan, ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Beberapa kalangan
ulama membolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim yang tidak
memerangi umat Islam (ahlu zimmi). Sebagian lain tidak membolehkan.
Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging kurban kepada
non-Muslim. Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan
makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban
kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya
boleh.
Imam al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur
berpendapat daging kurban boleh dibagikan kepada non- Muslim yang fakir
miskin. Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau
memakruhkannya, termasuk me makruhkan bila memberi kulit dan
bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.
Al-Laits
berpendapat jika daging itu dimasak kemudian non-Muslim dari kalangan
ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.
Imam
Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunah
dengan kurban wajib. Kurban wajib di antaranya adalah kurban nadzar.
Jika daging kurban berasal dari kurban sunah seperti saat Idul Adha
karena ada kemampuan, maka boleh daging kurban dibagikan kepada
Non-Muslim. Sementara jika kurbannya termasuk wajib maka memberikannya
kepada non- Muslim dilarang.
Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat,
yang paling kuat adalah kebolehan memberikan daging kurban kepada
non-Muslim. Terlebih kondisi mereka kekurangan. Hikmahnya adalah dengan
kebaikan yang diberikan ada nilai positif kepada umat Islam. Dengan itu
siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim. Dalam ahkamul fuqoha
disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.
Kitab
kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini menyebut
diperbolehkannya memberikan daging kurban kepada non-Muslim zimmi.
Namun, syaratnya daging kurban itu dari kurban sunah bukan yang wajib.
Al Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya tidak
memberikan bagian apa pun dari kurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika
seorang fakir miskin Muslim menerima daging kurban, ia tetap tidak
boleh memberikan daging tersebut kepada non-Muslim.
Mantan
mufti Mesir Syekh Dr Ali Jum’ah Muhammad ketika ditanya tentang
pemberian daging kurban kepada pengungsi non-Muslim, beliau
memperbolehkannya. Diperbolehkan juga menurut beliau memberikan daging
kurban keseluruhannya karena mereka sangat membutuhkan. Beda halnya
dengan zakat yang hanya boleh diberikan kepada Muslim saja.
Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi berpendapat bolehnya memberikan daging
kurban kepada non-Muslim mu’ahad (yang terikat perjanjian dan tunduk
kepada negara Islam) maupun yang menjadi tawanan kaum Muslimin.
Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Mumtahanan ayat 8,
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.”
Dasar lainnya adalah Nabi SAW pernah
menyuruh Asma binti Abu Bakar RA untuk tetap memberikan uang kepada
ibunya meski ibunya saat itu masih dalam keadaan musyrik.
Dia
boleh diberi daging kurban karena kondisinya yang miskin, atau ada
hubungan kerabat atau bertetangga ataupun untuk menarik hatinya. Karena
yang terhitung ibadah adalah dalam menyembelihnya untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan beribadah kepada- Nya. Adapun dagingnya, yang paling
utama adalah sepertiganya dimakan (oleh yang berkurban), sepertiga
dihadiah kan kepada kerabat, tetangga dan teman-teman, dan sepertiganya
lagi disedekahkan kepada fakir miskin.
Jika dia melebihkan atau
mengurangi dalam pembagian ini atau mencukupkan dengan sebagian saja
maka menurut Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi hukumnya tidak apa-apa.
Jika non-Muslim itu adalah kelompok yang memusuhi umat Islam, Lajnah
Daimah secara terang melarang memberikannya daging kurban atau sedekah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar