Oleh: Wicak Hidayat
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah lama dianggap sebagai
momok, terutama bagi kalangan penggiat kebebasan berpendapat. Sebabnya,
banyak sekali kasus UU ITE digunakan untuk memenjarakan seseorang karena
mengemukakan sesuatu melalui internet.
Situs Southeast Asia
Freedom of Expression Network (safenetvoice.org) mencantumkan 152 kasus
terkait UU ITE. Mulai dari Narliswandi Piliang dan Prita Mulyasari di
2008 hingga Haris Azhar dan beberapa kasus lain di Agustus 2016.
Di
sisi lain, saat ini sedang berlangsung proses revisi UU ITE. Salah
satunya konon bisa membuat undang-undang itu tak lagi menyeramkan
seperti sebelumnya. Ancaman hukuman yang diajukan lebih rendah (4 tahun)
membuat tidak ada perlunya penahanan langsung, seperti yang dialami
oleh Prita Mulyasari.
Apa hubungannya? Ini karena Pasal 21 ayat 4
huruf a, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa penahanan
dilakukan pada tersangka yang diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih.
Lalu, apakah sudah boleh bersorak-sorai atas revisi yang sedang dalam proses ini?
Di
satu sisi, arahnya mungkin sudah benar. Penahanan pada tersangka adalah
hal yang sangat memberatkan secara psikologis. Pengurangan ancaman
hukuman mungkin bisa mengurangi hal ini.
Namun tetap saja ada
ancamannya. Tidak ada yang bisa menghentikan UU ITE tetap digunakan
dalam berbagai kasus seperti yang terdaftar di SAFEnet itu. Hanya
penanganan status tersangkanya saja yang mungkin berbeda.
Perundungan SiberPasal
yang kerap digunakan dalam kasus-kasus itu adalah Pasal 27, mengenai
pencemaran nama baik. Namun itu bukan satu-satunya, ada juga Pasal 28
(kebencian) dan Pasal 29 (kekerasan).
Nah, bersamaan dengan
revisi yang sedang dalam proses dan dikabarkan sudah menjelang tuntas
itu, ternyata ada pula perubahan di Pasal 29. Selain diturunkan
ancamannya, ada istilah “baru” yang masuk ke pasal tersebut.
Istilah itu adalah
cyberbullying atau bisa juga disebut perundungan siber.
Ist Ilustrasi cyber bullying
Sulit untuk menebak bagaimana ceritanya istilah
cyberbullying bisa masuk ke dalam percakapan (dan kemudian
draft) revisi UU ITE. Soal ini pun baru diketahui belakangan, di akhir Agustus 2016, saat pembahasannya dianggap sudah mau selesai.
Mau misuh-misuh pun rasanya seperti tidak akan mencapai apa-apa. Jadi, apa
dong yang bisa dilakukan?
Pertama-tama, mungkin, adalah kita sama-sama berusaha memahami apa yang dimaksud dengan
cyberbullying itu. Pemahaman dimulai dari kata tersebut, yang merupakan “perkawinan” dua kata:
cyber dan
bullying.
Bullying (atau kerap disebut perundungan) dijelaskan oleh Dan Olweus dalam bukunya di tahun 1993,
Bullying at School: What We Know and What We Can Do.
Menurut Olweus, seseorang telah menjadi korban perundungan jika “ia
terpapar, berulang-kali dan selama kurun waktu tertentu, pada tindakan
negatif yang dilakukan satu atau lebih orang, dan dia mengalami
kesulitan membela dirinya.”
Tiga hal yang digarisbawahi:
- Perundungan itu merupakan perilaku agresif, yang melibatkan tindakan yang tidak dikehendaki dan negatif.
- Perundungan menyangkut sebuah pola, yang berulang dan bukan hanya sesaat (diulangi lagi dan lagi, selama kurun waktu tertentu).
- Perundungan melibatkan sebuah ketidakseimbangan kekuasaan, dalam hal ini korbannya pada kondisi tidak sanggup melawan.
Nah, coba tambahkan hal di atas dengan pemahaman soal kata
cyber, yang boleh dibilang merujuk pada “perbuatan yang dilakukan secara
online alias di dunia maya atau dengan perantara internet”. Jadilah
cyberbullying, perundungan yang dilakukan
online.
Makna "bullying" yang kaburTapi kalau melihat pada percakapan sehari-hari, baik yang terjadi
online atau tidak, istilah
bullying kerap digunakan dalam kosa kata seperti: mem-
bully atau di-
bully. Konteksnya, ini menjadi semacam ameliorasi makna (yang buruk dibuat lebih baik).
Karena, dalam konteks percakapan sehari-hari, kata di-
bully
merujuk pada aksi yang dilakukan terhadap seseorang dengan maksud
bersenda-gurau. Perbedaan signifikannya ada pada ketidakseimbangan
kekuasaan.
Misalnya, ketika ada yang berkata “Wah, Jokowi lagi di-
bully netizen!”
itu tidak serta-merta bermakna Presiden Joko Widodo sedang jadi korban
perundungan. Di sini ada ketidakseimbangan kekuasaan yang mungkin bisa
dibilang terbalik. Justru kekuasaan Presiden terhadap para
netizen lebih besar, sehingga bukan dalam kondisi tidak sanggup melawan.
Atau, ketika ada yang bilang “Wah, gue di-
bully
deh!” dalam percakapan di social media. Hal yang dimaksud bisa jadi
sekadar, bahwa ia menjadi bahan olok-olok sementara teman-temannya.
Kekuasaan bukan tidak seimbang, karena antara “dia” dan “temannya”
sama-sama bisa melawan.
Canda Kanak-kanakSatu hal yang, entah luput atau memang sudah diketahui, kata-kata
bullying lebih banyak mengacu pada kanak-kanak sampai remaja. Ini karena, setelah dewasa tindakan seperti itu sudah tidak lagi
bullying, karena orang dewasa harusnya sudah paham baik-buruk dan semacam itu.
Bagi
remaja, seperti dituturkan peneliti Shaheen Shariff dari McGil
University, ada kebutuhan besar untuk bisa diterima di teman sebayanya.
“Hormon yang bergejolak, kesadaran sosial dan seksual, membuat reputasi
mereka di antara teman sebaya sebagai hal paling penting bagi harga diri
dan rasa percaya diri remaja,” sebut Shariff dalam sebuah artikel.
Masalahnya,
para muda-mudi tersebut, internet adalah tempat yang sangat bising.
Salah satu cara mereka untuk menonjol di antara kebisingan itu, untuk
memancing tawa dan perhatian rekannya, adalah dengan melakukan kegiatan
online yang ekstrim.
Ya,
dalam kasus-kasus tertentu ini bisa berarti mengunggah atau berbagi
foto yang tidak senonoh atau menjelek-jelekkan orang lain. Dan,
parahnya, ini bisa juga berarti tindakan yang mereka ambil masuk dalam
kategori
cyberbullying.
Jadi, mana yang dimaksud
cyberbullying
dalam revisi UU ITE tersebut? Istilah dalam percakapn sehari-hari? Atau
yang merujuk pada tindakan anak-anak? Atau, ada yang lain?
Lalu,
apakah anak-anak kemudian harus dipenjara? Empat tahun lamanya, jika
mengikuti ancaman pada rancangan revisi Pasal 29 UU ITE.
Ruang ketigaOrang
tua memang akan sangat mudah mengambil jalan pintas dengan melarang.
Harus diakui, saya pun merasakan hal yang sama. Reaksi pertama akan
bahaya adalah menjauhkan sejauh-jauhnya. Tapi, melarang anak dari akses
internet bukanlah solusi jangka panjang yang efektif.
Konon,
anak butuh “ruang ketiga” dalam proses menuju kedewasaan. Konsep “ruang
ketiga” ini merujuk pada wilayah tempat anak bisa berkumpul di luar
pengawasan pihak berwenang (orangtua dan guru). Disebut ruang ketiga
karena ruang pertama adalah rumah dan ruang kedua adalah sekolah.
Di
ruang ketiga, anak-anak (dan remaja) mengatur dirinya sendiri. Mereka
mendapatkan “kebebasan” dan (harapannya) belajar bagaimana bertindak di
lingkungan sosial, seperti saling menghargai.
Seiring
perkembangan teknologi, banyak media sosial dan jejaring sosial yang
kemudian menjadi ruang ketiga bagi mereka. Terutama, layanan media
sosial atau jejaring sosial yang tidak digemari generasi orangtua
mereka. Misalnya saja Snapchat atau Line.
Selain media sosial,
ruang ketiga lain yang juga bisa dimanfaatkan adalah permainan.
Contohnya adalah Minecraft, sebuah game yang kini dimiliki Microsoft
yang banyak dijadikan contoh penerapan ruang ketiga yang relatif aman.
Tentu,
tidak ada yang sepenuhnya aman. Namun pondasi dasar dari Minecraft
adalah kebebasan pemain untuk membuat berbagai hal, potensi kreativitas
yang sangat luas ditambah aturan yang relatif minim membuat game itu
menarik untuk dijelajahi.
Selanjutnya Bagaimana?Adanya soal
cyberbullying dalam
draft
revisi UU ITE yang sedang dalam proses itu seharusnya membuat kita
berpikir. Apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah
cyberbullying tersebut.
Ya,
pertama kita harus mengakui bahwa memang ada masalah. Terutama bagi
anak-anak dan remaja. Kedua, kita harus mau mencari solusi yang tidak
instan. Ini soal masa depan
lho! Seperti kata iklan jaman dahulu:
"buat anak kok coba-coba?"Pikirkan
hal-hal seperti “ruang ketiga” yang aman dan nyaman. Pikirkan bahwa
anak butuh untuk bermain, sebagai bagian dari proses memahami posisinya
dalam dunia. Mengikat anak pada meja belajar dan membatasi kegiatannya
jangan-jangan malah berdampak negatif pada masa depannya.
Tulisan
ini tidak menawarkan solusi. Saya pun sedang mencari cara paling baik
untuk membantu anak-anak saya tumbuh. Psikolog Alison Gopnik mengatakan,
orang tua lebih mirip tukang kebun daripada tukang kayu.
Tukang
kebun merawat tanaman agar tumbuh baik, dengan memberikan apa yang
dibutuhkan tanaman itu. Hasil tukang kebun, biasanya, akan lebih besar
dari aslinya.
Tukang kayu memahat kayu sesuai keinginannya,
dengan membuang bagian yang tidak sesuai. Hasil tukang kayu, biasanya,
akan berkurang dari aslinya.