Rabu, 06 April 2016
Belajar Ekonomi dari Kisah Nabi Syuaib ..
Pelajaran ekonomi di dalam Alquran tak hanya datang saat masa Rasulullah. Ekonomi syariah sudah diceritakan Alquran lewat nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Setelah "menuangkan" kisah Nuh dan kaumnya; Hud dan kaum 'Ad; Shaleh dan kaum Tsamud; Luth dan kaumnya; Alquran kemudian mengungkap kisah Syu'aib dan kaum Madyan. Kisah ini termaktub dalam QS Al A'raf: 85-93, QS Hud: 84-89. Untuk lebih singkatnya ayat-ayat tersebut hanya dikutip sebagian saja.
"Kepada bangsa Madyan," kata Allah dalam ayat itu, "Kami mengutus Nabi Syu'aib yang juga berasal dari kalangan mereka. Lalu ia berkata kepada mereka: Wahai kaumku, jadikanlah Allah sebagai satu-satunya tempat mengabdi, orientasi hidupmu. Telah datang kepadamu keterangan yang jelas dari Tuhanmu.
Karena itu -- dalam berekonomi -- berlakulah adil dan jujur ketika menakar dan menimbang, janganlah sekali-kali mengurangi hak orang, walaupun sedikit, dan jangan pula berbuat kerusakan di bumi setelah ada perbaikan, yang demikian lebih baik bagi kalian jika kalian benar-benar beriman."
Dikutip dari Harian Republika, Aunur Rofiq dalam artikelnya berjudul 'Doktrin Ekonomi Nabi Syuaib' menulis, Ada beberapa catatan penting yang dapat diangkat di sini dari dialog antara keduanya. Pertama, aspek transendental. Nabi Syu'aib melihat bahwa semua aktivitas termasuk ekonomi, baik yang berkaitan dengan individu atau kelompok, harus ditata berdasarkan moralitas agama atau prinsip tauhid, bahwa Allahlah pemilik hakiki harta tersebut.
Manusia hanyalah pemilik nisbi, sesuai dengan keberadaannya yang nisbi pula, tidak mutlak. Jika demikian mengapakah manusia begitu rakus dan sewenang-wenang dalam mendapatkan dan menggunakan kekayaannya. Padahal secara fakta, ia pasti akan kembali (mati) dan tidak ada yang dapat dibawanya kecuali amal konstruktifnya -- melalui kekayaannya.
Manusia perlu menyadari, dia bukan sayyid al-kaun (raja, tuan dan pemilik alam semesta), tapi hanya sebagai khalifah -- "perpanjangan tangan" -- dari pemilik alam ini (Tuhan). Karena itu, tidak boleh tidak, ia harus taat dan mengikuti aturan main yang mengangkat dan memberinya amanat.
Penyimpangan dan kecurangan akan berakibat fatal bukan hanya pada dirinya, tapi juga akan menimpa orang lain dan lingkungannya. Bagaimanapun keberadaan dirinya, orang lain dan realitas alam di pihak lain memiliki kaitan yang sangat erat dan terpusat pada satu zat yaitu Allah SWT.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar