LANGIT biru bukanlah selalunya cerah. Kadang-kadang ia mendung, namun belum tentu juga datang hujan.
Langit terang dengan terik mentari garang pun, bisa sekejap berubah warna kelam dengan hiasan petir di atas sana. Teringat pada ayat-Nya, “Laa yukallifullohu nafsan illa wus’aha…”. “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupan nya…”. (QS. Al-Baqarah : 286). Subhanalloh!
“Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah,…” semoga kalimat syukur senantiasa kita lantunkan dalam sanubari manakala hentakan-hentakan ‘yang kita sebut duka dan beban’ itu datang tiba-tiba. Takdir, hanya Allah SWT jua yang maha menguasai segalanya.
Saya amat percaya dengan beberapa point penting :
- Setiap peristiwa, pasti berhikmah. Semua kejadian memiliki jutaan pelajaran. Inilah didikan-Nya buat kita.
- Setiap ‘Ujian alias tantangan’ yang dilimpahkan kepada hambaNya adalah sesuai dengan kemampuan untuk kita menerimanya.
- Setiap duri dan cabaran datang yang melanda, Allah ta’ala ingin memberi kita peluang untuk menjadi khalifahNya yang lebih baik daripada sebelumnya.
- Setiap ujian dan cabaran —yang lebih dahsyat ketika melanda diri kita, tetap ada orang lain yang merasakan hal lebih dahsyat ujian buatnya, diberikan karunia ujian itu oleh Allah Yang Maha Mengetahui.
- Setiap diri mukmin yang dicintaiNya, pastilah merasakan ujian demi ujian hidup… dan ini berlaku sampai mati, istirahat abadi adalah kematian. Tatkala tidur malam di dunia fana ini pun belum tentu lelap, tidur adalah mati sementara. Sementara itu, mati adalah tidur selamanya.
Bukan main gembira diriku saat mengetahui kehamilan kelima, lima bulan yang lalu. Alhamdulillah… betapa gembira ketika mengetahui akan hadir amanah lagi yang meramaikan ummat nabi Muhammad Saw kelak. Lalu sebulan setelah kabar gembira, detak jantungku terasa berhenti, bumi yang dipijak seolah bergoyang, kaki terasa kuyu dan lemas. Sebab seorang wanita sempurna di mataku~ yang melahirkan, menyusui, dan sepenuh masa hidupnya selalu merawatku, adik dan kakak-kakak ~ telah berpulang ke rahmatulloh, senin malam di penghujung januari. Tanpa tanda penyakit menahun, sakit keras, maupun keluhan raganya, selain firasat-firasat nan terasa dari kalimat lembutnya yang kian teresap dalam nurani sejak beberapa bulan terakhir.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, saya baru saja menghibur dua sobat berbeda benua, mereka terkena penyakit pada lambung dan perlu operasi kista di rahim. Bahkan dua sahabat yang baru terdiagnosa kanker, sempat membuat diriku kian berkaca diri, “Sungguh nikmat karunia ujian datang bertubi-tubi sebagai rezeki buat hamba-hamba Allah Swt yang harus terus memperbaiki diri… InsyaAllah…”
Selalunya praktek tak semudah teori. Sebagai seorang sukarelawan pengurus jenazah muslimah, saya tak menyangka~ barusan setahun yang lalu kursus mengurus jenazah itu kuikuti, betapa cepatnya tatkala harus memandikan dan mengafani mamandaku sendiri, Innalillahi wainna ‘ilaihi roji’uun…
Pikiran berkecamuk, betapa semingguan itu saya menerapi akupuntur dan pijatan buat beberapa manula, melayani para ibunda dari teman-teman dekat yang kangen dengan ‘terapi pijatan’, bahkan menjenguk ibunda sobat yang tengah nazak, sementara saya tak dapat berada di samping ibu kandung sendiri tatkala beberapa menit akhir sakaratul maut beliau, Ya Allah… Subhanalloh, peristiwa ini lebih perih dibandingkan kehilangan ribuan euro saat ditipu orang Yunani-Poland lima tahun yang lalu, bahkan lebih membekukan raga dibandingkan kala kedinginan di suhu minus tiga puluh lima derajat, tiga tahun lalu di Krakow.
Ya Allah…
Terasa gelombang kiamat kecil itu dalam lingkungan keluarga besar kami, ternyata amat pahit kenyataan ditinggal oleh seorang ibu saat Allah SWT memanggilnya untuk berpulang.
Ketika saudara-saudariku datang melawat dan berusaha menghibur, ragam mutiara indah memasuki relung hati ini terkait dengan peristiwa tersebut. Ada seorang saudari berkata, “Saat aku juga menghadapi hal yang sama, terasa kakiku pincang. Ibu biasanya yang mengajari kemana arah kakiku berjalan…” Bahkan ada satu temanku, yang ternyata pada hari duka itu, tepat ayahnya pun berpulang ke rahmatulloh, sehingga kami tidak sempat saling mengunjungi. Kami mengantarkan orang tua ke tempat peristirahatan terakhir di waktu yang sama, hanya berbeda lokasi kecamatan saja.
Sister lainnya pun berujar, “Malah kalau saya dahulu saat ibunda meninggal dunia, kami masih kanak-kanak, kakak-beradik yang seperti anak ayam kehilangan induk… Cukup lama dan panjang pengobatan luka dan duka, malah bertambah banyak prahara dalam keluarga… bersyukurlah kalian yang sudah berumah tangga dalam sakinah mawaddah, dalam kemandirian saat melepas orang tua berpulang…”
Ummu Sholeha sahabatku juga berkata, “Dulu waktu ibu meninggalkan dunia ini, saya yang sedang berdiri mengajar di depan kelas, dikabari melalui telepon, lalu kaki saya seolah telah lumpuh, tak kuasa berdiri lagi…”
Sementara dua bulan yang lalu saat ustadz Oemar Mita berbagi kabar duka tentang ibundanya, ia berujar, “Musibah terbesar seorang hamba ialah ketika pintu tengah syurga yang indah telah ditutup oleh Alloh yaitu dengan wafatnya ibunda tercinta.”
“Segala kesedihan dan perih hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Saya redha dan akur dengan ketetapan ini. Tiada apa yang mampu saya lakukan melainkan hanya berserah diri kepadaNya. Saya amat percaya, setiap ketentuan Allah adalah yang terbaik buat hambaNya yang hina ini.” Kata-kata itu terngiang kembali, kalimat nasehat dari saudara-saudariku dahulu, yang bermigrasi dari tanah air mereka saat terjadi pergolakan.
Aiiih, mereka yang telah yatim piatu sejak balita, mereka yang kehilangan tempat bernaung dan terjajah, mereka yang selalu berhadapan dengan kebisingan para penzalim dan perampas tanah, mereka yang berhias darah dan air mata setiap detiknya, ternyata dapat begitu cantik menyematkan kalimat syukur atas segala nikmatMu, ya Allah…
Duhai Allah, setiap detik saya memang harus selalu menebalkan huruf dalam ingatan di kepala ini, bahwa “Praktek selalu tak semudah teori! Astaghfirrulloh…”
Tatkala sosok nan tercinta itu beristirahat dengan tenang, kenapa diri ini tak segera menyadari akan pentingnya berserah diri dalam segala ketetapanNya?! Bahkan saya lupa bahwa dalam Rahim ini ada bayi kecil berusia sebelas minggu yang diajak memandikan dan mengafani neneknya, namun diabaikan asupan gizinya selama beberapa hari. Yaaah, ternyata seminggu tidak makan dan tidak minum adalah hal ‘yang tampak tak aneh’ saat kiamat kecil itu melanda keluarga besar kami. Semua lupa pada rasa lapar, lupa pada urusan diri sendiri, saking pedihnya hati dengan kejadian tak terduga itu. Padahal, saat nurani jernih mengenang kejadian demi kejadian dalam waktu dekat, sesungguhnya banyak sikap dari mamanda yang menyiratkan pemberitahuan akan kepulangannya.
Di antara beberapa peristiwa itu adalah beliau menyatakan sungguh merindukan anak cucu semuanya (terutama beberapa cucu yang telah lama tak berjumpa), sehingga kami bergantian mudik bertepatan dengan persalinan adikku di akhir oktober 2014. Lalu beliau pula merasa melihat sosok lain di beberapa momen, yang kami tidak lihat. Bahkan tiga malam sebelum hari tersebut, beliau pindahkan foto-foto lama anak-anaknya ke dekat tempat tidurnya, untuk dipandangi lekat-lekat sebelum terlelap. Kemudian malam sebelum malaikat menjemput, terjadi kebakaran di rumah tetangga, api berkobar dengan cepat, sekejap saja telah menghanguskan dua rumah. Dan yang dilakukan mamanda adalah mengumpulkan dokumen penting serta amanah-amanah keseharian dalam satu tas, lalu ia serahkan kepada adikku, “Cari disini yah nak, kalau kakakmu nanya nanti….”
Malam itu, ia berceloteh kepada adik, “Cari disini nak, kalau nanti nyari kain panjang…” seraya menunjukkan rak di dalam lemari.
Selanjutnya, “Masih ada yang perlu dijahit, ini buat kakakmu…” serta celetukan beliau, “Nanti kalau ayukmu melahirkan, si dek bayi mau dikasih nama ‘ini’ saja, yah?” (ayuk= kakak perempuan, dalam bahasa Palembang)
Serta dari sekian banyak kenangan di saat terakhir itu, ketika beliau menasehati di telepon, “Jaga kondisi yah nak, sehat-sehatin diri… Setiap hari itu sabar-sabar saja menghadapi segala hal, ujian tidak pernah berhenti sampai mati…” Masya Allah!
Insya Allah segala peristiwa yang ada adalah ‘signal’ kepada saya untuk menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelum ini. Saya, kakak-kakak, dan adikku tertunduk lemas menyadari bahwa harta terindah yang berupa ibunda shalehah harus berpulang secepat ini, usia beliau 63 tahun, persis masa hidup rasulullah SAW. Terluka dan sedih dalam qolbu ini mungkin karena kami merasa belum membahagiakan beliau, belum bisa mencontoh segala kehebatan beliau menjadi ibu di mata kami, bahkan belum bisa seperti beliau yang sepanjang hari dan malam senantiasa mendoakan anak cucunda dalam sujud-sujud panjangnya. Astaghfirrulloh, ampuni kami yaa Robbi…
Terakhir melawat anak cucunda di Kuala Lumpur (KL), juni 2014 mamaku sempat ikutan beberapa acara pengajian, perpisahan teman ortu/ wali murid di sekolah, dan merawat Zuhud sampai sembuh kakinya yang tertusuk pecahan kaca, masyaAllah…
Mamaku bertanya, “Enak nih, betah di KL- tanah lahir Sayyif yah? Hehehehe,” lalu kuyakinkan dirinya, dengan ragam fakta yang ada, berada di KL, paling unik dibandingkan dengan wilayah luar negeri yang lain. “Sebab, dimana-mana sudut kota, sahabat WNI selalu ada, bahkan jalinan ukhuwah amat erat— WNI yang proffesor ada, yang dosen bnyk, yang sama-sama nyangkul minyak atau mantengin komputer ada, yang siap sedia melayani jasa antar- jemput taxy pun ada, dll dsb.” Lalu ketika kuperkenalkan dengan sahabat-sahabat dan jiran Melayu, baik-baik semua, walhamdulillah.
Bahasanya pun sama, Palembang pun area ‘melayu’ juga. Kalau jalan-jalan ke Melaka~kayak jalan-jalan ke bagian gedung-gedung tua Palembang.
Saat di KL, mamanda sempat menemaniku ikut kelas acupuncture, hadir praktek membantu proses mengurus jenazah, menyiapkan beberapa bahan dan bingkisan buat sahabat TKW, dsb di sela kegembiraannya memasak segala menu favorit anak cucu.
“Ma’, teman-teman disini baiiik semua… Sahabat sholeh dan sholehat bertebaran…. Ustadz -ustadzah yg siap menularkan ilmu pun banyak, jadi insyaAllah tinggal disini adalah salah satu anugerah nikmatNya yg besar…” Ujarku.
“Yang penting, kalau pulkam cuma sejam lebih… Gak transit tiga kali kayak di Poland yah nak….” senyum leganya.
Ya Allah… atas izinMu kami sudah melalui segala kemudahan berhijrah kembali ke lokasi yang dekat dengan orang tua. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
”Baru kusadari kini, dulu kalau kangen —meskipun lagi di Poland, sebenarnya tinggal terbang, trus masih bisa ketemu… Lha sekarang?! Kangen harus dipendam, rindu harus dibalut doa terus menerus hingga tiba masanya untuk berkumpul kembali…” ujarku pada mas Angga.
Subhanalloh walhamdulillah… Kubisikkan padamu, sahabat-sahabat yang terpisah jarak fisik, “Jangan tunda-tunda pulkam kalian, jangan tunda teleponan dengan orang tua kalian, meski semenit pun…. Karena sakaratul maut adalah pasti, mengintai kita semua yg sedang antri…. ”
Dalam 2014, ada 5 sahabat karibku (berbeda benua, yang biasa bersapa di FB) mengalami kejadian yang sama dalam selang waktu berdekatan, keluarga mengabarkan kepergian orang tua kami via telepon. Namun hanya kami sekeluarga di Kuala Lumpur yang masih sempat ikut serta langsung membantu pengurusan jenazah mamanda tercinta, sebab lima menit usai ditelepon, tiket pesawat ke Palembang sudah didapat, atas izinNya kami dapat terbang di awal pagi, lalu pengurusan jenazah dilakukan saat dzuhur. Laa hawla walaa quwwata illa billah…
Maaf lahir bathin, Syukron jazzakumulloh khoiru jazza atas iringan doa sahabat semua serta semua kalimat pesan nan menguatkan. Cita-cita, target-target diri kita, semoga sejalan dengan ridho Allah ta’ala dan keridhoan orang tua. Aaamiin yaa Robb….
“Termasuk didikan Allah terhadap kita.. Terkadang Allah menguji dengan gangguan dan sesuatu yang menyakitkan dari orang di sekitar kita, sampai hati ini tidaklah bergantung kepada siapapun. Atau menjemput kembali orang terkasih yang selalu kita andalkan. Inilah saat harus kian dewasa, jangan bergantung kepada siapa pun selainNya. Tidak kepada ibu, bapak, saudara, suami/istri dan teman-teman. Akan tetapi, hati kita bergantung kepada-Nya saja. Sungguh telah kita rasakan kasih sayang, pertolongan, dan perasaan lapang dada, semuanya bukti kecintaan Allah ta’ala kepada kita…. Insya Allah.”
Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa fu’anha… Buat mamanda hj. Sahla binti h. Abdul Madjid. Wallohu a’lam bisshowab.
(@bidadari_azzam, KL awal sya’ban 1436h)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar