Di tengah meningkatnya kebutuhan rumah tinggal, permintaan apartemen dan residensial seolah tak pernah putus. Namun, proses transaksi dan pengurusan status kepemilikan hunian antara konsumen dan pengembang kadang menjadi batu sandungan.
Idealnya, konsumen yang membeli rumah secara tunai atau tunai bertahap dari pengembang berhak memperoleh sertifikat hak milik (SHM) konsumen dalam kurun 4-6 bulan sejak akta jual beli (AJB) ditandatangani. Namun, konsumen terkadang mengeluh lantaran rumah sudah lama dihuni, tetapi SHM atas tanahnya belum juga terbit. Padahal, sertifikat itu dibutuhkan tidak hanya sebagai legalitas dan kepastian hukum, melainkan juga alat agunan bank untuk modal investasi.
Persoalan status kepemilikan tanah kerap dijumpai pada hunian residensial (rumah tapak). Sertifikat lahan hak guna bangunan (HGB) milik pengembang residensial wajib dipecah menjadi SHM konsumen sesuai luas unit yang dibeli. Namun, proses pemecahan sertifikat itu yang sering berlangsung lamban.
Prosedur transaksi
Semestinya, prosedur kepemilikan rumah tak perlu ruwet jika konsumen memahami prosedur transaksi dan pengurusan kepemilikan. Sewaktu transaksi, konsumen perlu memastikan biaya-biaya pengurusan surat atau legalitas rumah, asuransi, serta jangka waktu pengurusan.
Adapun biaya yang ditanggung oleh konsumen antara lain, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen dari nilai perolehan obyek kena pajak (NPOKP). Besaran NPOKP diperoleh dari nilai perolehan obyek pajak dikurangi nilai perolehan tidak kena pajak.
Selain itu, biaya AJB dan pengurusan balik nama sertifikat properti dari penjual kepada pembeli. AJB sekaligus menjadi bukti, bahwa konsumen membeli tanah dan bangunan secara tunai. Untuk rumah yang dibeli dari pengembang, bea balik nama biasanya diurus oleh pengembang sehingga konsumen tinggal membayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar