Sertifikat menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah atau lahan. Tak hanya memastikan status hukum atas hak kepemilikan atau penguasaan atas tanah/lahan, sertifikat juga memiliki fungsi lain.
Namun, fungsi utama sertifikat tetap sebagai alat bukti kepemilikan atau penguasaan yang sah atas tanah atau lahan. Secara administratif, selain menjadi bukti kepemilikan sah secara hukum, sertifikat juga menjadi syarat jika kita ingin mendirikan bangunan di atas tanah yang kita kuasai (Baca: Segera, Pastikan Status Hukum Kepemilikan Tanah Anda!).
Untuk mendapatkan sertifikat atas tanah, seseorang harus melewati tiga tahap, yakni permohonan hak. Mereka yang berhak memohonkan haknya adalah para penerima hak atas tanah negara berdasarkan surat keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq direktur jenderal agraria atau pejabat yang ditunjuk, yakni para ahli waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat maupun hak-hak lain; para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tariah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak, dan sebagainya; dan terakhir pemilik sertifikat yang hilang.
Tahap kedua untuk mendapatkan sertifikat adalah pengukuran dan pendaftaran hak. Setelah seseorang melengkapi semua berkas permohonan sertifikat dan diserahkan ke kantor pertanahan setempat, oleh kantor pertanahan akan dilakukan pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran haknya.
Pada hakikatnya, kegiatan pengukuran merupakan penetapan batas-batas tanah. Untuk itu, dalam tahap pelaksanaannya, penting untuk mengajak orang lain yang memiliki tanah berbatasan dengan yang hendak diukur. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya dipetakan serta dibuat surat ukur dan gambar situasinya.
Tahap ketiga adalah penerbitan sertifikat. Pada tahap terakhir ini yang dilakukan adalah membuat salinan buku tanah dari hak-hak atas tanah. Salinan buku tanah beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit/dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah. Hasil akhir itulah yang disebut dengan sertifikat yang kemudian diserahkan kepada pihak pemohon.
Pungli
Menurut Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan Panggabean, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebenarnya tak pernah mempersulit para pemohon mendapatkan sertifikat tanah. Anggapan bahwa permohonan sertifikat tanah berbelit, menurut Doli, lebih karena masyarakat kurang memahami bagaimana prosesnya.
Proses mendapatkan sertifikat tanah tidak semuanya diselesaikan di BPN. Ada berkas persyaratan yang harus dilengkapi sebelum mendaftar ke BPN Salah satunya adalah akta peralihan tanah, seperti akta jual beli, riwayat tanah dari kecamatan, surat keterangan tidak ada sengketa dari kelurahan, serta Pajak Bumi dan Bangunan.
"Semua persyaratan tersebut kan harus diselesaikan di instansi lain, bukan di BPN. Tapi, orang menghitungnya sejak saat mengurus persyaratan sehingga kesannya sertifikasi itu rumit dan berbelit," kata Doli.
Biaya sertifikat juga sudah ditetapkan secara khusus tergantung pada pelayanan yang ingin didapatkan. Pemohon untuk balik nama, hak tanggungan, pencatatan surat keputusan atau permohonan hak tanah yang berasal dari tanah adat dan tanah negara tentu berbeda-beda.
"Semua daftar biayanya terpampang jelas di kantor BPN. Biaya-biaya tersebut juga tercatat dalam SPS (surat perintah setor) sehingga tak mungkin ada pungli," katanya.
Jika masih ada pungutan liar, Doli melihat hal tersebut karma masyarakat enggan mengurus sertifikasi tanahnya sendiri tetapi melalui pihak ketiga.
"Kan kalau lewat pihak ketiga pasti ada biaya tambahan. Tetapi, kalau mengurus sendiri, otomatis maya yang dikeluarkan sesuai ketentuan tarif yang ada di BPN," katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar