JOIN
Syed Muhammad al Naquib al Attas |
Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931
adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia
menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur.
Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan
peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan
literatur Malaysia.
Sumber Wikipedia menyebutkan, tahun 1962 Al-Attas menyelesaikan studi pasca sarjana di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada, dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri.
Pada 1987, Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, ia terkenal kritis terhadap Peradaban Barat.
Muhammad al Naquib al Attas |
Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri.
Pada 1987, Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, ia terkenal kritis terhadap Peradaban Barat.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning.
Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah
ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit
atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan
penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah
Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits yang
menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk berdakwah di
suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama lagi di
kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara lain menyebutkan sebagai
berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin Samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya tentu sangat kuat baik secara
teologis maupun secara antropologis. Menurutnya, Hamzah Fansuri,
Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf
As-singkili yang terkenal dengan nama Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala
adalah sekian diantara ulama besar Aceh yang pernah ada di zaman
keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam.
Bahkan, sekian diantara Wali Songo memiliki garis hubungan pendidikan atau lulusan (alumni) yang berguru di Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di tanah Jawa.
Sumber wikipedia menyebutkan, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatra" sendiri berasal dari keberadaaan sebuah kerajaan benama Samudera Pasai (terletak di pantai pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang. (Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.)
Bahkan, sekian diantara Wali Songo memiliki garis hubungan pendidikan atau lulusan (alumni) yang berguru di Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di tanah Jawa.
Sumber wikipedia menyebutkan, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatra" sendiri berasal dari keberadaaan sebuah kerajaan benama Samudera Pasai (terletak di pantai pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang. (Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.)
Kedua, berupa terma
“kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata
dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama
yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam
Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan
kapur barus.
Masyarakat Arab menyebutnya
dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan
tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum
camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum dikubur.
Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah
kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di
pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan
wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh
Rasulullah dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa
produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan tentang apa
yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah
mereka singgahi.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai (Pase) kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas |
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai (Pase) kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Kembali menurut Al-Attas, ia
menyebutkan, ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian
sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan benar.
Keempat, karena minimnya
sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan Barat
hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara
termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu
adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber
sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, Akademis dan dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences
di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding
menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam
buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai.
Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani
proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini
terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai
tersebut.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai.
Historical Fact and Fiction |
Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan
berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan
untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan
fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut.
Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang
menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif
mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa
penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan
politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society”
berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di
Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh
lebih berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik.
Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu memberikan
bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua memberikan kebebasan dan
perlindungan kepada pihak pertama.
Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh hingga menghimpun kekuataan.
Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil,
bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari
orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan
mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama
dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, Prof. A. Hasjmy
berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera
Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan
Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Nama Samudera dan Pasai sudah
populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat
maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya
Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke 13 dan ke-14 Masehi. Dan tentang asal
usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang
diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa
sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi
sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal
sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia",
berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada
pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina,
adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese,
1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab
tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak
abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara
pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan
musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah
terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari
pedagang-pedagang yang beragama Islam. Wallahu'alam bissawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar