Oleh: Yudi Latif
Saudaraku, bulan puasa berulang datang, memberi penggal waktu untuk
jeda. Ibarat musim gugur memberi pepohonan kesempatan meranggas dan
memudakan diri. Dedaunan jatuh pun luluh simpuh, gugur-tafakur, pulang
ke akar, menjadi pupuk kehidupan.
Tradisi puasa seumur usia keagamaan. Saat panggilannya tiba, pedang
disarungkan, api dendam diredupkan, ambisi kuasa diredam; memberi sela
bagi salam perdamaian. Di dalam jeda, mata hati yang tertutup awan
dendam, pongah kuasa, dan gelap kesadaran menemukan berkas sinar.
Puasa meninggikan kembali derajat manusia melampaui nilai
kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh,
dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan manusia hingga membiarkan
dirinya menjadi sekadar faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat
percobaan.
Dalam gravitasi syahwati ini, kehadiran agama yang mestinya pengemban
misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru secara tragis menjadi
pentasbih misi penindasan, penghancuran, dan pembodohan.
Di manakah berkah agama jika risalahnya sekadar konsumsi “go yang
lidah” yang kedalamannya sebatas tenggorakan? Di manakah misi
penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran,
pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang
memilukan bahwa aktor utama dari “komedi omong” ini justru para pemuka
agama sendiri? Di masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama
“menjual” ayat untuk menidurkan keresahan lantas memberi teladan akhlak
dengan pamer kemewahan.
Agama pun tak henti dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan
pendakuan kebenaran, sebagai mesiu dalam perebutan kuasa. Bahkan, mereka
yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat pun hanyut dalam godaan
kekuasaan. Bukan untuk memperbaiki keadaan, melainkan berhenti pada
rebutan sumber daya kuasa.
Sedemikian rupa sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain
dari gairah keagamaan selain dari sekadar “budak nafsu”. Jika agama
sebagai landasan kritik terhadap berhala dan korupsi kebendaan,
kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil; sementara orang
kebanyakan belum menemukan sumber moralitas lain di luar itu, bagaimana
bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa menuju husnulkhatimah.
Tengoklah demonstrasi demi demonstrasi, kerusuhan demi kerusuhan,
diskusi demi diskusi, persidangan demi persidangan, penggulingan demi
penggulingan. Semuanya berakhir sebagai “komedi omong”.
Elite politik lebih mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang
kemaslahatan umum. Akrobat demi akrobat politik yang dipertunjukkan
penguasa semakin jelas menunjukkan kebangkrutan moral kepemimpinan.
Sejarah bertubi-tubi menunjukkan, bilamana pusat pemerintahan sebagai
pusat teladan tak bisa lagi dipercaya, kerusuhan dan gerakan-gerakan
apokaliptik di wilayah pinggiran akan segera meledak.
Kebangkrutan moral ini terasa pilu justru berlangsung di tengah
masyarakat religius. Bukankah misi sentral kenabian adalah penyempurnaan
akhlak? Ketikqa sebagian besar masyarakat masih memandang agama sebagai
sumber moralitasnya, namun kandungan moralitas agama itu sendiri telah
menguap dari kepompongnya, pada saat itu masyarakat menjelma menjadi
zombie.
Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani
untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama. Ramadhan
memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak
pernah ada puasanya kecuali dengan puasa.
Pengendalian dirilah akar tunjang pengendalian sosial. Adapun ibadah puasa bak kawah candradimuka pelatihan kendali diri.
Sekiranya semua warga mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang
berlebih di satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi
kelompok lain, tidak menjadi kolesterol keserakahan yang memicu
kelumpuhan sosial.
Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di
bawah dan sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan
keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan
hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar