Oleh:
Ilham Tirta (Wartawan Republika Online)Pada
abad ke-13, Bosnia adalah negara dengan mayoritas Muslim. Mereka hidup
damai dengan kaum minoritas. Pada masa itu, setidaknya ada 45 persen
dari 4,7 juta warga Bosnia memeluk agama Islam. Sisanya adalah Kristen
Ortodoks, Katolik, Protestan, dan lainnya. Arus modernisasi membuat
penduduk Bosnia mengikuti gaya Eropa pada umumnya. Identitas agama tidak
lagi terlihat mencolok. Semua hidup berdampingan dengan damai dalam
bingkai kerukunana antarumat beragama.
Kehidupan Muslim dengan
nilai-nilai Islam-nya lambat laun pudar di negeri Balkan. Diskotek dan
bar muncul di setiap sudut kota. Tak ada lagi jarak antara Muslim dan
non-Muslim. Mulai dari cara berpakaian, bergaul, hingga merayakan
hari-hari besar keagamaan. Semuanya membaur atas nama besar toleransi.
Dalam
Diary yang ditulis Zlatan Filipovic -- seorang gadis Muslim yang
terlahir dalam keluarga terhormat di Sarajevo yang menjadi ibu kota
Bosnia -- diceritakan bagaimana sekulernya warga Muslim sebelum 1992.
Pada masa itu, tak ada lagi wanita muslim yang memakai kerudung. Kaum
lelaki juga hampir sama dengan para lelaki non-Muslim lainnya.
Ketika
hari raya agama, seperti natal dan lebaran Muslim, hampir seluruh warga
Bosnia merayakannya. Tak peduli dia Muslim atau bukan. Anak-anak Bosnia
juga terbiasa dengan tradisi barat, seperti valentine, april mop, tahun
baru, halloween, dan sejenisnya. Sementara shalat tak lagi dilakukan.
Muslim
Bosnia -- seperti Muslim Indonesia yang hijrah dari kepercayaan awalnya
Hindu, Budha, dan animisme -- berasal dari pengikut Bogomil, pewaris
keturunan Heretis. Keyakinan ini lenyap setelah Islam dari Ottoman Turki
masuk dan menawarkan persamaan derajat. Sementara Bosnia sendiri
beridentitas sebagai penduduk mayoritas Muslim, pascaterpecahnya negara
federal Yugoslavia (Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Serbia,
Montenegro, dan Makedonia) pada 1990.
Di tengah keterlenaan
mendalam umat Muslim Bosnia terhadap gaya hidup sekulerisme dan
toleransi agama yang berlebihan, bangsa Serbia yang mayoritas memeluk
Kristen Ortodoks menyimpan api dalam sekam. Dengan dalih penyatuan
kembali Yugoslavia dalam Republik Srpska, Serbia melakukan pembantaian
terhadap Bosnia dan atau pemeluk Islam.
Sejarah mencatat aksi Serbia kepada umat Muslim Bosnia itu sebagai
genosida terbesar pada masa modern. Pembunuhan dilakukan secara
sistematis. Tujuannya menghapus sebuah bangsa dan etnis. Sekuler dan
bergaya non-Muslim tak menyelamatkan Muslim Bosnia. Mereka dilenyapkan
dan dibantai karena menyandang identitas agama Islam.
Di atas
kertas, Komisi Federal Bosnia untuk Orang Hilang mencatat ada 8.373
lelaki dan remaja Muslim Bosnia yang dibunuh dan terbuang dalam ratusan
kuburan massal. Pada Juli 2012, 6.838 nama korban teridentifikasi dari
galian kuburan massal.
Zlatan Filipovic, gadis 13 tahun (saat
mulai peperangan) yang selamat dari pembantaian yang berlangsung hingga
1995 tersebut menulis kesaksiannya. Muslim Bosnia yang tadinya tidak
begitu memperdulikan nilai-nilai Islam terhenyak kaget mendapat serangan
yang dimulai pada April 1992.
Teman, saudara, dan anggota keluarga yang beragama lain yang tadinya
akrab, natalan bersama, dan merayakan valentine bersama, kini
meninggalkan mereka. Bahkan berbalik menyerang dan membunuh mereka
bersama tentara Serbia.
Di tengah-tengah puing bangunan yang
hancur, terdengar desingan peluru yang menggema, ledakan mortir, dan
tangis pilu wanita Muslim korban pemerkosaan. Dalam kegetiran, Muslim
Bosnia mulai sadar dan kembali kepada identitas keislaman mereka.
Kesadaran
muncul. Kaum perempuan kembali menggunakan kerudung, para lelaki sambil
menenteng senjata untuk bertahan mulai kembali melakukan shalat. Adzan
mulai bergema di sela-sela gedung yang roboh. Kitab suci Alquran yang
telah lama tersimpan di lemari-lemari dibuka kembali. Namun mereka
terlambat. Mereka sedang diburu peluru dan ujung belati yang haus darah
Muslim.
Gempuran yang terjadi membuat umat Muslim Bosnia harus
mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Srebrenica menjadi salah satu kamp
terbesar. PBB menyatakan Srebrenica sebagai zona aman bagi pengungsi.
Namun hanya dijaga oleh 400 penjaga perdamaian dari Negeri Belanda,
versi lain bahkan menyatakan hanya 100 personel. Tidak ada yang menjamin
nyawa Muslim yang mengungsi aman.
Medan pembantaian terbesar umat Muslim abad modern ini bahkan membuat
Indonesia terhenyak. Pada awal Maret 1995, Presiden Soeharto dan
rombongan terbang langsung ke Eropa dan merangsek ke wilayah yang
membara, Sarajevo. Memimpin negara Muslim terbesar menjadikan Soeharto
melakukan operasi 'berani mati' walau PBB menyatakan tak bisa menjamin
keamanan kunjungannya.
Pada 6 Juli 1995, pasukan Serbia mulai
menggempur pos-pos tentara Belanda di Srebrenica dan berhasil memasuki
Srebrenica lima hari setelahnya. Anak-anak, wanita, dan orang tua
berkumpul di Potocari untuk mencari perlindungan dari pasukan Belanda.
Pada 12 Juli, pasukan Serbia mulai memisahkan laki-laki berumur 12-77
tahun. Mereka dibawa dengan dalih untuk interogasi. Sehari setelah itu,
pembantaian terjadi di gudang dekat desa Kravica.
Malang tak
terbendung. Kabar yang berhembus menyebut, 5.000 Muslim Bosnia yang
berlindung diserahkan kepada pasukan Serbia karena Belanda meninggalkan
Srebrenica. Muslim Bosnia pun sendirian di antara negara-negara Eropa
yang hebat.
Dalam waktu lima hari, 8.000 orang terbunuh di
Srebrenica. NATO turun tangan setelah pembantaian, memaksakan perdamaian
yang sangat terlambat. Di Sarajevo, 11 ribu orang dibantai tanpa ampun
selama tiga tahun penyerangan. Diperkirakan, keseluruhan korban perang
Bosnia mencapai 100 ribu orang.
Sesuai dengan Kesepakatan Dayton
tahun 1995, keutuhan wilayah Bosnia dan Herzegovina ditegakkan. Namun
negara tersebut dibagi dalam dua bagian: 51 persen wilayah gabungan
Muslim-Kroasia (Bosnia dan Herzegovina) dan 49 persen Serbia. PBB juga
berjanji mengadili para penjahat perang dalam serangan yang kemudian
disebut genosida pertama di dunia.
Mantan Presiden Republik
Srpska (Serbia), Radovan Karadzic, ditangkap pada 21 Juli 2008. Tiga
bulan lalu, 23 Maret 2016, Karadzic diganjar 40 tahun penjara oleh
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). Dia
terbukti bersalah atas pembantaian 8.000 Muslim Bosnia.
"Karadzic
juga melakukan kejahatan kemanusiaan lain selama Perang Bosnia
1992-1995,'' demikian bunyi amar putusan ICTY. Sementara, pemimpin
serangan Srebrenica, Jenderal Ratko Mladic ditangkap pada Mei 2011. Kini
dia sedang diadili di Mahkamah Internasional.
Pembantaian Muslim Bosnia dengan dalih penyatuan negara menjadi
pelajaran bagi Umat Islam di luar semenanjung Arab, khususnya Indonesia.
Cerita pilu yang mendera Bosnia sepatutnya mengingatkan Indoensia agar
tidak terlena dalam penghambaan pada sekulerisme. Sebab, sekulerisme
dalam banyak wajah. Salah satunya adalah untuk menghilangkan warna,
pengaruh, dominasi, dan hak-hak yang mayoritas.
Ketika Muslim
mayoritas lemah karena krisis identitas, akan sangat mudah dipecah dan
diadudomba. Di Indonesia sendiri, upaya agar Muslim meninggalkan
identitas agama dalam kehidupan berbangsa dan negara telah ada sejak
dulu.
Belakangan, gerakan itu mulai tampak di permukaan dengan
sangat massif dan sistematis, bahkan oleh lembaga legal sekali pun.
Karena itu, jangan heran jika ada Muslim yang sangat ngotot menghina
agamanya demi membela kebebasan versinya.
Jangan heran, jika ada
Muslim yang ikut menghina ulamanya hanya karena ulama tersebut tak
sepaham dengannya. Tidak heran jika banyak Muslim tak suka dengan
tulisan-tulisan yang membahas penolakan Islam terhadap sekulerisme.
Inilah yang terjadi di Indonesia masa kini, negara yang masih dihuni
oleh mayoritas umat Muslim.
Sementara, tidak ada yang salah dalam
toleransi, sepanjang yang diberi toleransi tidak berlebihan, apalagi
sampai menindas yang memberi toleransi. Di al-Ludd (kini Tel Aviv),
Palestina pada 1903, beberapa Yahudi datang menawarkan persaudaraan dan
hidup damai dengan warga Arab dan Palestina.
Namun, hari-hari
setelah deklarasi berdirinya Negara Israel pada 1948 oleh Eropa, warga
Yahudi berubah menjadi buas bersama kedatangan para tentara Israel. Juli
1948, warga Arab Palestina dibantai, termasuk ribuan orang yang
dimasukkan dalam Masjid, kemudian diberondong dengan peluru anti tank.
Malamnya,
sekitar 35 ribu orang Arab Palestina berduyun-duyun meninggalkan kota
kelahiran mereka, yang kemudian menjadi pusat pembantaian berikutnya:
Tel Aviv. Hari berganti, warga Yahudi datang dengan gelombang eksodus
setiap saat. Jadilah Palestina yang terjajah hingga saat ini. Sederhana,
tapi sangat ekstrem dan kejam.
Dunia juga mencatat, betapa kejam perlakuan kepada pemeluk Islam yang
menjadi minoritas. Hanya PBB dan bantahan dari Myanmar sendiri yang
menyatakan pembunuhan terhadap Muslim Rohingya bukan sebuah genosida.
Jauh dari itu, kenyataan menceritakan bagaimana genosida dilakukan
dengan cara brutal dan terbuka oleh Budha Myanmar kepada Rohingya yang
tak berdaya.
Belajar dari Muslim Bosnia yang mayoritas, saat ini
mereka menjadi lebih agamis. Di tengah toleransi, perbedaan, dan
kerukunan antarumat beragama, mereka tetap memperhatikan nilai-nilai
Islam sebagai identitasnya. Kenyataan pahit 1992-1995 telah mengajarkan
kepada mereka bagaimana dunia berdetak, bahwa keburukan hanya beberapa
helai dibalik kebaikan.
Kini Muslim Bosnia tak lagi merayakan
tahun baru. Mereka lebih banyak menjaga diri dari melecehkan akidah
Islam. Meski begitu, Bosnia tetap menjadi satu-satunya tempat di Eropa,
di mana terdapat Gereja, Masjid, dan Sinagoga yang berdiri berdampingan.
Mungkin
1,8 juta Muslim Bosnia mulai sadar bahwa apa yang dikatakan menantu
Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib "Kejahatan yang terorganisir akan
mampu mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir" benar adanya.
Wallahualam.