Prof Rhenald Kasali
@Rhenald_Kasali
Mungkin
inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari
zona nyaman. Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia
akan “stuck in the middle,” birokrasi kita sulit “diajak berdansa” menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan.
Tidak
hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar
tabah menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang
cukup atau kehidupan yang nyaman tak berarti mereka menjadi manusia yang
terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut,
jaringannya terbatas, “lembek”, cepat menyerah dan gemar menyangkal.
Tetapi
maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli kaum
muda. Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai pun
terperangkap di sana. Seperti apakah gejala-gejalanya?
“Saya Pikir…”
“Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman”, begitu pemikiran banyak orang.
Kita
berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari
sudah final. Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang
sama berulang-ulang sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang
sama sepanjang tahun.
Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu
pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling menghancurkan. Teknologi
baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan
undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan
cara pandang. Ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur,
pola, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah. Ilmu,
keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat usang.
Jalan-jalan yang nyaman kita lewati juga cepat berubah menjadi amat crowded dan macet, sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.
Orang-orang
yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan,
tersasar atau tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali:
putar arah saja, bedakan a dead end dengan detour.
Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya
harus diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa
mengoreksi bagian-bagian yang salah? Orang-orang yang tak terbiasa
keluar-masuk dari zona nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu
karena ia merasa tersesat di sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to date sering melakukan hal itu, padahal orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.
Ada
rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga
program diri dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan
sampai di tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin kita tempuh. Dan
ketika kita keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita
kembali pada jalur yang sudah kita kenal.
Kata orang bijak,
keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari
"selimut rasa nyamannya." Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman
yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone).
Karena
itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal
bisa menyesatkan kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah
didapat. Apalagi bila kemudian memunculkan sikap arogansi "saya sudah
tahu" atau "mahatahu" tentang sesuatu hal.
Saya sering membaca
tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada ijazahnya (yang
memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep. Tentang hal
ini saya hanya bergumam, mereka kurang terbuka, kurang mampu melihat
perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu gabungan
dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman
kesulitan untuk belajar lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya.
Ia menjadi amat resisten dan keras kepala.
Manusia belajar
sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan
kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui
jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur.
Kadang kita menemukan
guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang menjerumuskan
dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran.
Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman? Saya kira Anda sudah bisa melakukan introspeksi.
Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan crowded
dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati jalan raya, karier
kita pun akan menjadi usang kalau tak berubah haluan memperbaharui diri.
Perusahaan lebih senang mendapatkan kaum muda yang masih bisa dibentuk
ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi, keras
kepala pula.
Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat
laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman,
jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Ia bukanlah a quiter atau a camper.
Siapa
yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih
kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua
hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak ada kenyamanan, tak ada mukjizat
selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.
Bagaimana Melatihnya?
Saya
ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa
manusia dewasa tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang
dewasa yang bisa berubah. Yang tidak bisa berubah itu adalah manusia
yang sudah final.
Manusia yang sudah final itu biasanya
pikirannya kaku seperti orang mati dan merasa paling tahu. Tentang
manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia untuk mengubahnya,
biarkan saja Tuhan yang memberikan solusinya. Hanya lewat ujian beratlah
mukjizat itu baru terjadi pada mereka.
Di Rumah Perubahan, kami
biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk keluar dari zona nyaman
ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi pembaharu
yang progresif. Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang
memimpin transformasi untuk menghadapi para pemimpin pemberontakan yang
resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin
perspektif, termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah
panjang.
Lain kali saya akan jelaskan apa yang harus dilakukan orangtua dan guru untuk melatih anak-anaknya keluar dari zona nyaman.
Prof. Rhenald Kasali adalah
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria
bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki
pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK
sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah
Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para
akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan
kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar