H. Agus Salim bersama Presiden Soekarno |
”...Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: selamanya ia hidup melarat dan miskin.” (Prof. Schermerhon, ketua delegasi Belanda pada perundingan Linggarjati, dalam Het dagboek van Schermerhon).
MusliModerat.Com - Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup
gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil dengan
satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di
sudut rumah dan kasur-kasur digulung di sudut lain ruang besar itu. Di
sanalah tempat tidur H. Agus Salim bersama istri dan ketujuh anaknya.
Haji Agus Salim (lahir dengan nama
Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta,
Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui
Keppres nomor 657 tahun 1961.
H. Agus Salin bersama Sutan Sjahrir dan Ket DK PBB Faris el-Khouri 14/8/47 |
Dikontrakan yang lain, H. Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali
mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya.
Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. H. Agus Salim
berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan,
yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau
pergi istirahat di lain kota atau negeri. Begitulah seperti dikisahkan
Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi.
Kesederhanaannya yang luar biasa adalah ketika H. Agus Salim rela
berjualan minyak tanah, sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa rasa
malu ia menjualnya dengan cara mengecer, meski pada saat itu dia sudah
pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap
Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Yogyakarta, Agus Salim
terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya disana. Hasil penjualan
minyak tanah itu, lanjut Roem, dipergunakan untuk menutupi ongkos
perjalanan Jakarta – Yogyakarta.
Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang
Menggerakan’ menyebutkan bahwa Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan
pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakan ke kontrakan lain. Dari satu gang
ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya.
Pernah, pada salah satu kontrakkan, toiletnya rusak. Setiap Agus Salim
menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis
sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber.
Zainatun Nahar istrinya, tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia
muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di
WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istrinya menggunakan pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, Ketua KNIP
Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya yang
paling terkenal; pada ceramahnya di hadapan Bung Karno, Bung Syahrir,
dan Soeharto, H. Agus Salim mengatakan “Memimpin adalah menderita, bukan
menumpuk harta.”
Pada waktu salah satu anak Salim wafat ia bahkan tak punya uang untuk
membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja
dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru. “Orang yang masih
hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim. “Untuk yang mati,
cukuplah kain itu.”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.”
Lihatlah, bagaimana tak ada sumpah serapah pejabat meminta kenaikan
jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan
kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, tunjangan
kasur, tunjangan lobster dll.
Kita tentu rindu sosok seperti H. Agus Salim, bukan tentang melaratnya,
tapi tentang ruang kesederhanaannya yang mengisi kekosongan nurani
rakyat, sebuah keteladanan yang mulai memudar di tengah gemerlap karpet
merah Istana dan Senayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar