Jika ada pertanyaan, berapa kali anda menyaksikan tahun baru? Jawabannya tentu beragam. Masing masing kita memiliki jumlah yang sangat mungkin berbeda-beda dengan pergantian tahun. Sayangnya adalah, bahwa setiap pergantian tahun ada kecenderungan kuat untuk sekedar menjadi seremonial yang tanpa makna. Berbagai kemeriahan acara digelar. Ada pertunjukan musik dangdut, ada acara tiup lilin, dan lain-lain. Tentunya semua ini dengan biaya yang tidak sedikit pula. Tapi kumpulan jutaan manusia dan biaya trilyunan yang dikeluarkan di seluruh dunia pada akhirnya hanya menjadi sesuatu yang sia-sia alias tanpa makna. Mereka tidak menangkap hikmah dibalik pergantian waktu. Mereka hanya meneruskan kebiasaan sehari-hari dan malam-malam sebelumnya. Yaitu bersenang-senang dan bersenang-senang, Tanpa perenungan dan makna. apalagi cucuran air mata.
Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan berapa kali seseorang mengalami pergantian tahun. Atau seberapa meriah acara pergantian tahun. Yang menjadi persoalan adalah adakah kesadaran baru, pencerahan baru, dan kesegaran baru tentang makna kehidupan yang saat ini kita lalui bersama sama? Apakah yang terlintas dalam benak kita ketika detik demi detik, bulan demi bulan, tahun demi tahun usia kita berkurang? Adakah kita menyikapi semua ini hanya sebagai fenomena rutinitas? Atau ada kesadaran baru dan semangat baru untuk mengisi kehidupan kita dengan lebih baik? Setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi bahan renungan kita setiap tahun baru tiba. Bahkan renungan ini bisa kita lakukan setiap pergantian bulan, pergantian hari atau bahkan hingga pergantian detik dalam kehidupan kita.
Pertama adalah bahwa dengan pergantian waktu, usia kita berarti semakin bertambah, yang dulu mungkin berusia 39 tahun, saat ini berusia 40 tahun. Yang dulu berusia 16 tahun, sekarang berusia 17 tahun. Demikian seterusnya. Ketika kita memasuki tahapan baru dalam setiap pergantian usia. sudah tentu pula kita harus menyesuaikan pola hidup kita dengan tahapan yang kita lalui tersebut. Sangat lucu jika misalnya seseorang yang berusia 40 tahun, namun pola hidupnya seperti anak 17 tahun. Atau anak 17 tahun namun pola hidupnya seperti anak 10 tahun.
Setiap tahapan usia haruslah berarti peningkatan kearifan kita. Setiap pertambahan usia haruslah bertambah kesantunan kita. Setiap pertambahan usia haruslah berarti peningkatan kedekatan kita kepada-Nya. jangan sampai terjadi sebaliknya. Setiap usia bertambah, kekanak kanakan semakin meningkat. Atau ahlak kita semakin rusak dan hidup kita semakin jauh dari Allah. Sudah tentu, ini adalah kesia-siaan. Setiap tahun baru juga harus berarti menyalanya kembali semangat untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan keprofesian.
Kedua, setiap pergantian tahun berarti berkurang jatah kehidupan kita. Jika saat kemarin jatah usia kita masih 15 tahun, maka saat ini jatah itu tinggal 14 tahun. Jika kemarin jatah usia kita masih 10 tahun, maka saat ini tinggal 9 tahun. Jika kemarin jatah usia kita tinggal 2 tahun, maka saat ini entah berapa bulan lagi ajal menjemput. Kita tidak tahu masih berapa lama jatah hidup kita. Daripada kita terlalu banyak membuat perkiraan, lebih baik memperkecil perkiraan. Sangat rugi jika kita memprediksi usia kita masih panjang, sehingga kita bersantai-santai namun ternyata beberapa jam lagi ajal menjemput. Sekali lagi, lebih baik kita memperkecil prediksi usia kita. Bahwa mungkin nanti sore atau esok hari ajal menjemput kita. Atau mungkin satu dua jam lagi. Atau mungkin satu dua detik lagi,
Ketiga, pada tiap tahun baru, hendaknya setiap mukmin membuat perencanaan-perencanaan positif kedepan dalam rangka mewujudkan peran manusia sebagai khalifah fil ardh. Dengan adanya perencanaan-perencanaan ini, langkah seseorang diwaktu-waktu mendatang akan terarah. Tidak acak-acakan, disamping itu, berbagai perencanaan ini, entah terealisir atau tidak, ketikia itu sudah menjadi niat yang benar, hal tersebut menjadi bernilai Ibadah. Anas bin Malik RA berkata, "Kami pulang dari perang Tabuk bersama Rasulullah SAW. Beliau kemudian bersabda:'Sesungguhnya ada beberapa kaum dibelakang kita di Madinah. Tidaklah kita melewati lereng dan lembah, kecuali mereka menyertai kita. Mereka ditahan oleh halangan". (HR.Al-bukhari). Dalam hadits ini Rasulullah SAW mengisyaratkan bahwa mereka yang karena suatu hal tidak dapat menyertai beliau berperang, namun karena ada niat berjihad dalam hati, maka mereka tetap mendapatkan pahala berjihad tersebut.
Keempat, setiap pergantian tahun adalah saat kita menghitung untung rugi kita berdagang dengan Allah. Atau dalam bahasa Arab disebut dengan istilah muhaasabah atau koreksi diri. Sekian lama hidup kita, sudah berapa keuntungan kita berada di sisi-Nya dibanding dengan kerugian kita? Jika muhaasabah ini dikaitkan dengan poin keempat, tahun baru berarti adalah saat seseorang untuk mengevaluasi perencanaan-perencanaan pada tahun sebelumnya. Apa yang sudah tercapai dan apa yang belum tercapai? Mengapa bisa tidak tercapai? Bagaimana mengatasinya? Dan jika muhaasabah ini dikaitkan dengan poin nomor dua. Dimana usia kita yang tersisa, mungkin bukan lagi dalam hitungan tahun atau bulan. Mungkin tinggal dalam hitungan jam atau bahkan tinggal hitungan beberapa detik kedepan.
Nah, kalau sudah demikian, masih adakah ruang bagi kita untuk menunda-nunda berbuat kebaikan?
Wallahu a’lam Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar