Bumi yang kita diami ini sudah tua. Bilangan angka tahun nya sebagai pertanda betapa bumi ini kian tahun dan kian abad semakin menua. Sejarah panjang bumi ini pun telah dilalui. Tidak hanya bilangan angka 2.015 tahun saja bumi ini hidup, namun masa sebelum masehi bumi ini pun telah menjalani sejarah panjangnya yang telah berumur jutaan tahun. Kerusakan alam, bencana, dan rusaknya keseimbangan alam merupakan tanda bahwa bumi yang kita huni sudah tua dan suatu waktu tidak sanggup lagi menahan usianya yang tua itu. Dan kita manusia hidup hanya pada seper-sekian juta tahun usia bumi. Pada perbandingan usia manusia yang singkat itu, katakanlah usia manusia 80 tahun dan perbandingan usia bumi yang jutaan tahun kadangkala menimbulkan keraguan manusia akan kemungkinan berakhirnya kehidupan alam semesta ini. Namun lagi-lagi ini hanyalah dari perspektif pandang manusia, bagian yang kecil bila diperbandingkan dengan bagian yang besar bahkan sangat besar maka bagian yang kecil itu seringkali tidak tampak karena tertutup oleh bagian yang besar.
Sepatutnya dengan usia bumi yang semakin menua ini menjadi titik berangkat akan sebuah bangun rancang kehidupan kita. Untuk apa kita hidup, dan kemana setelah kita hidup. Usia bumi tidak akan lama lagi, begitu pula penduduk yang menetap didalamnya. Agar kehidupan yang kita laksanakan dihari ini menjadikan kita siap dalam segala-galanya. Siap dalam menjalani hidup saat ini agar hidup yang sementara ini bermakna pada aspek historisnya. Sehingga melakukan evaluasi dan introspeksi diri menjadi mutlak kita lakukan.
Saat ini merupakan tahun baru masehi, di awal tahun 2016. Hampir berdekatan pula dengan pergantian tahun 1437 H tiga bulan yang lalu. Bilangan angka tahun tersebut merupakan akumulasi dari proses sejarah yang menaunginya. Pada rentang waktu itulah berbagai macam pergulatan sejarah terjadi.
Sebuah kekhawatiran pun timbul. Pergantian tahun yang kita lakukan tiap tahunnya, jangan-jangan hanyalah sebuah pergantian bilangan angka tahun saja. Pergantian hanya terjadi pada sistem penanggalan, yang dulu 1436 H maka sekarang 1437 H, yang dulu 2015 maka sekarang 2016. Tentu jika kita memahami seperti itu, hampir dapat dipastikan pergantian tahun kapan itu kita kehilangan makna. Tidak ada titik refleksi disana. Berlalu hanya sebagai penambahan 1 angka dari bilangan matematik.
Menarik mencermati perayaan tahun baru masehi. Dari tahun ke tahun tidak ada yang berubah. Praktis sama. Lihat saja, tahun baru selalu disimbolkan dengan perayaan-perayaan. Layaknya pergantian tahun, tahun baru sejatinya merupakan sebuah pergantian waktu yang sejatinya pun sama pula dengan pergantian waktu yang lain. Dalam setahun ada 12 bulan, dan itu artinya ada pergantian waktu tiap bulannya. Lalu dalam setahun ada 52 pekan itu artinya ada pergantian waktu dalam tiap pekannya. Lebih kecil lagi, dalam 1 tahun merupakan kumpulan kecil dari detik demi detik waktu yang terakumulasi menjadi bilangan 1 tahun.
Segala bentuk perayaan malam tahun baru kehilangan makna bila bentuk perayaannya justru menjadikan diri kita semakin terpuruk. Atau bahkan menjadi semakin mundur daripada keadaan sebelumnya. Pergantian malam tahun baru yang seringkali hanya sebuah bentuk perayaan euphoria belaka dan setelah esok harinya tidak memiliki semangat apa yang akan ia jalankan. Atau celakanya semangat yang membara itu hanya ada saat pergantian waktu malam tahun baru itu, bahagianya hanya saat itu. Tidak mempunyai efek terhadap aktivitasnya selama setahun kemudian. Praktis hanya suka cita yang semu, dan larut dalam gegap gempita pergantian angka tahun yang terjadi sekali setahun itu.
Disini berarti perayaan yang terjadi hanyalah perayaan yang bersifat simbolistik belaka. Ya simbolistik yang lebih pada perubahan angka pada bilangan angka tahun itu. Padahal jika kita mau, kita dapat melakukan perayaan pergantian waktu itu tiap bulannya, tiap pekannya, tiap harinya, bahkan perayaan tiap detiknya dengan memanfaatkan waktu yang ada dengan segenap energi yang kita miliki. Saya kira itu lebih penting dari hal apapun dalam perspektif kita dalam memaknai waktu yang sesungguhnya. Perayaan yang saya maksud ialah perayaan atas tiap detik yang kita jalani menuju pematangan hidup dan kehidupan kita. Perayaan atas pergantian waktu yang terjadi sekali dalam setahun ini terlalu kecil untuk kita lakukan, karena sesungguhnya perayaan itu bisa sepanjang tahun bisa kita lakukan.
Secara teori mengatakan bahwa waktu sehari yang lalu yang telah kita lalui tidaklah sama dengan waktu saat dimana kita saat ini berada, kemarin telah berlalu, dan saat ini adalah waktu yang baru. Waktu yang sama sekali belum pernah kita berada di dalamnya. Sehingga disini mudah melogikakannya mengapa manusia yang dari bayi beranjak kanak-kanak, remaja, lalu dewasa, dan suatu ketika meninggal dunia. Itu karena setiap fase waktu yang telah ia miliki telah ia jalani hingga usia menggerus fisiknya hingga ia tidak sanggup lagi menjalani hidup ini yang ditandai dengan kematian.
Sehingga sebuah anggapan yang salah bila waktu yang saat ini kita berada itu adalah sama dengan waktu saat kemarin yang kita lalui. Waktu bila boleh dianalogikan dengan dua buah apel, katakanlah apel A dan apel B. Saat apel A dengan lahap kita makan maka yang tersisa adalah apel B. Apel B bukanlah apel A yang telah kita makan, namun apel lain yang masih tersisa, walaupun mungkin secara tampilan fisik tidak ada yang dapat membedakan kedua apel itu. Namun tetap kedua apel itu berbeda. Dari sini dapat kita pahami bahwa waktu yang dimiliki tiap manusia betul-betul merupakan aset. Dengan waktu yang ia miliki itulah ia dapat berbuat banyak hal demi kehidupannya yang lebih baik.
Nah disinilah kita kembali harus menemukan kembali makna waktu itu. Waktu sesunggunya merupakan aset kehidupan. Waktu merupakan investasi yang bisa menjadikan manusia siapapun, dan membalikkan sejarah manusia. Tengok saja, para tokoh ataupun ilmuwan dimasa lalu. Mereka pada mulanya bukanlah siapa-siapa, orang biasa. Namun, saat pemanfaatan waktu yang digunakan begitu ia maknai dengan sepenuh hidup dan jiwa raganya. Sehingga waktu yang ia jalani telah memberi warna pada sejarah hidupnya.
Sebagai makhluk yang dibekali akal, pergantian tahun harus memiliki makna yang lebih dari itu. Pergantian tahun haruslah dimaknai sebagai titik berangkat perubahan diri. Melakukan refleksi, evaluasi diri lalu selanjutnya lepas landas dan melakukan yang terbaik untuk kehidupan dimasa yang akan datang. Tidak berdiam diri, stagnan, dan tertinggal dari perputaran roda zaman. Oleh karena itu, dalam konteks pergantian tahun, kapanpun itu, selama kehidupan dimuka bumi belum berakhir, maka selama itu pula akan tetap ada pergantian waktu. Namun yang harus membedakannya haruslah dari pemaknaan kita terhadap tahun baru itu yang harus penuh makna.
Wallahu a’lam Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar