Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Wahai Anak Adam,
janganlah Engkau senang dengan kekayaan, dan putus asa dengan
kemiskinan. Jangan bersedih dengan ujian, dan senang dengan kemewahan.
Sesungguhnya, emas harus ditempa dengan api. Hamba yang shalih harus
ditempa dengan ujian. Sungguh, Engkau tak akan selalu meraih apa yang
Engkau inginkan, kecuali dengan cara meninggalkan apa yang menjadi
ambisi [keinginan]-mu. Engkau pun tak
kan sampai pada apa yang Engkau harapkan, kecuali dengan bersabar
terhadap apa yang tidak Engkau sukai. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu
untuk mengurus apa yang diwajibkan kepadamu.”
—
Sungguh luar biasa, ujian demi
ujian yang sering kali membuat kita sedih, justru merupakan tempaan yang
Allah sengaja berikan untuk meningkatkan derajat kita. Karena tak
pernah ada kilau emas yang begitu memesona, jika bukan karena tempaan.
Begitu juga tak kan pernah ada kemuliaan orang Shalih, tanpa ujian demi
ujian yang dilaluinya.
Manusia memang selalu terpenjara oleh
pikirannya sendiri. Bagaimana tidak? Sedih dan senang lahir dari
pikiran kita. Orang merdeka bisa menjadi budak, karena diperbudak oleh
ketamakan [ambisi]-nya. Sebaliknya, budak bisa menjadi orang merdeka,
juga karena dimerdekakan oleh ke-qana’ah-annya.
Maka, Sayyidina ‘Ali memberi resep,
“Sungguh, Engkau tak akan selalu meraih apa yang Engkau inginkan,
kecuali dengan cara meninggalkan apa yang menjadi ambisi
[keinginan]-mu.”
Semakin besar ambisi, keinginan dan
harapan, maka semakin tinggi potensi kekecewaannya. Agar tidak kecewa,
tidak sedih dan meratapi kegagalan, maka apa yang menjadi ambisi itulah
yang seharusnya ditinggalkan. Dengan cara seperti itu, dia akan
“merdeka”. Tetapi, jika ingin meraih ambisi, karena memang harus diraih,
maka caranya, kata Sayyidina ‘Ali, “Bersabar terhadap apa yang tidak
Engkau sukai.”
Menapaki satu demi satu, menyusuri
langkah demi langkah, onak dan duri, berbagai cara dan strategi,
semuanya dilalui dengan sabar, meski itu semua tak disukai. Namun,
dengan bersabar, semuanya bisa dilalui, sampai benar-benar terwujud..
Namun, yang terpenting dari semuanya
itu adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengurus apa yang menjadi
kewajiban. Karena, terkadang seseorang mengejar ambisi yang mubah,
sementara yang wajib diabaikan, bahkan ditinggalkan. Begitu gagal, maka
dia akan mendapatkan dua kali kegagalan. Pertama, gagal mewujudkan
ambisinya yang mubah. Kedua, gagal, karena meninggalkan kewajiban.
Tetapi, jika dia memberi perhatian
penuh pada kewajibannya, meski terkadang ambisi hidupnya tak terwujud,
dia tetap beruntung. Karena, tidak ada satupun yang dia abaikan, apalagi
ditinggalkan.
Semoga kita senantiasa meraih bisa
istiqamah dalam apapun kondisinya, dan dicatat sebagai hamba-hamba-Nya
yang selalu beruntung, karena tak satu pun kewajiban yang kita abaikan,
apalagi kita tinggalkan. Aamiin.
KH. Hafidz Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar