Mari sejenak meninjau suasana seputar Perang Tabuk. Di Surah
At-Taubah yang gagah, setelah Allah menjelaskan keadaan orang-orang
munafik yang ridak mau turut berangkat sebab ragu-ragu, mendustakan, dan
tidak suka mengulurkan tangan kepada Rasulullah ﷺ, maka Dia jelaskan
tentang segolongan sahabat yang tergelincir oleh dosanya.
“Ayat ini,” demikian Ibn ‘Abbas memberi keterangan, “turun tentang
Abu Lubabah dan beberapa kawannya yang tidak turut serta mengikuti
Rasulullah ke Tabuk.” Mereka adalah orang-orang yang kesungguhannya
dikalahkan oleh kemalasan dan rasa takut yang tumbuh dari dosa yang
pernah mereka lakukan. Namun, sungguh, mereka juga memiliki amal-amal
shalih, dan Allah tak pernah menyia-nyiakannya.
Dan orang-orang selain itu, mereka mengakui dosa-dosa mereka.
Mereka telah mencampuradukkan amal-amal shalih dengan keburukan lain.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Ambillah dari mereka itu shadaqah untuk
membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah atas mereka.
Sesungguhnya doamu adalah ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 102-103)
“Meski ayat ini sebabnya khusus,” begitu Imam Ibn Katsir
menggarisbawahi, “tapi hukum dan hikmahnya berlaku umum.” Yakni, siapa
pun yang berbuat dosa dan mencampuradukkan amal shalihnya dengan
keburukan, hendaklah mengambil serta merenungi kabar gembira sekaligus
peringatan dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ini.
Mengakui dosa-dosa adalah langkah pertama agar dapat berharap akan ampunan-Nya.
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil shadaqah yang diwajibkan dari harta mereka. Meski sebagian ulama merujukkan dhamir hum di ayat ke-103 ini pada para pendaku dosa yang tak turut Perang Tabuk, tetapi penafsiran yang lebih shahih adalah bahwa ia berlaku umum bagi seluruh ummat tanpa terkecuali dan Ulul Amri sebakda Rasulullah juga menerima hak pelaksanaannya. Inilah yang ditegaskan Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu dan menjadi ijma’ para sahabat ketika orang-orang yang menolak membayar zakat mencoba berhelah.
Maka beginilah seharusnya isi hati orang yang membayar shadaqah wajib. Dia mengenali dosanya dan mengakuinya. Dia memohon ampun pada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala.
Dia berharap agar dapat membersihkan diri dan mensucikan jiwanya. Dan
dia dalam kegelisahan hingga senantiasa berharap didoakan oleh pemungut
zakatnya yang mulia. Doa itu menjadi obat galaunya. Doa itu menjadi
penawar gundahnya.
Hari ini, ada yang berbangga atas shadaqahnya, padahal ia sekadar
kewajiban dan sama sekali bukan kedermawanan. Hari ini ada yang
menjadikan zakatnya tontonan khalayak dengan membariskan para dhu’afa di depan rumah mewahnya. Betapa menghinakan penerima, betapa mempermalukan ummat-Nya, dan betapa menistakan syi’ar Allah ‘Azza wa Jalla.
Para pemberi di lapis-lapis keberkahan, memulai penyerahan hartanya
dengan rasa bersalah, pengakuan dosa, niat membersihkan diri, tekad
mensucikan hati, dan harapan untuk didoakan oleh sang pengelola agar
beroleh ketentraman batin dari Rabbnya. Allah, Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang, amat dia harapkan belas kasih dan kemaafan-Nya.
Dikutip dari buku Lapis-lapis Keberkahan, Salim A. Fillah, hal. 230-231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar