Dirijen Shalat Itu Pun Mengeluarkan Asap Rokok (1)
Di Iran Nikah Mut’ah Bisa Sampai Seribu (2-Habis)
Ini mungkin akan menjadi sedikit cerita atau mungkin tepatnya oleh-oleh dari acara Ahlussunah Bersatu Menolak Syiah yang baru dilaksanakan Jum’at lalu, 10/06/2011.Banyak paparan yang sangat menarik untuk dicermati dan sayang bila dilewatkan. Dari kisah Kang Jalal yang kepergok tidak bisa taqiyyah, model shalat Jum’at yang unik di Iran, hingga kisah perempuan-perempuan yang “dijual”, namun dibungkus ajaran agama bernama mut’ah.
Ya, Syiah memang menjadi polemik, masyarakat pun masih menunggu fatwa tegas dari MUI.
Ketika Kang Jalal Tidak Bisa (Lagi) Taqiyyah
Kisah ini akan kami awali dari Profesor Jalaluddin Rakhmat. Akademisi kondang yang menjadi pilar terdepan dalam penyebaran Syiah di Indonesia.
KH. Kholil Ridwan kemarin menceritakan pengalamannya berhadapan dengan Jalaluddin Rakhmat. Pernah suatu ketika pengurus MUI tersebut didaulat menjadi pembawa acara dalam sebuah dialog di Pesantren At Taqwa Bekasi. Dalam seminar tersebut, hadir Kang Jalal sebagai narasumber. Melihat kehadiran Kang Jalal yang sudah dikenal sebagai aktivis aliran Syiah, tentu KH. Kholil ingin tahu sejauhmana darah Syiah mengaliri diri pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran itu.
Kontan saja, kemudian pimpinan Ponpes Husnayain Kalisari, Jakarta Timur itu bertanya, “Kang Jalal, anda ini Sunni atau Syi’i?”
Mendengar pertanyaan dari KH. Kholil, Kang Jalal pun menjawab diplomatis, “Saya ini bukan Sunni, bukan Syi’i. Saya ini Sunni-Syi’i, Syi’i-Sunni.”
Dalam hati, KH. Kholil bertutur, “Kang Jalal ini taqiyyah”. Karena dalam tradisi Syiah berbohong dalam rangka taqiyyah itu berpahala. “Halalan thayibban barakallah, berpahala bagi mereka,” kata KH. Kholil
Namun taqiyyah Jalal ternyata tidak selamanya berjalan mulus. Kali ini datang dari cerita Prof. Yunahar Ilyas, petinggi di jajaran PP Muhammadiyyah.
Beberapa hari lalu, Prof. Yunahar pernah bercerita kepada KH. Kholil. Pernah dalam satu waktu, tiga perwakilan Indonesia yakni, Prof. Yunahar Ilyas (Muhammadiyah), KH. Hasyim Muzadi (NU), dan Kang Jalal sendiri berada dalam satu airport.
Kebetulan kala itu, mereka bertiga sedang transit menuju Libanon dalam rangka menghadiri acara ukhuwah antara Sunni-Syiah. Dari Indonesia diundang kedua kelompok baik Sunni maupun Syi’i.
Mengetahui kehadiran Kang Jalal, Prof. Yunahar agak heran dan bertanya. “Kami ini dari Muhammadiyyah, Pak Hasyim dari NU, Kang Jalal utusan mana?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Kang Jalal tentu kaget. NU dan Muhammadiyyah sudah dikenal dua ormas terbesar di Indonesia berhaluan Ahlussunah. Apa boleh buat, Kang Jalal tidak bisa mengelak dan terpaksa mengakui bahwa dirinya adalah perwakilan Syi’ah.
“Karena kalau Kang Jalal taqiyyah mengatakan dari sunni berarti beliau harus pulang, karena dari sunni sudah ada Pak Yunahar dan Kyai Hasyim Muzadi. “ kata KH. Kholil menyambung kisah dari Ulama dari Bukittingi (Prof. Yunahar ) yang gencar memberantas liberalisme baik di Muhammadiyyah maupun nasional.
Ternyata tidak berhenti di situ, Prof. Yunahar kembali bertanya yang bisa jadi dapat menyinggung Kang Jalal,
“Kang Jalal ini bilang dari Syiah, taqiyyah bukan? Jangan-jangan Kang Jalal sedang bertaqiyyah dalam rangka taqiyyah?”
Dan Kang Jalal tidak bisa berkata apa-apa. “Begitulah Kang Jalal yang tadinya Sunni, kemudian menjadi Sunni fifty-fifty Syi’i, dan sekarang menjadi Syi’i,” kata KH. Kholil.
Menurut pengurus MUI bidang Budaya tersebut perkembangan Syiah di Indonesia secara pesat terjadi setelah Revolusi Iran meletus.
Kisah lain lahir dari kebiasaan shalat aliran Syiah. Di Syiah, menurut KH. Kholil , tidak ada shalat Jama’ah. Beliau sendiri pernah merasakan hal terebut saat mendirikan shalat Jama’ah bersama seorang kerabat di Mesjid Syiah dalam suatu kesempatan di Singapura.
Melihat KH. Kholil berjama’ah bersama seorang rekannya, kontan saja seorang Syi’i kemudian menegurnya. Mendapatkan respon yang tidak mengenakkan itu, KH. Kholil tetap bergeming, ia lebih menghiraukan dan memilih melanjutkan shalatnya,
“Suke-suke gue dong, yang shalat gue ini, “ ujar KH. Kholil dengan logat Betawinya di hadapan para jama’ah yang hadir di Mesjid Al Furqon, Jum’at lalu.
Dirijen Shalat Itu Seorang Perokok
Ternyata kebiasaan lain dalam Shalat Jama’ah juga terjadi di Iran. Menurut penuturan almarhum KH. Irfan Zidny, Ulama PBNU yang pernah berguru dengan orang-orang Syiah, ada hal ganjil dalam shalat taraweh di Iran.
KH. Irfan pernah bercerita kepada KH. Kholil, jadi karena tidak boleh shalat berjama’ah dalam tarawih, untuk menandakan posisi Imam sudah berganti posisi, dihadirkanlah seorang dirijen yang tidak ikut shalat.
Tugas seorang dirijen cukup memberitahukan kepada jama’ah di belakang imam bahwa imam sudah rukuk atau pindah posisi. Sebab, jika Imam membaca lafazh takbir kemudian jama’ah di belakangnya mengikuti: shalatnya menjadi tidak sah, karena dia terhitung menjadi makmum.
Nah kebetulan ketika raka’at kedua, Imam membaca surat yang cukup panjang. Karena letih berdiri, sang dirijen kemudian melakukan suatu hal yang bisa jadi sangat lucu bahkan tidak masuk di akal bagi kita seorang muslim.
Sambil menunggu Imam menyudahi bacaannya, ia memilih rehat sejenak. Diambilnya sebungkus kopi, diseduhnya, lalu diminumnya. Masih kurang mantap, ia lantas mengambil sebatang rokok lalu menghisapnya. Nanti kalau Imam sudah menyelesaikan bacaannya, ia kembali berdiri sigap sambil membaca takbir keras-keras, tentu bersamaan dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
“Kan tidak masuk di akal Rasulullah mengajarkan shalat seperti itu,” heran KH. Kholil. (pz//bersambung)
Eramuslim, Rabu, 15/06/2011 11:24 WIB
***
Kisah Ganjil dari Syiah: Di Iran Nikah Mut’ah Bisa Sampai Seribu (2-Habis)
Kisah berikutnya tentang kawin mut’ah di negeri Persia itu. Di Iran, rupanya tidak sulit menyalurkan syahwat biologis lewat cara ini. Para pemuda Iran sudah akrab melakoni penyaluran kisah cintanya lewat jalan mut’ah.
Caranya pun relatif mudah, cukup bagi kita untuk menyambangi tiap mesjid di Iran yang menyediakan fasilitas mut’ah. Berbeda seperti mesjid kita sebagai orang Islam, mesjid kaum Syiah memang menyediakan ruangan khusus untuk melakukan transaksi mut’ah.
Biasanya para perempuan akan ditaruh di bilik-bilik Mesjid dan siap untuk diperlihatkan kepada laki-laki yang datang. Harga nikah mut’ah pun bervariasi. Tergantung perempuan mana yang menjadi selera kita, termasuk juga waktu.
“Mau satu jam atau dua jam? Kalau satu jam harganya sekian,” tukas KH. Kholil menyambung kisah seorang temannya yang pernah kuliah di Iran dan membuat para peserta menggelengkan kepalanya.
Hebatnya, nikah mut’ah pun tidak mengenal ambang batas. “Tidak ada batasnya, boleh sampai seribu kali (nikah mut’ah) dalam hari yang sama dan saat yang sama,” lanjutnya.
Berbeda dengan nikah dalam ajaran Islam yang memakai syarat wali dan saksi, nikah mut’ah aliran Syiah tidak memerlukan keduanya, “nikah mut’ah itu tidak perlu pakai wali, tidak perlu pakai saksi. Karena pada hakikatnya mengandung adanya jual beli.” tambah KH. Kholil bercampur heran.
“Bagaimana kita mau mengatakan ini nikah muslim jika caranya seperti itu?” tanyanya.
Jika kita mendengar kisah ini, kita jadi teringat akan berita di Iran baru-baru ini. Menurut sebuah berita, saat ini terjadi pergeseran tren di Iran dimana nikah mut’ah lebih popular ketimbang nikah secara permanen.
DR Shahla I’zazi dari Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Sosial Iran, menyatakan fenomena nikah mut’ah adalah tuntutan sejumlah pejabat Iran yang menginginkan adanya hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, mereka mencoba melegitimasi hubungan ini melalui pernikahan sementara.
Namun perkembangan nikah mut’ah pun bukan semata-semata karena tingginya syahwat para pejabat Iran, karena secara statistik menunjukkan bahwa pelaku nikah mut’ah atau kawin kontrak terbesar justru berasal dari warga kota Qum. Kota yang dianggap suci dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama, yang sebagian besar lulusannya menjadi ulama Syiah ternama.
Kasus aneh dari nikah mut’ah pun tidak hanya terjadi di Iran. Bahkan yang lebih menggelikan lagi, dilakukan sekelompok pemuda Syiah di negeri ini. Majalah Panji Mas- sebelum majalah ini gulung tikar- pernah menceritakan pengalaman mut’ah sekelompok pemuda Syiah di Indonesia.
Berbeda dengan di Iran yang melepaskan transaksi syahwatnya di dalam mesjid, sekelompok pemuda Indonesia ini malah melakukannya diatas hawa sejuk kawasan Puncak. Apa ada mesjid di Puncak yang melaksanakan mut’ah? Tentu tidak, karena pemuda ini mendatangi Puncak justru untuk menemui para pelacur.
“Jadi sewa pelacur dan menyewa villa.” Kata KH. Kholil.
Di hadapan para pelacur ini, salah seorang perwakilan Syiah kemudian berkhotbah bahwa apa yang akan mereka lakukan tidaklah perbuatan zina asal mereka mau menjalani sebuah syarat, yakni dinikahkan secara mut’ah.
“Kita ini bukan mau berzina, tapi mau mut’ah,” ungkap KH. Kholil menirukan suara si pemuda.
Dari kelima pelacur tadi, salah seorang diantaranya ada yang menitikkan air mata. Ia menangis tersendu-sendu. Namun ada pula yang tertawa cekikikan.
Karena merasa ada yang aneh, pengkhotbah tersebut lantas bertanya kepada pelacur yang menangis itu.
“Kamu kenapa menangis?”
“Saya nangis karena ingat masa lalu saya, saya ini tamatan pesantren. Saya sedih kenapa saya jadi begini.” jawabnya
“Lah kamu yang cekikikan?” tanya sang pengkhotbah.
“Saya tertawa, masak sih pak ustadz mau maen aja pake ceramah dulu. Maen mah maen aja.” tutup KH. Kholil yang disambut tawa riuh para jama’ah yang hadir dalam acara Ahlussunah Bersatu Menolak Syiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar