“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengetahui
apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka
sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS
Al-Isra’ [17]: 23-25)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia…”
Ini adalah perintah untuk mengesakan Sesembahan, setelah sebelumnya
disampaikan larangan syirik. Ini adalah perintah yang diungkapkan dengan
kata qadha yang artinya menakdirkan. Jadi, ini adalah perintah pasti,
sepasti qadha Allah. Kata qadha memberi kesan penegasan terhadap
perintah, selain makna pembatasan yang ditunjukkan oleh kalimat larangan
yang disusul dengan pengecualian: “Supaya kamu jangan menyembah selain
Dia…” Dari suasana ungkapan ini tampak jelas naungan penegasan dan
pemantapan.
Jadi, setelah fondasi diletakkan dan dasar-dasar didirikan, maka
disusul kemudian dengan tugas-tugas individu dan sosial. Tugas-tugas
tersebut memperoleh sokongan dari keyakinan di dalam hati tentang Allah
yang Maha Esa. Ia menyatukan antara motivasi dan tujuan dari tugas dan
perbuatan.
Perekat pertama sesudah perekat akidah adalah perekat keluarga. Dari
sini, konteks ayat mengaitkan birrul walidain (bakti kepada kedua
orangtua) dengan ibadah Allah, sebagai pernyataan terhadap nilai bakti
tersebut di sisi Allah:
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
Dengan ungkapan-ungkapan yang lembut dan gambaran-gambaran yang
inspiratif inilah Al-Qur’an Al-Karim menggugah emosi kebajikan dan kasih
sayang di dahati anak-anak.
Hal itu karena kehidupan itu terdorong di jalannya oleh orang-orang
yang masih hidup; mengarahkan perhatian mereka yang kuat ke arah depan.
Yaitu kepada keluarga, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang
sekali kehidupan mengarahkan perhatian mereka ke arah belakang..ke arah
orang tua..ke arah kehidupan masa silam..kepada generasi yang telah
pergi! Dari sini, anak-anak perlu digugah emosinya dengan kuat agar
mereka menoleh ke belakang, ke arah ayah dan ibu mereka.
Kedua orang tua secara fitrah akan terdorong untuk mengayomi
anak-anaknya; mengorbankan segala hal, termasuk diri sendiri. Seperti
halnya tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur
luluh; seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam
telor hingga tinggal cangkangnya, demikian pula anak-anak menghisap
seluruh potensi, kesehatan, tenaga dan perhatian dari kedua orang tua,
hingga ia menjadi orang tua yang lemah jika memang diberi usia yang
panjang. Meski demikian, keduanya tetap merasa bahagia!
Adapun anak-anak, secepatnya mereka melupakan ini semua, dan
terdorong oleh peran mereka ke arah depan. Kepada istri dan keluarga.
Demikianlah kehidupan itu terdorong. Dari sini, orang tua tidak butuh
nasihat untuk berbuat baik kepada anak-anak. Yang perlu digugah emosinya
dengan kuat adalah anak-anak, agar mereka mengingat kewajiban terhadap
generasi yang telah menghabiskan seluruh madunya hingga kering
kerontang!
Dari sinilah muncul perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua
dalam bentuk qadha dari Allah yang mengandung arti perintah yang tegas,
setelah perintah yang tegas untuk menyembah Allah.
Setelah itu konteks surat menuangi seluruh suasana dengan keteduhan;
dan menggugan emosi dengan kenangan-kenangan masa kecil, rasa cinta,
belas kasih dan kelembutan.
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu..”
Usia lanjut itu memiliki kesan tersendiri. Kondisi lemah di usia
lanjut juga memiliki insprasinya sendiri. Kata عندك yang artinya “di
sisimu” menggambarkan makna mencari perlindungan dan pengayoman dalam
kondisi lanjut usia dan lemah. “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak
mereka…” Ini adalah tingkatan pertama di antara tingkatan-tingkatan
pengayoman dan adab, yaitu seorang anak tidak boleh mengucapkan
kata-kata yang menunjukkan kekesahan dan kejengkelan, serta kata-kata
yang mengesankan penghinaan dan etika yang tidak baik. “Dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.” Ini adalah tingkatan yang paling
tinggi, yaitu berbicara kepada orang tua dengan hormat dan memuliakan.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan…” Di sini ungkapan melembut dan melunak, hingga sampai ke
makhluk hati yang paling dalam. Itulah kasih sayang yang sangat lembut,
sehingga seolah-olah ia adalah sikap merendah, tidak mengangkat
pandangan dan tidak menolak perintah. Dan seolah-olah sikap merendah itu
punya sayap yang dikuncupkannya sebagai tanda kedamaian dan kepasrahan.
“Dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’”
Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang
lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama
seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan
kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya,
karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh.
Allah lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang
mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak.
Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya:
“Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia
membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah aku
telah menunaikan haknya?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, meskipun untuk satu
tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.”
Oleh karena emosi dan gerak dalam konteks ini terhubung dengan
akidah, maka Al-Qur’an mengulangnya dengan mengembalikan semua urusan
kepada Allah yang mengetahui niat, dan mengetahui apa yang ada di balik
ucapan dan perbuatan.
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu
orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi
orang-orang yang bertobat.” (25)
Nash ini hadir sebelum melanjutkan bahasan tentang taklif, kewajiban
dan adab selanjutnya. Ia hadir untuk mengambalikan setiap ucapan dan
perbuatan kepada Allah; untuk membuka pintu taubat dan rahmat bagi orang
yang berbuat keliru atau teledor, kemudian kembali dan mengoreksi
kekeliruan dan keteledoran tersebut.
Selama hati baik, maka pintu ampunan tetap terbuka. Orang-orang awwab
(yang bertaubat) adalah mereka yang setiap kali berbuat keliru maka
mereka kembali kepada Tuhan mereka sambil meminta ampun.
Sayid Qutb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar