Konflik Sunni-Syiah saat ini sedang menjadi trending topic di ranah pergerakan hari ini. Bisa jadi ini merupakan efek dari Jihad Suriah yang sedang menggelora. Di Indonesia sendiri, kasus pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, merupakan konflik fisik yang cukup menggentarkan komunitas Syiah.
Dalam perang opini antara kubu Sunni dan Syiah, ada satu fenomena yang unik, yaitu penyebutan istilah Sunni oleh kubu Syiah, sering diganti dengan kata Wahabi atau Takfiri. Sementara, kubu Sunni masih tetap menggunakan kata Syiah sebagai sebutan bagi Syiah baik Nushairiyah, Imamiyah, dan sebagainya.
Pada siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, Selasa 25 Juni 2013, salah satu narasumber, Haidar Bagir, CEO Mizan, menyebut kelompok Takfiri sebagai biang dari permasalahan Sunni-Syiah. Berlanjut kemudian, terjadi perang opini di dunia maya lewat jejaring sosial Twitter. Pihak Sunni yang malam itu melakukan aksi twitstorm dengan hastag #SyiahBukanIslam, mendapat perlawanan dari pihak Syiah dengan hastag #IndonesiaTanpaTakfiri
Sedikit melakukan perbandingan, labelisasi Takfiri juga digunakan oleh kalangan warga NU dalam perang opini melawan kelompok Fundamentalis, jauh sebelum konflik Sunni-Syiah ter-blow up dan menjadiheadline media massa di Indonesia. Sudah mafhum bahwa labelisasi Wahabi, Takfiri, Fundamentalis dan lain sebagainya adalah sematan serupa yang dialamatkan kepada Ahlussunnah yang bermanhaj Salaf.
Pada 2003, RAND Corporation, sebuah lembaga think-tank bentukan Barat untuk analisis dunia Islam dan Timur tengah, melalui sebuah rekomendasi berjudul “Civil Democratic Islam: Parnters, Resources, and Strategies”. Rekomendasi berisi pemetaan kawan dan lawan, serta arahan-arahan bagi pemerintah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim untuk mengatasi terorisme. Rekomendasi ini diawali dengan klasifikasi umat Islam menjadi empat kelompok, yaitu Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Sekuler. Pembagian kelompok ini berdasarkan fleksibilitas masing-masing kelompok terhadap ajaran Islam dan sikap terhadap demokrasi.
Kelompok Fundamentalis adalah kelompok Islam yang memegang teguh ajaran Islam, bercita-cita menegakkan Syariah, dan paling getol menentang demokrasi. Dalam masyarakat kita, kelompok Fundamentalis ini lebih akrab dengan julukan Wahabi atau Takfiri. Sedangkan kelompok Tradisional adalah kelompok Islam yang masih berpegang pada budaya lokal dan seringnya menganggap kelompok Fundamentalis adalah musuh utama.
Pada poin kedua rekomendasi RAND Corporation disebutkan, “Support the traditionalists against the fundamentalists“. Adu domba antara kelompok Tradisionalis dan kelompok Fundamentalis, dijadikan strategi sebagai upaya untuk menghancurkan kelompok Fundamentalis. Dengan dibantu oleh kelompok Moderat dan kelompok Sekuler, diharapkan koalisi Tradisionalis-Moderat-Sekuler dapat mematikan pergerakan dan ideologi kaum fundamentalis. Strategi adu domba inilah yang saat ini mungkin sedang diterapkan di Indonesia.
Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU mewakili identitas sebagai kelompok tradisionalis di Indonesia. Sementara itu, Jaringan Islam Liberal mewakili kelompok modernis, walau kini sudah kembang kempis karena dana dari donatur hampir habis. Tokoh-tokoh JIL, seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli, dan lain-lain, sering mengklaim diri sebagai “Cendekiawan Muda NU”. Ya, duet Tradisionalis-Modernis seolah telah menjadi pasangan yang serasi, walau kadang muncul penentangan dari internal kalangan Tradisionalis sendiri terhadap pemikiran ala JIL.
Nah, kembali ke masalah Syiah. Di manakah posisi kelompok Syiah dalam grand strategy adu domba buatan RAND Corporation ini? Mari kita cermati kembali penggunaan istilah dan labelisasi oleh pihak Syiah kepada Sunni. Penggunaan istilah Takfiri dan Wahabi oleh Syiah sebenarnya mendompleng tren yang sedang menjamur, sebagaimana kebiasaan kaum Tradisionalis yang sering menyematkan label Wahabi atau Takfiri kepada kelompok Fundamentalis. Ini menunjukkan kebingungan mereka untuk mengidentifikasi lawan mereka sesungguhnya. Syiah sadar, lawan mereka, secara istilah, adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Namun menggunakan istilah itu sebagai sansak pukul berarti bunuh diri, karena akan berhadapan dengan jutaan warga NU. Jadilah ia terjebak dan membebek garis-garis arahan RAND Corporation di atas.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan jargon Syiah yang selama ini mengusung anti-amerika. Namun ternyata Syiah malah latah mengikuti skenario adu domba buatan lembaga riset Amerika, RAND Corporation. Lalu, masih relevankah slogan anti-amerika bila mereka sendiri demen dengan istilah-istilah bikinan amerika?
Multazim Jamil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar