Penulis : Hasanudin Abdurakhman
Editor : Wisnubrata
Seseorang mengalami hal buruk. Ia menerima nasihat,”Ambil saja
hikmahnya. Tuhan pasti menyiapkan hikmah untuk kamu.” Tuhan digambarkan
sebagai sosok yang “usil”. Ada orang yang sudah baik, diberi cobaan
dengan hal-hal buruk. Kalau ia tetap beriman, maka Tuhan akan memberinya
ganjaran berupa hal-hal baik. Kalau ia berbalik jadi ingkar, maka
berarti selama ini imannya lemah. Maka ia akan disiksa.
Bukankah Tuhan itu Maha Tahu, sehingga Dia juga seharusnya tahu berapa kadar iman seseorang, sehingga Dia tidak perlu menguji orang untuk menelanjangi kadar imannya? Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih, sehingga Ia tidak perlu mendatangkan hal-hal buruk dulu untuk menghadiahi manusia dengan hal-hal baik? Jawaban klise yang sering kita dengar,”Kamu tidak paham tentang Tuhan. Ia adalah misteri, semua ini misteri Tuhan.”
Ya, saya tidak tahu soal kehendak Tuhan. Tapi tidak cuma saya, kamu juga. Kamu juga tidak tahu. Kamu tidak tahu soal kejadian buruk yang menimpa seseorang itu azab atau teguran. Kamu tidak tahu sama sekali apa maksud kejadian itu, apakah memang kehendak Tuhan atau akibat kesalahan seseorang. Kamu hanya merasa tahu. Sok tahu!
Jadi bagaimana? Karena wilayah kehendak Tuhan adalah wilayah yang tidak kita ketahui dengan pasti, maka jangan habiskan waktu dan tenaga untuk berkutat di wilayah itu. Lihat masalah dengan sudut pandang yang lebih baik. Prinsipnya: Jangan ambil hikmah, ciptakan hikmah!
Mari pikirkan contoh sederhana. Ada nyamuk, yang tidak sekadar menjengkelkan, tapi juga menyebarkan penyakit bebahaya. Mungkin ada yang bertanya, untuk apa Tuhan ciptakan nyamuk? Kalau tidak ada nyamuk, kita tidak akan sakit demam berdarah, bukan?
Tapi mari lihat dari sisi lain. Karena ada nyamuk yang menyebar penyakit, ada dokter yang mendapat pekerjaan mengobati. Ada pula pembuat obat yang sampai bisa membuat perusahaan, yang menggaji banyak orang. Lalu ada juga perusahaan pembuat racun serangga. Ada begitu banyak orang yang diuntungkan oleh adanya nyamuk. Itulah hikmah diciptakannya nyamuk oleh Tuhan.
Tapi apakah benar itu tujuan Tuhan menciptakan nyamuk? Kita tidak tahu. Penjelasan di atas adalah hasil pemikiran manusia, bukan penjelasan Tuhan. Jadi kebenarannya terbatas pada tingkat kebenaran pemikiran manusia, bukan kebenaran mutlak. Jadi, apa tujuan Tuhan menciptakan nyamuk? Kita tidak tahu, dan tidak perlu tahu. Tapi bagaimana dengan hikmah di atas?
Hikmah di atas adalah produk usaha manusia. Yang bisa menikmatinya adalah yang mengusahakannya. Nyamuk itu sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Selama puluhan ribu tahun manusia hanya mendapat gangguannya. Manusia baru mendapatkan hikmahnya setelah ia berpikir dan bertindak. Itupun tak semua menikmatinya. Yang menikmatinya hanyalah yang berpikir dan bertindak. Jutaan manusia lain hanya bisa mengeluh dan menderita atas gangguan nyamuk.
Begitulah. Hikmah tidak datang begitu saja. Jadi jangan menunggu. Perintahnya memang ambil saja hikmahnya. Tapi pada prakteknya, hikmah itu tidak diambil, tapi ditunggu. Menunggu adanya hal baik yang dikirim Tuhan, setelah kejadian-kejadian buruk. Atau dicocok-cocokkan. Dicari-cari kecocokannya. Kalau tidak ada, mesti menunggu dan mencari lagi. Mungkin karena imanmu kurang. Begitu seterusnya.
Jangan ambil hikmah pada kejadian buruk. Tidak ada hikmah pada kejadian buruk itu. Hikmah ada pada sikap kita terhadapnya. Dalam hal nyamuk tadi, hikmah dihasilkan oleh orang-orang yang berpikir dan bertindak. Bukan oleh nyamuk.
Saya jadi teringat pada cerita Muhamad Fadli, seorang pembalap paracycling. Ia tadinya seorang pembalap motor. Suatu hari kecelakaan di sirkuit membuat Fadli kehilangan kaki. Apa hikmah kecelakaan itu? Tidak ada. Risiko kecelakaan di sirkuit sudah ada sejak sebelum Fadli lahir. Ia mengambil risiko itu dengan memilih profesi pembalap motor.
Hikmahnya ada pada pilihan Fadli. Setelah kehilangan kaki, ia punya banyak pilihan. Ia bisa menyerah dan merintih, sambil berharap belas kasih orang. Ia bisa memulai “profesi” baru sebagai pengemis. Atau, ia bisa pula berhenti jadi pembalap, bekerja di perusahaan, kalau ada yang mau merekrutnya. Atau bunuh diri.
Pilihan yang diambil Fadli mencengangkan. Ia tidak merasa kehilangan kaki itu adalah penghalang untuk tetap jadi pembalap. Ia hanya perlu mengganti kendaraannya saja. Ia mulai berlatih jadi pembalap sepeda, dengan bantuan kaki palsu. Maka ia kini menjadi pembalap nasional.
Bukan kecelakaan yang membuat Fadli hebat. Ia sudah hebat sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia tetap hebat setelah kecelakaan itu. Kecelakaan hanya mampu melukai kakinya, tidak pikirannya. Tidak pula keberaniannya. Pilihan yang ia buatlah yang menjaganya tetap menjadi seorang juara, tidak terjerumus menjadi pecundang.
Jadi, kalau ada hal buruk menimpa Anda, jangan mengeluh, jangan cari hikmahnya dalam belantara misteri. Bersikaplah. Bangkit, pikirkan apa yang bisa Anda perbuat untuk mengatasi akibatnya. Bertindaklah untuk mengatasinya. Ciptakan hikmah bagi diri Anda.
Bukankah Tuhan itu Maha Tahu, sehingga Dia juga seharusnya tahu berapa kadar iman seseorang, sehingga Dia tidak perlu menguji orang untuk menelanjangi kadar imannya? Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih, sehingga Ia tidak perlu mendatangkan hal-hal buruk dulu untuk menghadiahi manusia dengan hal-hal baik? Jawaban klise yang sering kita dengar,”Kamu tidak paham tentang Tuhan. Ia adalah misteri, semua ini misteri Tuhan.”
Ya, saya tidak tahu soal kehendak Tuhan. Tapi tidak cuma saya, kamu juga. Kamu juga tidak tahu. Kamu tidak tahu soal kejadian buruk yang menimpa seseorang itu azab atau teguran. Kamu tidak tahu sama sekali apa maksud kejadian itu, apakah memang kehendak Tuhan atau akibat kesalahan seseorang. Kamu hanya merasa tahu. Sok tahu!
Jadi bagaimana? Karena wilayah kehendak Tuhan adalah wilayah yang tidak kita ketahui dengan pasti, maka jangan habiskan waktu dan tenaga untuk berkutat di wilayah itu. Lihat masalah dengan sudut pandang yang lebih baik. Prinsipnya: Jangan ambil hikmah, ciptakan hikmah!
Mari pikirkan contoh sederhana. Ada nyamuk, yang tidak sekadar menjengkelkan, tapi juga menyebarkan penyakit bebahaya. Mungkin ada yang bertanya, untuk apa Tuhan ciptakan nyamuk? Kalau tidak ada nyamuk, kita tidak akan sakit demam berdarah, bukan?
Tapi mari lihat dari sisi lain. Karena ada nyamuk yang menyebar penyakit, ada dokter yang mendapat pekerjaan mengobati. Ada pula pembuat obat yang sampai bisa membuat perusahaan, yang menggaji banyak orang. Lalu ada juga perusahaan pembuat racun serangga. Ada begitu banyak orang yang diuntungkan oleh adanya nyamuk. Itulah hikmah diciptakannya nyamuk oleh Tuhan.
Tapi apakah benar itu tujuan Tuhan menciptakan nyamuk? Kita tidak tahu. Penjelasan di atas adalah hasil pemikiran manusia, bukan penjelasan Tuhan. Jadi kebenarannya terbatas pada tingkat kebenaran pemikiran manusia, bukan kebenaran mutlak. Jadi, apa tujuan Tuhan menciptakan nyamuk? Kita tidak tahu, dan tidak perlu tahu. Tapi bagaimana dengan hikmah di atas?
Hikmah di atas adalah produk usaha manusia. Yang bisa menikmatinya adalah yang mengusahakannya. Nyamuk itu sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Selama puluhan ribu tahun manusia hanya mendapat gangguannya. Manusia baru mendapatkan hikmahnya setelah ia berpikir dan bertindak. Itupun tak semua menikmatinya. Yang menikmatinya hanyalah yang berpikir dan bertindak. Jutaan manusia lain hanya bisa mengeluh dan menderita atas gangguan nyamuk.
Begitulah. Hikmah tidak datang begitu saja. Jadi jangan menunggu. Perintahnya memang ambil saja hikmahnya. Tapi pada prakteknya, hikmah itu tidak diambil, tapi ditunggu. Menunggu adanya hal baik yang dikirim Tuhan, setelah kejadian-kejadian buruk. Atau dicocok-cocokkan. Dicari-cari kecocokannya. Kalau tidak ada, mesti menunggu dan mencari lagi. Mungkin karena imanmu kurang. Begitu seterusnya.
Jangan ambil hikmah pada kejadian buruk. Tidak ada hikmah pada kejadian buruk itu. Hikmah ada pada sikap kita terhadapnya. Dalam hal nyamuk tadi, hikmah dihasilkan oleh orang-orang yang berpikir dan bertindak. Bukan oleh nyamuk.
Saya jadi teringat pada cerita Muhamad Fadli, seorang pembalap paracycling. Ia tadinya seorang pembalap motor. Suatu hari kecelakaan di sirkuit membuat Fadli kehilangan kaki. Apa hikmah kecelakaan itu? Tidak ada. Risiko kecelakaan di sirkuit sudah ada sejak sebelum Fadli lahir. Ia mengambil risiko itu dengan memilih profesi pembalap motor.
Hikmahnya ada pada pilihan Fadli. Setelah kehilangan kaki, ia punya banyak pilihan. Ia bisa menyerah dan merintih, sambil berharap belas kasih orang. Ia bisa memulai “profesi” baru sebagai pengemis. Atau, ia bisa pula berhenti jadi pembalap, bekerja di perusahaan, kalau ada yang mau merekrutnya. Atau bunuh diri.
Pilihan yang diambil Fadli mencengangkan. Ia tidak merasa kehilangan kaki itu adalah penghalang untuk tetap jadi pembalap. Ia hanya perlu mengganti kendaraannya saja. Ia mulai berlatih jadi pembalap sepeda, dengan bantuan kaki palsu. Maka ia kini menjadi pembalap nasional.
Bukan kecelakaan yang membuat Fadli hebat. Ia sudah hebat sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia tetap hebat setelah kecelakaan itu. Kecelakaan hanya mampu melukai kakinya, tidak pikirannya. Tidak pula keberaniannya. Pilihan yang ia buatlah yang menjaganya tetap menjadi seorang juara, tidak terjerumus menjadi pecundang.
Jadi, kalau ada hal buruk menimpa Anda, jangan mengeluh, jangan cari hikmahnya dalam belantara misteri. Bersikaplah. Bangkit, pikirkan apa yang bisa Anda perbuat untuk mengatasi akibatnya. Bertindaklah untuk mengatasinya. Ciptakan hikmah bagi diri Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar