Oleh: Wartawan Republika, Erdy Nasrul
Pendiri
Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Asy'ari pernah berguru kepada Kiai
Khalil Bangkalan. Ketika itu Kiai Hasyim bukan hanya belajar membaca
kitab. Kiai Khalil memintanya mengurus ternak kambing dan sapi.
Suatu
ketika Kiai Hasyim melihat Kiai Khalil terdiam. Santri yang kelak
mendirikan ormas Islam besar di Indonesia itu memberanikan diri
bertanya, "Ada apa Pak Kiai?" Lalu Kiai Khalil menjawab, dia sedih
karena cincin istrinya terjatuh di kamar mandi dan masuk ke dalam tempat
pembuangan akhir.
Tanpa berpikir panjang, Kiai Hasyim muda
bergegas masuk ke tempat pembuangan itu tanpa merasa jijik. Dia
menemukan perhiasan tersebut dan mengembalikannya ke Kiai Khalil.
Masya
Allah, sang kiai bahagia sekali. Kiai Khalil lalu mendoakan, semoga
Kiai Hasyim menjadi orang yang bermanfaat. Ilmunya berguna bagi
masyarakat luas.
Doa tersebut pun dikabulkan Allah. Mbah Hasyim,
sapaan akrab di kalangan Nahdliyin, adalah pahlawan karena jasanya
menghimpun ulama untuk mengeluarkan fatwa melawan penjajahan Belanda
yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Beliau juga dikenal karena
mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.
Jika
mendatangi sejumlah pesantren, maka siapa pun akan menemukan para santri
menghormati kiainya. Ada yang mencium tangan kiai. Ada juga yang
membukakan atau memberikan jalan untuk mempersilakan kiai atau keluarga
kiai lewat terlebih dahulu.
Bahkan tak hanya membukakan jalan. Santri juga berdiri menundukkan kepala hanya untuk mempersilakan sang guru lewat.
Ini
adalah tradisi yang sudah lama ada di pesantren, lembaga pendidikan
asli Indonesia. Cara menghormati guru yang biasa mereka sapa ustaz dalam
bahasa Arab atau kiai dalam bahasa Jawa tidak berlebihan.
Penghormatan
ini bukan karena kiai mempunyai lahan pesantren yang luas. Bukan pula
karena dia kaya. Kiai dihormati ribuan, bahkan puluhan ribu santrinya,
dan masyarakat sekitar pesantren, karena ilmunya.
Kiai
mengajarkan santrinya gramatika bahasa Arab, fikih, logika, tasawuf,
dan banyak lagi. Ilmu itu bukan sebatas pengetahuan, tapi juga membentuk
kepribadian. Santri mengerti, bagaimana etika menghormati orang tua dan
muda. Mereka memahami bagaimana harus bersikap terhadap orang lain,
termasuk orang asing.
Ada satu keyakinan unik di balik tradisi
menghormati ini. Kalau tidak menghormati kiai maka ilmunya tidak berkah.
Mereka terancam tidak akan bermanfaat saat hidup bermasyarakat.
Sebuah kitab menginspirasi mereka untuk menghormati kiai, Ta'limul Muta'allim Thariqah Litta'allum. Pengarangnya adalah Syeikh Azzarnuji. Ini adalah panduan bagi pelajar bagaimana cara menuntut ilmu.
Mereka
yang baru saja menjadi santri biasanya mempelajari kitab ini. Tujuannya
untuk memudahkan para santri menimba ilmu dengan baik.
Satu
bagian dalam kitab itu mengajarkan tentang menghormati guru. Di
antaranya, santri tidak berjalan di depan gurunya, tidak duduk di
tempat gurunya, tidak memulai bicara kecuali dengan izin guru, tidak
bertanya sesuatu bila guru sedang capai atau bosan, dan masih banyak
lagi.
Syeikh Azzarnuji menulis, salah satu syarat sukses menuntut
ilmu adalah mendapatkan keridhaan guru. Kiai Hasyim adalah contoh
santri yang berhasil mendapatkan ridha kiai, sehingga menjadi orang
besar.
Belum lama ini masyarakat menyoroti Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kiai Ma'ruf Amin. Alim (orang berilmu) asal Banten
ini dihardik dalam sebuah persidangan.
Tak hanya itu, kehidupan
pribadi Kiai Ma'ruf terkait pasangan hidupnya, sempat menjadi isu di
media sosial (medsos). Banyak pengguna medsos menjadikan isu ini sebagai
pembicaraan untuk merendahkan Kiai Ma'ruf.
Saya mengkhawatirkan,
kejadian tersebut menjadi tanda masyarakat sekarang ini tak bisa
menghormati ulama. Mereka merasa ada figur yang lebih terhormat,
beruang, dan berjabatan tinggi, sehingga tak perlu lagi menghormati
ulama.
Karena tak perlu dihormati, ada yang merasa tak perlu lagi
menambahkan gelar kiai, ustaz, habib, sebelum menulis nama ulama. Tak
heran bila akhir-akhir ini, sebagian media massa tak menyebutkan kiai
ketika menulis nama Kiai Ma'ruf Amin. Hal yang sama juga terjadi ketika
menulis nama Habib Rizieq Shihab dan Ustaz Bachtiar Nasir. Entah apa
alasan di balik itu semua.
Tak ada salahnya masyarakat modern
belajar dari pendahulu. Pembelajaran seperti itu merupakan bagian dari
sejarah. Sejarawan Ibnu Khaldun menuliskan dalam Mukaddimahnya, sejarah
tak hanya cerita masa lalu. Di dalamnya ada perumpamaan, pengalaman, dan
hikmah, untuk menjadi pelajaran masyarakat saat ini.
Sejarah
telah menjadikan Islam belajar dari peradaban terdahulu, sehingga
menjadi besar pada abad kedelapan Masehi. Sejarah membuat Indonesia
bersemangat untuk lepas dari penjajahan, sehingga merdeka pada 1945.
Tak
ada salahnya masyarakat sekarang ini kembali mempelajari sejarah, di
antaranya tentang perjalanan hidup Mbah Hasyim. Salah satu tujuannya
adalah agar bermanfaat dan tidak kualat kepada ulama, kiai, ustaz, atau
guru, yang telah mencerdaskan banyak orang. Mari sama-sama belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar