Oleh: Ina Salma Febriany
“Maka adapun orang-orang yang melampaui batas (37). Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia (38). Maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. (39). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (40). Maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya (41). (QS An-Nazi’at: 37- 41)
Surah An-Naazi’at di atas membuka alam pikiran kita tentang nasib dua golongan di akhirah kelak. Telah disebutkan bahwa ahlunnar adalah orang yang melampaui batas, berlebih-lebihan, boros, enggan berbagi dengan sesama, juga membangkang atas perintah-Nya.
Sedangkan golongan kedua; yakni ahlul jannah, mereka yang senantiasa takut dan dengan susah payah menahan hawa nafsu (menahan diri dari dorongan yang buruk) entah itu menzalimi diri sendiri maupun oranglain.
Kata kunci dari nasib yang akan menimpa ahlunnar ialah akibat perbuatan mereka selama di dunia yang kerap menuruti hawa nafsu yang buruk (al-ammarah bi al-su). Padahal, satu hal penting yang harus kita ketahui bahwa seluruh penyakit hati berasal dari nafsu.
Rasulullah Saw dalam sebuah khutbahnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bersabda, “Segala puji bagi Allah, kita memohon pertolongan, petunjuk, dan ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kita dan keburukan-keburukan perbuatan kita,” (HR At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Berdasar hadits di atas, Rasulullah Saw berlindung dari kejahatan nafsu secara umum dari berbagai perbuatan yang lahir darinya dan dari kejahatan yang muncul sebagai akibat darinya. Oleh karenanya, terdapat dua aspek pemaknaan, yakni pertama, masalah penyandaran sesuatu kepada jenisnya. Artinya, aku berlindung kepada-Mu dari jenis perbuatan-perbuatan ini. Kedua, maksudnya adalah siksaan-siksaan atas perbuatan yang merusak pelakunya.
Pada pengertian pertama, berarti berlindung dari nafsu dan perbuatannya. Pada pengertian kedua, berarti berlindung dari siksaan dan sebab-sebabnya. Demikian penjelasan yang dijabarkan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Igasatulahfani fi Masayidi Asy-Syaitani.
Orang-orang yang menuju jalan Allah Swt dengan berbagai perbedaan jalan dan cara bersepakat bahwa nafsu adalah pemutus terhubungnya hati dengan Allah Swt. Dia tidak akan menyambungkan hati seorang hamba kepada-Nya kecuali setelah nafsu itu diredam dengan cara dikalahkan.
Dari sini, manusia dibagi atas dua macam, pertama, orang yang dikalahkan nafsunya lalu tunduk pada perintah-perintah nafsunya. Kedua, orang yang bisa mengalahkan dan memaksa nafsunya tunduk. Tentu saja, proses mengalahkan hawa nafsu –bagi sebagian orang—tidaklah mudah.
Bahkan, seorang sufi berkata, “Perjalanan ath-thalibin (para pencari) berakhir dengan mengalahkan nafsu, siapa yang berhasil mengalahkan nafsunya, maka dia telah sukses. Sebaliknya, siapa yang dikalahkan oleh nafsunya, maka dia orang merugi (perhatikan Qs An-Nazi’at [79]; 37- 41)
Nafsu menyeru pada kedurhakaan dan mengutamakan dunia; mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara, memakan uang negara dengan merampasnya secara diam-diam dan menzalimi sesama, sedangkan Tuhan menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.
Hati di antara dua penyeru itu terkadang condong kepada penyeru yang satu (ketaatan) dan terkadang condong kepada yang lain (hawa nafsu). Inilah tempat ujian dan cobaan. Oleh karenanya, Allah mengelompokkan nafsu dalam tiga sifat; muthmainnah, al-ammarah bi al-suu, dan lawwamah.
Disini kita hendak menekankan pengobatan penyakit hati dengan menguasai nafsu al-ammarah bi al-suu. Untuk itu, terdapat dua jenis pengobatan, pertama senantiasa melakukan muhasabah (introspeksi) atas nafsu. Kedua, selalu menyangkal nafsu karena kehancuran hati terjadi karena meremehkan masalah muhasabah.
“Maka adapun orang-orang yang melampaui batas (37). Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia (38). Maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. (39). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (40). Maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya (41). (QS An-Nazi’at: 37- 41)
Surah An-Naazi’at di atas membuka alam pikiran kita tentang nasib dua golongan di akhirah kelak. Telah disebutkan bahwa ahlunnar adalah orang yang melampaui batas, berlebih-lebihan, boros, enggan berbagi dengan sesama, juga membangkang atas perintah-Nya.
Sedangkan golongan kedua; yakni ahlul jannah, mereka yang senantiasa takut dan dengan susah payah menahan hawa nafsu (menahan diri dari dorongan yang buruk) entah itu menzalimi diri sendiri maupun oranglain.
Kata kunci dari nasib yang akan menimpa ahlunnar ialah akibat perbuatan mereka selama di dunia yang kerap menuruti hawa nafsu yang buruk (al-ammarah bi al-su). Padahal, satu hal penting yang harus kita ketahui bahwa seluruh penyakit hati berasal dari nafsu.
Rasulullah Saw dalam sebuah khutbahnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bersabda, “Segala puji bagi Allah, kita memohon pertolongan, petunjuk, dan ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kita dan keburukan-keburukan perbuatan kita,” (HR At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Berdasar hadits di atas, Rasulullah Saw berlindung dari kejahatan nafsu secara umum dari berbagai perbuatan yang lahir darinya dan dari kejahatan yang muncul sebagai akibat darinya. Oleh karenanya, terdapat dua aspek pemaknaan, yakni pertama, masalah penyandaran sesuatu kepada jenisnya. Artinya, aku berlindung kepada-Mu dari jenis perbuatan-perbuatan ini. Kedua, maksudnya adalah siksaan-siksaan atas perbuatan yang merusak pelakunya.
Pada pengertian pertama, berarti berlindung dari nafsu dan perbuatannya. Pada pengertian kedua, berarti berlindung dari siksaan dan sebab-sebabnya. Demikian penjelasan yang dijabarkan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Igasatulahfani fi Masayidi Asy-Syaitani.
Orang-orang yang menuju jalan Allah Swt dengan berbagai perbedaan jalan dan cara bersepakat bahwa nafsu adalah pemutus terhubungnya hati dengan Allah Swt. Dia tidak akan menyambungkan hati seorang hamba kepada-Nya kecuali setelah nafsu itu diredam dengan cara dikalahkan.
Dari sini, manusia dibagi atas dua macam, pertama, orang yang dikalahkan nafsunya lalu tunduk pada perintah-perintah nafsunya. Kedua, orang yang bisa mengalahkan dan memaksa nafsunya tunduk. Tentu saja, proses mengalahkan hawa nafsu –bagi sebagian orang—tidaklah mudah.
Bahkan, seorang sufi berkata, “Perjalanan ath-thalibin (para pencari) berakhir dengan mengalahkan nafsu, siapa yang berhasil mengalahkan nafsunya, maka dia telah sukses. Sebaliknya, siapa yang dikalahkan oleh nafsunya, maka dia orang merugi (perhatikan Qs An-Nazi’at [79]; 37- 41)
Nafsu menyeru pada kedurhakaan dan mengutamakan dunia; mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara, memakan uang negara dengan merampasnya secara diam-diam dan menzalimi sesama, sedangkan Tuhan menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.
Hati di antara dua penyeru itu terkadang condong kepada penyeru yang satu (ketaatan) dan terkadang condong kepada yang lain (hawa nafsu). Inilah tempat ujian dan cobaan. Oleh karenanya, Allah mengelompokkan nafsu dalam tiga sifat; muthmainnah, al-ammarah bi al-suu, dan lawwamah.
Disini kita hendak menekankan pengobatan penyakit hati dengan menguasai nafsu al-ammarah bi al-suu. Untuk itu, terdapat dua jenis pengobatan, pertama senantiasa melakukan muhasabah (introspeksi) atas nafsu. Kedua, selalu menyangkal nafsu karena kehancuran hati terjadi karena meremehkan masalah muhasabah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar